Kota Ramah Anak

  • Bagikan

Oleh: Dr. Muhammad Akil Musi, S.Pd., M.Pd
(Dosen PAUD Universitas Negeri Makassar)

“Children should be able to play in their local areas.”
(“Anak-anak seharusnya bisa bermain di daerah mereka.”)

Bermain adalah cara anak-anak untuk mengenal lingkungan sekitar, mengembangkan kemampuan bersosialisasi, mengasah nalar dan rasa, juga mengembangkan keterampilan fisiknya. Pentingnya bermain dalam perkembangan anak ini bahkan diakui oleh psikolog dari perguruan tinggi terkenal di Bandung. Katanya bermain bagi anak-anak itu seperti bekerja bagi orang dewasa.

Kalau orang dewasa bekerja 8 jam sehari, maka sebanyak itulah anak perlu bermain. Tidak hanya dari segi keilmuan tetapi dari segi hukum pun ternyata hal ini sudah diakui. Buktinya Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) no 23/2002 pasal 11 menegaskan bahwa anak-anak punya hak untuk kegiatan rekreasi dan bermain untuk pengembangan diri.

Mengingat pentingnya bermain bagi anak-anak, keberadaan lingkungan atau kota yang ramah, nyaman dan aman untuk anak menjadi sangat penting. Di mana lagi anak-anak bermain kalau bukan di lingkungan sekitarnya sendiri? Kalau di sekitar anak tidak ada tempat atau sarana untuk mereka bermain, artinya sama saja kita tidak memenuhi hak anak. Pemikiran ini tampaknya mendasari munculnya peraturan tentang kota ramah anak, yang dikeluarkan oleh UNICEF dan di terjemahkan ke konteks nasional oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Salah satu yg harus diperhatikan dalam mengembangkan kota saat ini adalah kota yg peduli dengan anak-anak. Kota tidak hanya sebagai tempat untuk orang dewasa tetapi juga harus memikirkan bagaimana kota menjadi tempat yang ramah terhadap anak. Anak bisa berkreasi, anak bisa memanjakan dirinya dengan fasilitas yang disediakan pemerintah, sehingga anak-anak di kota tidak terjebak dengan menjadi pengamen, peminta-minta, eksploitasi dan berbagai kekerasan lainnya. Oleh sebab itu pemerintah dan semua lapisan masyarakat harus berfikir dan menyusun program yang tepat guna untuk membangun masa depan anak-anak ini, salah satunya adalah melalui pembangunan kota yang ramah terhadap anak. Kota yang ramah atau layak terhadap anak, tidak hanya ditentukan oleh membangun fasilitas-fasilitas pembangunan yang memanjakan fisik anak-anak, tetapi mampu memberikan perlindungan dan kecerdasan didalamnya.

There are more people living in cities and more children growing up in cities than ever before. Over one billion children now live in urban areas around the world UNICEF (2012). By 2030, up to 60% of the global population are projected to live in urban settings and up to 60% of those urban residents will be under the age of eighteen (Woodrow Wilson International Center for Scholars,2003, UNICEF,2018). (Ada lebih banyak orang yang tinggal di kota dan lebih banyak anak yang tumbuh di kota daripada sebelumnya. Lebih dari satu miliar anak sekarang tinggal di daerah perkotaan di seluruh dunia (UNICEF,2012). Pada tahun 2030, hingga 60% dari populasi global diproyeksikan untuk hidup dalam pengaturan perkotaan dan hingga 60% dari penduduk kota itu akan berusia di bawah delapan belas tahun (Woodrow Wilson International Centre for Scholars,2003, UNICEF,2018).

