Menghidupkan Kembali Api Kebangkitan dari Budi Utomo

  • Bagikan

Oleh: Syafruddin Jalal

SETIAP 20 Mei, kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Namun, pertanyaannya adalah: apakah kita benar-benar bangkit atau hanya sibuk memperingati?

Tanggal ini bukan sekadar momen dalam kalender nasional, melainkan titik tolak sejarah yang mengguncang kesadaran kebangsaan di awal abad ke-20.

Lahirnya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 bukan hanya simbol lahirnya organisasi, tapi lebih dalam lagi: simbol lahirnya semangat nasionalisme Indonesia yang terorganisir.

Ketika Dr. Soetomo dan rekan-rekannya di STOVIA, terdorong oleh pemikiran progresif Dr. Wahidin Soedirohusodo, mendirikan Budi Utomo, mereka sedang menanamkan benih keberanian di tengah-tengah kebekuan zaman kolonial.

Dalam semangat yang tak terpadamkan, mereka mulai memandang Indonesia bukan sebagai potongan-potongan etnis dan daerah, tetapi sebagai satu kesatuan bangsa. Sebuah gagasan yang revolusioner untuk konteks masa itu.

Keputusan Presiden Soekarno pada tahun 1948 untuk menetapkan 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, di tengah gejolak Revolusi Nasional, bukanlah kebetulan. Di balik perang dan kekacauan, Soekarno—dengan dukungan tokoh seperti Ki Hadjar Dewantara—ingin menghidupkan kembali narasi intelektual dan persatuan yang lahir dari Budi Utomo. Ia sadar, bangsa tidak hanya dibangun dari darah dan peluru, tetapi juga dari ide dan kesadaran.

Memang, sejarah mencatat bahwa Budi Utomo sempat mendapat kritik karena dianggap terlalu elitis, terlalu Jawa, dan terlalu kooperatif dengan pemerintah kolonial.
Namun di luar itu, organisasi ini telah memantik api yang kemudian menyala lebih terang lewat Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan Indische Partij. Di sinilah pentingnya memahami sejarah dengan kacamata yang adil: bukan untuk mengagungkan, tapi untuk mengambil hikmah dan arah.

Kongres pertamanya pada Oktober 1908 di Yogyakarta menjadi bukti bahwa gagasan bisa menyebar. Dari satu kota, Budi Utomo melebarkan pengaruh ke banyak daerah, dan dari satu organisasi, lahir semangat perlawanan yang lebih sistematis dan berkarakter nasional. Pendidikan dan kebudayaan menjadi senjata, bukan sekadar bambu runcing.

Kini, lebih dari seabad setelahnya, kita hidup di zaman ketika nasionalisme kerap dikerdilkan menjadi slogan, dan kebangkitan bangsa sekadar tema pidato. Maka tugas kita bukan hanya memperingati, melainkan mewarisi semangat kebangkitan itu. Semangat yang percaya bahwa kemerdekaan tidak datang dari langit, tapi dari tekad, kesadaran, dan solidaritas.

Hari Kebangkitan Nasional seharusnya menjadi refleksi: apakah kita masih satu bangsa yang bergerak bersama? Apakah pendidikan kita masih menyalakan semangat perubahan? Apakah elite kita masih memiliki jiwa pengabdian seperti Soetomo dan Wahidin dulu?

Jika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu mengarah pada pesimisme, maka Hari Kebangkitan Nasional harus menjadi peringatan keras: bahwa api sejarah bisa padam jika kita hanya merayakannya tanpa menyalakan kembali nyalanya. (*)

Salam
Syafruddin Jalal

  • Bagikan

Exit mobile version