Beras di gudang.
PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, JAKARTA-- Di tengah capaian luar biasa sektor pertanian Indonesia, narasi liar justru menyeruak. Sebagian media, termasuk yang berlabel arus utama seperti Tempo, melontarkan tudingan bahwa lonjakan produksi dan stok beras hanyalah ilusi dan akal-akalan belaka.
Media seperti Tempo dinilai konsisten menyerang Kementerian Pertanian dan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, yang dikenal tegas membela kepentingan petani dan membabat habis mafia pupuk, mafia beras, dan mafia impor.
“Media seperti Tempo ini seperti tak pernah lelah mencari celah menyerang Kementan. Sikap redaksionalnya tampak berpihak pada mafia pangan. Pak Amran terlalu berani membela petani. Mafia pupuk dihajar, mafia beras dibongkar, mafia impor ditekan—jelas mereka tak nyaman,” ujar Debi Saputra, anggota Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Pemerhati Pangan Indonesia (AMMPI), Senin (26/5).
Debi juga menyinggung narasumber langganan yang kerap digunakan media tersebut, padahal diduga memiliki rekam jejak kasus. “Jangan sampai media dipakai jadi alat propaganda mafia. Karena faktanya, produksi naik, stok aman, dan petani diuntungkan.”
Ironisnya, narasi yang dilontarkan media-media tersebut justru berdiri di atas asumsi, bukan data. Padahal, tiga lembaga kredibel—Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), dan Perum Bulog—telah menyajikan data kuat yang membantah pesimisme soal produksi dan stok beras nasional.
Data terbaru dari BPS menunjukkan bahwa produksi beras nasional Januari–Maret 2025 mencapai 8,67 juta ton, naik 52,32% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya (5,69 juta ton). Proyeksi hingga Juni 2025 bahkan mencapai 18,76 juta ton, jauh di atas capaian 2024 yang sebesar 16,87 juta ton.
Tak hanya itu, laporan resmi USDA tahun 2024/2025 mencatat estimasi produksi beras Indonesia sebesar 34,6 juta ton, meningkat dari 34,084 juta ton pada musim sebelumnya. Dalam konteks Asia Tenggara, Indonesia kini menjadi negara dengan volume produksi beras tertinggi, mengungguli Thailand dan Vietnam.
Pencapaian lebih spektakuler datang dari Perum Bulog. Cadangan Beras Pemerintah (CBP) per Mei 2025 mencapai 3,9 juta ton—angka tertinggi sepanjang sejarah Bulog berdiri. Sebagai perbandingan, stok Bulog biasanya hanya berkisar 1,5–2 juta ton.
Namun, capaian luar biasa itu malah dituding sebagai akal-akalan. Debi menduga ada upaya sistematis membangun pesimisme publik melalui pemberitaan yang menyesatkan. Ia menilai kuat bahwa mafia pangan tengah bergerilya lewat media, menyebarkan keraguan publik.
“Kalau sudah melawan data resmi BPS, USDA, dan Bulog, itu bukan jurnalisme profesional. Itu jurnalisme kepentingan!” tegas Debi.
Menurutnya, mafia pangan selama ini diuntungkan saat negara lemah. Kini, ketika produksi naik, stok berlimpah, dan celah impor makin tertutup, pihak-pihak yang selama ini bermain pun mulai panik.
Debi juga menilai aneh jika ada yang mengaku sebagai pelaku atau pengamat pertanian, tapi justru menolak Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Rp6.500/kg dan penghapusan rafaksi, padahal dua kebijakan ini nyata menguntungkan petani.
“Jangan-jangan mereka bukan bicara atas nama petani, tapi jadi corong para tengkulak dan importir,” tandasnya.
Debi menambahkan bahwa narasi pesimistis tentang produksi dan stok beras langsung terpatahkan oleh satu hal: data resmi. “Dengan data-data sekuat ini, sulit untuk membantah bahwa Indonesia sedang dalam jalur penguatan kedaulatan pangan. Maka wajar jika muncul pertanyaan: siapa yang terganggu oleh keberhasilan ini?”
Ia juga mengungkap bahwa Polri kini tengah memproses sekitar 20 calon tersangka mafia pangan, dan 50 perusahaan lainnya sedang dalam tahap penyelidikan.
“Kalau Anda bermain-main dengan data, lalu mengganggu stabilitas pangan nasional, bersiaplah. Pemerintah sangat serius memberantas mafia pangan sampai ke akar-akarnya,” ujarnya.
Pemerintah juga telah menetapkan HPP beras Rp12.000/kg, dan meskipun harga pasar sedikit lebih tinggi, hal itu masih dalam batas wajar.
“Tidak semua kenaikan harga itu buruk. Kalau petani dan pedagang untung, ekonomi rakyat hidup. Yang penting stok aman dan inflasi terkendali,” pungkas Debi.(*/uce)