Beberapa kekerasan terjadi pada anak diperkotaan, salah satunya disebabkan oleh anak tidak dihadapkan dengan kota yang ramah atau layak terhadap kehadiran anak itu sendiri. Konsep pembangunan kota masih belum difikirkan untuk ramah atau layak terhadap anak, masih terjebak dengan stigma kota sebagai pusat perdagangan dan pusat belanja. Padahal salah satu unsur yang ada di sebuah kota itu adalah anak-anak. Dan pada akhirnya perkotaan lupa untuk membangun fasilitas-fasilitas sebagai wujud keramahannya terhadap anak. Kota hadir dengan kemegahannya tanpa memberikan ruang untuk anak berekspresi dan beraktifitas. Menurut UNICEF (2004) Innocenti Reseach Center kota yang ramah anak adalah kota yang dapat menjamin hak setiap anak untuk mengekspresikan pendapat mereka tentang kota yang mereka inginkan. Antara lain anak dapat berperan serta dalam kehidupan keluarga, komuniti, dan sosial. Istilah "Kota Ramah Anak atau Kota Layak Anak" mengacu pada sistem pemerintahan lokal yang berkomitmen untuk memenuhi hak-hak anak.

Dalam proses tumbuh kembang, anak memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi agar bisa bertumbuh kembang secara optimal. Kebutuhan tersebut bukan hanya terkait kebutuhan fisik, namun juga kebutuhan sosial dan psikologis serta lingkungan yang mendukung berkembangnya semua potensi yang dimilikinya. “Lingkungan yang baik, akan menghasilkan anak yang baik yang selanjutnya akan berkembang menjadi insan dewasa dan berada di lingkungan yang lebih luas lagi, yaitu wilayah dan negara serta dunia. Kita tidak dapat mengharapkan adanya sumber daya manusia yang handal, jika lingkungan untuk anak tidak baik,” ungkap Menteri PPPA, Linda Amalia Sari Gumelar, dalam sebuah acara Talkshow (Ratih, 2018).

Menurut kemenpppa (2016) Perwujudan kota yang tenang dan nyaman bagi anak dan penghuni kota lainnya membutuhkan proses panjang, dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi pembangunan kota. Pada tiap tahapan, diharapkan ada keseimbangan antara keterlibatan pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan. Misalnya pemerintah tidak dominan dalam proses perencanaan. Pada tahap perencanaan, pendekatan bawah-atas lebih diutamakan dalam pencarian kebutuhan, dibandingkan pendekatan atas-bawah. Begitu pula dengan tahap selanjutnya, masyarakat tetap dilibatkan, sehingga proses tersebut memperoleh legitimasi dan dukungan masyarakat.

Adapun upaya-upaya yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam menjadikan daerah mereka menjadi daerah yang ramah anak. Herawati (2017) mengatakan bahwa daerah layak anak diperkenalkan sejak 2006 Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dengan memperkenalkan Kota Layak Anak (KLA) melalui Kebijakan Kota Layak Anak. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28B ayat (2) yang kemudian diimplementasikan melalui Undang-Undang Perlindungan Anak sebagai lanjutan dari ratifikasi Konvensi Hak-hak Anak melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990. Terkait dengan pelaksanaan Kota Layak Anak, yang pengaturannya juga sesuai dengan amanat Undang-Undang Pemerintah daerah. Pengaturan terkait anak yang diatur dalam Undang-Undang Pemerintah daerah mengatur bahwa Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak merupakan salah satu Urusan “Wajib” Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersifat Non Pelayanan Dasar. Dengan dasar tersebut, maka Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sejak 2006 telah mengembangkan Kebijakan Kota Layak Anak (KLA) dan tahun 2009 diterbitkan Peraturan Menteri PPPA Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kebijakan Kota Layak Anak (KLA), yang diuji coba di 10 Kabupaten/ Kota. Tujuan akhir yang hendak dicapai adalah bahwa pada 2030 Indonesia telah mencapai kondisi Indonesia Layak Anak (IDOLA).

