Sekolah Rakyat: Harapan Akar Rumput

  • Bagikan

Oleh Mattewakkan, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin 

Pada sebuah kampung di pinggiran kota, seorang anak sepuluh tahun duduk di beranda rumah panggung yang tua. Ibunya menjemur ikan asin di halaman. Ayahnya? Tak jelas di mana. Anak itu tidak sekolah, tidak pula bekerja. Ia hanya hidup—di celah-celah yang luput dari catatan negara.
Cerita ini bukan fiksi, melainkan potret yang berulang di banyak sudut negeri.

Ia menjelma nyata dari lorong-lorong kota Makassar hingga pelosok Sulawesi Selatan. Ribuan anak usia sekolah hidup dalam ketidakpastian. Mereka mungkin korban kemiskinan, sekaligus korban dari sistem pendidikan yang belum menjangkau semua kalangan.

Pada tahun 2024, tercatat sebanyak 140.017 anak di Sulawesi Selatan tidak bersekolah. Setelah dilakukan verifikasi lapangan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, data yang valid menunjukkan bahwa terdapat 37.195 anak atau sekitar 26,5 persen dari jumlah awal. Dari jumlah tersebut, sebanyak 14.347 anak berhasil dikembalikan ke bangku sekolah (Tribun Timur, 1 Januari 2025).

Data ini menggambarkan kenyataan bahwa anak-anak di wilayah ini masih menghadapi persoalan putus sekolah dan kerentanan sosial. Banyak di antara mereka hidup tanpa dokumen identitas resmi, yang semakin mempersulit akses terhadap layanan dasar, termasuk pendidikan.
Padahal konstitusi kita jelas. Pasal 31 UUD 1945 menyatakan: “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Ini bisa berarti, ketika sistem formal gagal, negara harus mencari jalan lain. Di sinilah gagasan Sekolah Rakyat yang dibawa oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menemukan urgensinya.

Sekolah Rakyat hadir sebagai solusi atas masalah keterbatasan akses pendidikan yang masih dialami jutaan anak Indonesia. Ia menyasar anak-anak dari keluarga miskin ekstrem, mereka yang putus sekolah, serta yang tinggal di wilayah terpencil dan terisolasi. Presiden Prabowo menegaskan di Sidang Kabinet Paripurna, Maret 2025: “Kalau bapaknya pemulung, anaknya tidak boleh jadi pemulung. Kita harus berdayakan.”

Program ini awalnya direncanakan mulai di 53 titik percontohan, namun kini telah berkembang menjadi 65 lokasi dengan lebih dari 8.000 calon siswa, sebagaimana disampaikan oleh Menteri Sosial Syaifullah Yusuf pada 9 Mei 2025. Sekolah ini  menerapkan pendekatan individual, berbasis pembelajaran yang kontekstual dan fleksibel, disesuaikan dengan kebutuhan lokal namun tetap berpedoman pada kurikulum pendidikan nasional.

Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai menara gading, melainkan sebagai ruang belajar yang akrab dan membumi.
Namun Sekolah Rakyat tentu bukan sekadar kelas darurat. Ia juga menjadi ruang pemulihan—bagi luka sosial dan psikologis yang lama tersembunyi.

Banyak anak merasa malu dan takut kembali ke sekolah formal. Sekolah Rakyat memberi jalan masuk yang lebih bersahabat. Dengan pendekatan yang dilakukan, program ini berupaya mengurangi hambatan sosial yang sering kali menghalangi anak-anak untuk melanjutkan pendidikan mereka.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati turut menekankan pentingnya program ini: “Kita bahkan membuat Sekolah Rakyat untuk masyarakat miskin. Ini yang sekarang sedang digodok dan akan ditingkatkan,” (15 Maret 2025). Menurutnya, pelaksanaan Sekolah Rakyat bertujuan memberikan pendidikan bagi anak-anak miskin, sehingga pemerintah terus mematangkan rencana ini.

Dari ruang pemulihan ini, akan muncul dampak-dampak yang bisa diukur, yang menunjukkan Sekolah Rakyat bukan hanya sekedar angan-angan. Program ini didesain untuk mengurangi jumlah anak yang tidak sekolah, membuka jalan menuju pendidikan formal atau pelatihan kerja, serta menumbuhkan kembali rasa percaya bahwa negara hadir di tengah masyarakat.

Namun seperti benih yang baru tumbuh, semua ini masih rentan. Tanpa sistem yang kuat, program ini bisa layu di tengah jalan. Tantangan besar menanti: dari pendanaan, kualitas pengajar, kesinambungan program, hingga keterpaduan dengan sistem pendidikan nasional.

Salah satu tantangan terberatnya adalah menjaga kualitas. Meskipun program ini dirancang dan dijalankan oleh pemerintah, pelaksanaannya tersebar di banyak lokasi dengan karakteristik yang berbeda-beda. Akan ada tempat yang mungkin berkembang pesat karena dukungan sumber daya dan pengajar yang memadai, tapi ada juga yang bisa terseok karena hambatan teknis atau lemahnya koordinasi.

Di sinilah negara harus hadir bukan sekadar sebagai penggagas, tapi juga sebagai pengawal mutu di setiap titik pelaksanaan.
Yang juga mendesak adalah jalur lanjutan. Anak-anak yang kembali belajar melalui Sekolah Rakyat perlu kepastian: apakah bisa masuk kembali ke sekolah formal, dilatih vokasi, atau disertifikasi keterampilannya. Tanpa ini, Sekolah Rakyat bisa menjadi ruang transit yang menggantung, namun bukan jembatan yang utuh.

Diperlukan rancangan kebijakan yang terintegrasi antara Kemensos, Kemendikbudristek, pemerintah daerah, dan komunitas pendidikan alternatif. Tanpa koordinasi, program ini rawan tersendat di simpang birokrasi. Kita sudah terlalu sering melihat inisiatif baik melemah begitu angin politik berganti. Sekolah Rakyat harus hidup melampaui musim kekuasaan.

Model seperti ini sejatinya bukan hal baru. Komunitas seperti Sanggar Senja, Sanggar Anak Akar, atau Sekolah Lentera Anak telah lama bekerja di ruang ini, meski dengan keterbatasan sumber daya. Sekolah Rakyat, karena hadir atas nama negara dan kekuatan anggaran, punya peluang besar untuk melampaui mereka semua—asal digarap dengan kesungguhan. Pemerintah perlu belajar banyak dari model-model yang sudah ada tersebut.

Sesungguhnya, anak-anak itu tidak pernah meminta lahir dari rahim kemiskinan. Mereka hanya ingin tumbuh, belajar, dan dihargai sebagai warga negara. Masa depan republik diletakkan di pundak mereka—tanpa pernah ditanya, siapkah mereka?
Akhirnya, ketika negara turun tangan lewat Sekolah Rakyat, sejatinya yang dilakukan bukan cuma menyediakan guru, papan tulis dan kursi, tetapi juga pengakuan: bahwa anak-anak itu ada, bahwa mereka penting. Jika republik ini masih punya cita-cita, biarlah ia tumbuh lebih dulu di mata anak-anak yang selama ini luput dari pandangan.

  • Bagikan