Jokowi Di “Bala’-bala'”

  • Bagikan

Oleh : Nurdin (Dosen UIN Palopo)

Diskusi di kantin depan kantor berlangsung menarik, kawan saya bilang "Barusan ada bekas presiden di bala'-bala'. Mondar mandir kantor polisi hanya karena dituduh ijazahnya palsu". Di bala'-bala' (istilah dalam bahasa Luwu) yang kalau di Indonesiakan, kurang lebih bermakna "Dipandang enteng, disia-siakan"

Memang banyak kalangan yang prihatin, bahkan kuat dugaan hanya ingin mempermalukan pak Jokowi. Dan benar saja, setelah diselidiki oleh Bareskrim Polri oleh Brigjen Djuhandhani Rahardjo selaku Dirtipidum, dinyatakan bahwa ijazah Jokowi identik dengan ijazah pembanding.

Makna Identik dengan pembanding, yang jika menggunakan bahasa umum di masyarakat adalah ijazah pak Jokowi itu sama dengan ijazah seangkatannya yang dikeluarkan oleh UGM. Terkait pemalsuan, ahli forensik hanya menggunakan kata; Identik dan tidak identik, bukan palsu atau asli.

Usai diumumkan, tetap saja ada yang tidak percaya. Satu di antaranya, datang dari seorang pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar. Katanya, "Seharusnya perkara ini diteruskan sampai ke pengadilan dan yang menentukan hakim, bukan kepolisian"

"Hal ini juga agar masyarakat secara terbuka menyaksikan dan mengetahui bahwa ijazah yang disangka palsu itu resmi dan tidak palsu," Begitu kalimat pakar hukum pidana dari Trisakti itu, yang saya kutip di Media Indonesia.

Sangat disayangkan pernyataan itu, karena yang bersangkutan adalah pakar hukum. Sejatinya, memberikan statemen yang obyektif dan profesional sebagaimana kepakarannya. Tidak ngomong layaknya seorang politisi. Saya yakin dan percaya, hal itu sudah di luar kepala beliau.

Penyelidikan itu, mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan. Lantas, bagaimana jika peristiwa yang dicari, lalu ditemukan dan ternyata bukan tindak pidana? Bolehkah ditingkatkan ke tahap penyidikan?

Jika peristiwa itu ternyata bukan tindak pidana, maka pasti penyelidikannya dihentikan. Jadi, tidak semua harus dibawa ke pengadilan. Itulah sebabnya pembuat UU hukum acara pidana memisahkan; ada penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Saya beri contoh sederhana; kepala si X dibenturkan sendiri ke tembok, berdarah lalu melapor ke kantor polisi, bahwa telah dianiaya oleh si B. Padahal si B tidak pernah melakukannya, hanya karena si X benci saja dengan si B.

Apakah itu peristiwa pidana? Apakah tetap harus dilanjutkan, biar hakim yang memutuskan penganiayaan atau bukan? Kalau bertanya pada Mahasiswa hukum semester satu, mereka sudah bisa menjawab dengan baik.

Pernyataan beliau di atas, menggiring opini publik untuk tidak percaya pada kerja-kerja aparat penegak hukum. Padahal frasa "Tidak identik" itu datang dari ahli forensik setelah diuji secara laboratoris. Harapan kita, statemen yang menyesatkan seperti itu tidak lagi terjadi.

Apalagi beliau seorang pakar hukum pidana. Abdul Fickar Hadjar sering muncul di layar televisi memberikan pandangan hukum. Tentu kalau ngomong hukum, banyak yang percaya termasuk saya kalau cocok, tapi kalau tidak cocok menurut hukum, kita kritik, kita luruskan.(*)

  • Bagikan