Pada penelitian tentang ”Persepsi Mengenai Lingkungan Kotanya” yang dilakukan oleh Hamid Patilima (Hamid,2004) disimpulkan bahwa dengan membangun sarana kebutuhan masyarakat (orang dewasa), pemerintah kota menganggap bahwa kebutuhan anak pun telah terwakili dan terpenuhi dengan sendirinya. Pengabaian pemerintah kota terhadap anak bukan hanya pada kebijakan dan anggaran yang terbatas, tetapi juga pada pelayanan dan penyediaan sarana kota yang berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Oleh karena itu untuk mewujudkan kota yang ramah anak diperlukan beberapa perubahan dan strategi agar tujuan itu tercapai.

Irwanto (2008) berpendapat bahwa, salah satu paradoks pembangunan manusia modern adalah diakuinya anak-anak sebagai masa depan kemanusiaan, tetapi sekaligus sebagai kelompok penduduk yang paling rentan karena sering diabaikan dan dikorbankan dalam proses pembangunan itu sendiri. Ketika ekonomi membaik dan pembangunan di segala bidang bergairah, kepentingan anak-anak tidak menjadi prioritas. Akan tetapi, manakala ekonomi memburuk, konflik berkecamuk, kekacauan sosial berkembang di mana-mana, anak-anak menjadi korban untuk memenuhi kebutuhan orang dewasa.

Secara umum dapat dikatakan bahwa masalah anak belum menjadi prioritas dalam kebijakan dan penganggaran di pemerintah Kota dan gerakan perlindungan anak belum dilakukan secara maksimal. Perubahan-perubahan yang diharapkan belum signifikan. Contohnya masih banyak ditemukan permasalahan-permasalahan pada anak di antaranya adalah kekerasan psikis, kekerasan fisik dan penelantaran ekonomi, kekerasan ekonomi, eksploitasi, trafficking, pelecehan seksual, masih banykanya terlihat anak yang mengamen ataupun mengemis di tepian jalan atau pada traffict light (lampu merah), masih banyaknya anak-anak yang terpaksa bekerja (dipekerjakan) pada saat jam belajar anak, karena orangtua yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Selain itu, ada juga kekerasan ekonomi yang sering dialami oleh anak. Mereka terpaksa bekerja dikarenakan keterbatasan ekonomi sehingga anak membantu orangtuanya bekerja, bahkan ada beberapa anak yang hidup di jalanan menjadi pengemis dan gelandangan. Pemandangan seperti itu sering kita jumpai di pinggiran jalan atau di traffict light (lampu merah). 

Padahal yang harus kita ketahui anak merupakan bagian dari warga kota. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan pada tahun 2030, 60 persen anak tinggal di kota. Menurut David Sucher perancang kota dari Amerika Serikat dalam Hamid Patilima (2004) mengatakan anak seperti burung kenari di tambang batu bara. Mereka kecil, rentan dan butuh perlindungan. Akan tetapi sebagian besar dari jutaan anak yang hidup di kota belum merasa tenang dan nyaman melakukan kegiatan sehari-hari seperti bersekolah, bermain, dan berekreasi, terutama mereka yang tinggal di daerah kumuh dan permukiman liar, mereka tinggal berdesak-desakan, di perumahan-perumahan yang kurang sehat dan kurang mendapatkan pelayanan umum seperti fasilitas air bersih, sanitasi dan pembuangan sampah. Kondisi lain menggambarkan keterbatasan akses ke pelayanan kebutuhan dasar anak seperti kesehatan, pendidikan, bermain, rekreasi, kenyamanan menggunakan jalan, dan pedestrian. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan dan anggaran pemerintah kota di bidang anak belum menjadi prioritas dan masih terbatas. Perasaan tenang, nyaman, dan aman dengan lingkungan tempat tinggal, lingkungan komuniti, lingkungan sekolah mereka, serta tempat pelayanan kesehatan, merupakan gambaran persepsi anak mengenai lingkungan kota.

