Penguatan Manajemen Kerja Rumah Sakit bagi Korban Penganiayaan dan Tindak Kriminal

  • Bagikan

Satria Eka Tri Laksana, S.IP., M.AP
(Analis Kebijakan Ahli Muda)
Lembaga Administrasi Negara, Makassar)

Pelayanan kesehatan merupakan hak konstitusional setiap warga negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Dalam implementasinya, manajemen pelayanan rumah sakit memiliki tanggung jawab besar untuk memberikan layanan yang responsif, inklusif, dan berkeadilan, termasuk kepada korban penganiayaan dan tindak kriminal. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak korban tidak memperoleh layanan medis yang layak akibat keterbatasan jaminan pembiayaan dan minimnya pengetahuan tentang prosedur bantuan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Sebagian besar rumah sakit di Indonesia berpedoman pada sistem pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS Kesehatan. Namun, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, layanan kesehatan bagi korban tindak pidana tidak dijamin oleh BPJS. Sebagai gantinya, korban seharusnya memperoleh bantuan dari negara melalui LPSK. Permasalahannya, mekanisme pengajuan bantuan dari LPSK membutuhkan proses administratif dan tidak semua korban, terutama dari kelompok rentan, mengetahui cara mengakses hak tersebut.
Beberapa kasus nyata menegaskan lemahnya sistem yang ada. Pertama, kasus di Makassar tahun 2022, di mana seorang remaja korban pengeroyokan ditolak oleh rumah sakit karena tidak memiliki BPJS dan tidak mampu membayar uang muka pengobatan. Kedua, pada tahun 2020 di Jakarta, seorang ibu korban kekerasan dalam rumah tangga tidak segera dilayani secara medis karena pihak rumah sakit menunggu kepastian jaminan biaya. Ketiga, kasus di Medan tahun 2021, di mana korban kekerasan seksual harus menunggu lebih dari 24 jam untuk penanganan karena belum mendapat persetujuan pembiayaan dari LPSK. Keempat, pada 2023 di Surabaya, seorang anak korban kekerasan fisik oleh ayah tirinya tidak mendapat layanan darurat karena pihak rumah sakit menuntut kelengkapan administrasi.
Padahal, secara regulatif, perlindungan terhadap korban sudah diatur dengan cukup jelas. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang telah diperbarui dengan UU Nomor 31 Tahun 2014, mengatur bahwa korban berhak atas bantuan medis, psikologis, dan rehabilitasi. Selain itu, Peraturan LPSK Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Permohonan dan Pemberian Bantuan juga menjelaskan secara rinci bahwa korban bisa mendapatkan layanan medis darurat yang dibiayai oleh negara, bahkan sebelum proses hukum dimulai.
Namun, dalam praktiknya, manajemen rumah sakit belum optimal dalam mengintegrasikan layanan untuk korban dengan prosedur dari LPSK. Banyak petugas medis yang belum dilatih untuk memahami prosedur ini, dan belum ada sistem informasi yang menghubungkan rumah sakit secara langsung dengan LPSK. Akibatnya, korban kerap menjadi pihak yang paling dirugikan akibat kekosongan koordinasi dan lemahnya infrastruktur kebijakan.
Sebagai solusi jangka pendek, diperlukan pembentukan dana tanggap darurat (emergency medical fund) yang tersedia di setiap rumah sakit pemerintah maupun swasta yang bekerja sama dengan negara. Dana ini bisa digunakan untuk membiayai penanganan awal korban kekerasan sambil menunggu proses validasi dari LPSK. Pemerintah pusat dapat mengatur skema ini melalui revisi regulasi teknis oleh Kementerian Kesehatan dan diselaraskan dengan Peraturan LPSK.
Solusi jangka menengah dapat berupa penyediaan liaison officer atau petugas penghubung di rumah sakit yang ditugaskan khusus untuk menangani kasus korban tindak pidana. Petugas ini akan membantu korban dalam proses administrasi, pelaporan ke LPSK, hingga mengawal proses rujukan ke layanan pendampingan psikologis dan hukum. Program ini bisa disinergikan dengan Dinas Sosial dan UPTD PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) di tingkat daerah, sebenarnya di beberapa rumah sakit sudah ada petugas penghubung akan tetapi belum bekerja dengan optimal dan jalur koordinasi yang belum jelas.
Sementara itu, solusi jangka panjang mencakup penguatan sistem digitalisasi layanan. Pemerintah perlu mengembangkan sistem informasi lintas sektor yang menghubungkan rumah sakit, kelurahan atau desa, kepolisian, kejaksaan, dan LPSK. Hal ini akan mempercepat proses verifikasi status korban, memperpendek waktu tunggu, dan mendokumentasikan seluruh proses penanganan. Pengembangan sistem ini juga akan mendukung transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik.
Sebagai analis kebijakan, menjadi krusial untuk mendorong hadirnya kebijakan integratif yang tidak hanya berfokus pada aspek medis, tetapi juga melibatkan perlindungan hukum, sosial, dan psikologis bagi korban. Pelayanan rumah sakit bukan hanya urusan penyembuhan, tetapi juga cerminan dari keberpihakan negara terhadap keadilan dan kemanusiaan. Reformasi kebijakan pelayanan rumah sakit bagi korban kekerasan harus menjadi prioritas lintas kementerian, khususnya Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan LPSK.(*)

  • Bagikan