Petani Jagung di Lereng Pegunungan: Antara Pendapatan dan Ancaman Bencana

  • Bagikan

Oleh : Ivan Satriawan, S.P (KETUA BEM FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS ANDI DJEMMA Periode 2023-2024)

Di banyak wilayah pegunungan Indonesia, salah satu nya di suatu daerah di sulawesi selatan ,kabupaten luwu tepat nya di kecamatan Bajo barat dan latimojong Menjadi perbincangan hangat, di tengah marak nya eksploitasi alam yang dapat menyebabkan bencana alam(longsor,banjir bandang dan krisis iklim dan bencana lainnya). Tentu ini menjadi pembahasan yang sangat penting karna dapat menimbulkan dilema antar masyarakat (petani).

petani jagung menjadi tulang punggung ekonomi lokal. Namun, di balik ladang jagung yang menghampar di lereng-lereng curam, tersembunyi persoalan besar: kerusakan lingkungan yang perlahan namun pasti memperbesar risiko bencana. Dalam kondisi ini, pertanyaan klasik pun muncul: mana yang lebih penting—meningkatkan pendapatan petani atau menjaga keseimbangan ekologi?

Pertanian jagung di lahan miring kerap dilakukan tanpa teknik konservasi tanah yang memadai. Akibatnya, tanah mudah terkikis saat hujan deras, menyebabkan erosi, longsor, dan bahkan banjir bandang. erosi tanah yang terjadi secara signifikan menurunkan kapasitas produktif lahan pertanian, dan dalam jangka panjang mengancam ketahanan pangan lokal.

Ironisnya, kerusakan lingkungan ini justru berbalik menghantam para petani sendiri,baik dalam bentuk gagal panen, rusaknya infrastruktur desa, maupun turunnya hasil pertanian. praktik konservasi seperti terasering dan penggunaan tanaman penutup tanah adalah strategi kunci dalam mencegah degradasi tanah di lahan miring.

Sayangnya, solusi yang kerap ditawarkan cenderung ekstrem: pelarangan total budidaya di lahan miring atau relokasi petani ke dataran rendah. Padahal, kenyataannya tak sesederhana itu. Pertanian adalah satu-satunya sumber penghidupan bagi banyak keluarga. Relokasi tanpa dukungan dan partisipasi petani dapat menyebabkan dislokasi sosial dan ekonomi yang berkepanjangan.

Yang dibutuhkan adalah pendekatan yang adil dan berkelanjutan. Sistem pertanian konservasi seperti yang diusung dalam pendekatan agroekologi telah terbukti mampu menjaga produktivitas sambil menahan laju kerusakan lingkungan. Namun, semua ini hanya dapat diterapkan jika ada dukungan nyata: pelatihan, insentif, dan akses ke teknologi serta pasar.

Tak kalah penting, harga jagung yang layak dan akses pasar yang lebih adil akan mengurangi tekanan bagi petani untuk terus membuka lahan baru. Laporan IFAD (2016) menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan petani kecil lebih efektif dicapai melalui penguatan rantai nilai, akses pasar, dan inovasi lokal daripada perluasan lahan.

Ekonomi dan ekologi bukan dua kutub yang harus dipertentangkan. Justru keduanya saling membutuhkan. Petani sejahtera hanya bisa dicapai jika lingkungan tetap lestari. Dan lingkungan yang lestari hanya bisa dirawat jika masyarakat di sekitarnya tak lagi hidup dalam kekurangan.

FAO (2013) dalam Climate-Smart Agriculture Sourcebook menekankan bahwa pertanian dapat menjadi solusi terhadap perubahan iklim dan risiko bencana jika dikelola secara adaptif dan inklusif.

Sudah saatnya kita berhenti memaksa memilih satu di antara keduanya. Yang dibutuhkan adalah jalan tengah yang manusiawi dan ilmiah: menjadikan pertanian sebagai solusi, bukan sumber masalah.(*)

  • Bagikan

Exit mobile version