Hamid Patilima (2003), telah melakukan penelitian terhadap persepsi anak mengenai lingkungan kotanya. Patilima (2004) pada kasus Kelurahan Kwitang sedang merasakan terganggu dengan sampah yang menumpuk, saluran pembuangan air kotor yang mampat karena masih adanya warga yang membuang sampah sembarangan, dan jalan dengan trotoar yang rusak di beberapa titik di lingkungan tersebut merupakan gambaran sisi lainnya. Adapun kekhawatiran lainnya yaitu permukiman yang padat di kelurahan ini sewaktu-waktu bisa saja terjadi kebakaran seperti yang pernah terjadi sebelumnya, sehingga menjadi trauma bagi mereka. Masih pada sisi yang sama, fasilitas pada lingkungan bermain dan pelayanan transportasi, menurut mereka juga belum cukup memenuhi kebutuhan anak. Tidak semua keluarga informan ini tinggal di rumah yang menjadi milik sendiri, beberapa di antaranya bahkan masih mengontrak. Perasaan nyaman dan tenang, ada pada anak dengan rumah tinggal yang jelas status kepemilikannya (milik pribadi), berbeda dengan anak dari keluarga yang mengontrak atau menumpang di rumah kakek atau nenek yang mulai khawatir ketika masa kontraknya selesai dan mereka harus pindah. Mempunyai akses ke sumber air bersih, sistem pembuangan sampah, saluran pembuangan air kotor, jaringan listrik dan telepon adalah hal lain yang mendatangkan rasa tenang dan nyaman berada di rumah yang mereka tinggali. Di mata anak, kekurang disiplinan warga dalam menjaga kebersihan lingkungan terutama mengenai sampah dan saluran air kotor mengganggu pemandangan dan membuat polusi.

Adapun yang tidak boleh dilupakan yaitu ruang terbuka belum menjadi prioritas pemerintah kota dalam pembangunan kota. Hal ini teridentifikasi oleh anak-anak bahwa mereka tidak mempunyai tempat bermain aktif yang aman dan nyaman. Jalan, taman, bantaran kali, halaman sekolah, tempat parkir, dan tanah kosong adalah tempat-tempat favorit yang mereka manfaatkan sebagai tempat bermain. Syarat keselamatan, jauh dari tempat tinggal dan pantauan orangtua atau orang dewasa tidak menjadi pertimbangan mereka. Rusaknya ruas jalan di beberapa bagian dan trotoar di beberapa titik hingga beralih fungsinya tempat ini menjadi tempat usaha bagi pedagang kaki lima, dianggap anak mengganggu karena bisa membuat pejalan kaki terperosok, terjatuh, atau bahkan terserempet kendaraan. Demikian juga halnya dalam bidang transportasi. Rasa aman dan nyaman menggunakan jasa transportasi seperti bus dan kereta api ketika bepergian, belum mereka rasakan sepenuhnya. Kondisi kendaraan yang kurang baik, seperti coretan di dinding, bangku rusak, sampah berserakan, panas, berbau dan berdiri berdesakkan mereka deskripsikan sebagai ketidaknyaman berkendaraan. Cerita mengenai adanya copet membuat kekhawatiran mereka bertambah. Bus yang selalu tergesa-gesa ketika menurunkan penumpang, berhenti secara mendadak, penumpang yang terjatuh atau terantuk besi karenanya, sopir dan kernet yang kerap berperilaku kasar terhadap penumpang diungkapkan anak sebagai hal yang menakutkan ketika naik bus kota. Hal yang kurang lebih sama juga mereka rasakan di kereta api. Jatuh, tertindih atau terpisah dengan orangtua sehingga tidak bisa kembali ke rumah adalah hal yang menakutkan mereka naik kereta api. Permasalahan lainnya yaitu penyakit diare, infeksi saluran pernapasan atas, dan penyakit kulit adalah penyakit yang umumnya di derita anak-anak ini. Penyakit-penyakit tersebut erat kaitannya dengan resiko lingkungan air yang kurang bersih, makanan yang kurang higienis, sanitasi yang buruk, dan polusi udara di lingkungan tempat tinggal, tempat belajar dan bermain. (*)

  • Bagikan