Ikan Busuk Dari Kepalanya

  • Bagikan

Oleh : Nurdin (Dosen UIN Palopo)

Beberapa waktu lalu, Prof. Mahfud MD mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) mengkritik hukum di Indonesia dalam podcast yang diunggah diakun YouTube-nya, Mahfud MD official. Kritik pedas dilontarkan, seiring banyaknya penegak hukum tertangkap dugaan korupsi.

Dia mengatakan, "Sekarang ini hukum itu seperti apa? Seperti toko kelontong, tinggal beli orangnya, Anda mau beli hukum berapa, sekelas apa, sekualitas apa. Nah, itu yang sekarang" Kritik ahli hukum Tata Negara itu, beralasan.

Bagaimana tidak, kalau kita menonton TV banyak hakim yang terjaring kasus dugaan suap. Bahkan, dilansir dari kompas, data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hakim menjadi penegak hukum yang paling banyak ditangkap akibat dugaan korupsi.

Data dalam rentang waktu 2010 sampai dengan 2025 menyebut ada 31 hakim yang terjerat kasus korupsi ditangani oleh KPK, menyusul penasihat hukum 19 kasus, 13 jaksa dan 6 polisi. Itu yang ditangani oleh KPK, belum dihitung yang ditangani oleh penegak hukum lainnya.

Apa yang disampaikan Prof. Mahfud, merupakan bentuk kegelisahannya melihat perilaku oknum penegak hukum saat ini. Dan memang kenyataan. Kita perhatikan saja di media, hampir setiap saat ada yang tertangkap.

Saya ingat arahan presiden Prabowo Subianto. Beliau menganalogikan ikan busuk dimulai dari kepala. Katanya "Ikan busuk berawal dari kepalanya, bukan dari badan atau buntutnya. Artinya, baik atau buruknya suatu lembaga dan negara akan berasal dari pemimpinnya"

Pernyataan itu disampaikan saat arahan terkait antikorupsi di Akademi Militer (Akmil), Magelang, Jateng. Kemudian dipertegas lagi oleh Wamen ketenagakerjaan, yang pernah jadi Ketua relawan Jokowi mania (Joman), Immanuel Ebenezer yang kerap disapa Noel.

Kata Noel, "Ada analogi yang disampaikan oleh pak Prabowo, ikan itu kalau busuk dari kepalanya, bukan dari badan atau buntut. Artinya apa? Ya, kalau mau bersih dari kepalanya dulu, pemimpinnya" begitu ucap politikus partai Gerindra itu.

Tetapi saya yakin kalimat itu, tidak menyasar ke institusi penegak hukum. Memaknai kalimat Presiden itu, sederhanya beliau ingin mengatakan bahwa "Pemimpin harus memberi contoh, bukan hanya retorika atau omongan kosong" kalau misalnya, dikatakan"Jangan korupsi" Ya, dia lebih dulu membuktikan dirinya bersih.

Bukankah satu tindakan lebih baik dari seribu petuah bijak? Bawahan melihat contoh, bukan mendengar omongan. Seperti anak kita, tidak mahir dalam mendengarkan, tetapi tidak pernah gagal meniru orang tuanya. Kata James Baldwin, "Anak-anak memang tidak pernah bagus mendengarkan orang tua. Namun, anak tidak pernah gagal meniru orang tua mereka"

Termasuk dalam menegakkan hukum, agar analogi presiden itu tidak nyasar dalam konteks penegakan hukum. Ya, yang dipilih mereka yang benar-benar berintegritas. Caranya bagaimana? Lihat kedisiplinan dan kejujurannya.

Penegak hukum mesti menanamkan dalam dirinya, dua hal ini; disiplin dan jujur. Karena, pintar saja tidak cukup. Coba lihat mereka yang tertangkap, bukan tidak pintar. Rata-rata memiliki gelar akademik yang mumpuni, tidak diragukan dan mereka pintar. Cuma masalahnya, tidak jujur. Tidak jujur pada dirinya.

Karakter moralnya bermasalah. Harusnya diseimbangkan antara karakter kinerja (disiplin) dan karakter moral (jujur). Ada orang kinerjanya bagus, disiplin, tetapi karakter moralnya berantakan, suka ambil yang bukan haknya.

Juga ada orang yang bagus moralnya. Pantang mengambil yang bukan haknya, tetapi karakter kinerjanya yang amburadul, malas, tidak disiplin, merasa paling hebat, paling dibutuhkan. Seolah-olah organisasi tidak jalan kalau bukan dia.

Keduanya mesti jadi fokus perhatian, diseimbangkan. Utamanya bagi mereka yang diserahi tanggung jawab. Jika tidak, kita akan selalu dihadapkan pada pilihan orang menduduki suatu jabatan bukan karena kualitasnya, tetapi karena sesuatu hal.(*)

  • Bagikan