Kurban: Menguji Keikhlasan di Era Konsumtif

  • Bagikan

Ilustrasi.

Oleh: Muhlisa Massi
(Ketua IPARI Kab. Luwu, Penyuluh Agama Islam Kec. Walenrang, Kementerian Agama Kab.Luwu)

Setiap kali Idul Adha datang, umat Islam di seluruh dunia memperingatinya dengan menyembelih hewan kurban sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. Namun lebih dari sekadar ritual tahunan, qurban sejatinya adalah ujian keikhlasan yang terus relevan sepanjang zaman. Di tengah era konsumtif saat ini, makna kurban menjadi semakin penting untuk diresapi dan dihidupkan kembali, bukan sekadar seremoni semata.

Kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang diperintahkan menyembelih putranya, Ismail, adalah pangkal dari ibadah kurban. Ia dan putranya menunjukkan ketaatan tanpa syarat kepada perintah Allah, meskipun harus mengorbankan sesuatu yang sangat dicintai. Allah mengabadikan kisah ini dalam Al-Qur’an sebagai pelajaran berharga sepanjang masa: “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.” (QS. Ash-Shaffat: 106)

Kini, ujian itu hadir dalam bentuk yang berbeda. Kita tidak diminta mengorbankan buah hati, tetapi keikhlasan diuji lewat harta benda yang dimiliki. Di era serba konsumtif, di mana segala sesuatu dinilai dari tampilan dan gengsi, berkurban kadang dijadikan ajang pencitraan. Media sosial menjadikan sebagian orang lebih fokus pada dokumentasi daripada makna kurban itu sendiri.

Padahal, esensi kurban terletak pada kerelaan hati untuk memberikan yang terbaik bagi orang lain semata-mata karena Allah. Keikhlasan menjadi semakin langka ketika semua hal dinilai dari materi dan popularitas.
Menyisihkan rezeki untuk membeli hewan kurban bukan hanya soal kemampuan, tapi juga soal kesediaan menekan ego dan nafsu duniawi. Dalam hal ini, kurban adalah jihad pribadi—melawan hawa nafsu dan kebiasaan konsumtif yang melekat erat dalam gaya hidup modern.

Allah menegaskan dalam firman-Nya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalian-lah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37).

Ayat ini mengingatkan bahwa Allah tidak melihat seberapa besar hewan yang disembelih, tapi seberapa dalam keikhlasan dan ketakwaan yang kita hadirkan dalam prosesnya.

Kurban juga mengajarkan arti kepedulian. Di balik daging yang dibagikan, ada senyum dari mereka yang mungkin hanya bisa mencicipi daging setahun sekali. Di era individualistik dan hedonistik seperti sekarang, momen kurban adalah momentum untuk meruntuhkan tembok kesenjangan sosial dan menyambung silaturahmi dengan sesama. Nilai kurban menjadi sangat kontekstual di tengah makin renggangnya rasa empati dalam masyarakat kita.

Akhirnya, kurban adalah panggilan untuk menjadi pribadi yang lebih ikhlas, peduli, dan tunduk kepada Allah. Di tengah gemerlap dunia dan gaya hidup konsumtif, kurban mengajak kita kembali kepada inti kehidupan: ketakwaan. Mari jadikan Idul Adha bukan sekadar perayaan daging, melainkan refleksi spiritual untuk membersihkan hati, memperkuat iman, dan menumbuhkan jiwa sosial. Karena sejatinya, kurban yang diterima bukan yang terlihat oleh mata manusia, tapi yang sampai kepada Allah lewat keikhlasan hati.

Di sisi lain, ibadah kurban juga mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam simbolisme tanpa makna. Membeli hewan kurban yang mahal semata-mata untuk menunjukkan status sosial, tanpa niat tulus karena Allah, akan mengaburkan nilai spiritual dari ibadah ini. Kurban bukan soal besar kecilnya hewan, melainkan tentang kebesaran hati dalam memberi. Semakin ikhlas seseorang, semakin tinggi nilai ibadahnya di hadapan Allah, meskipun yang dikorbankan sederhana secara materi.

Fenomena gaya hidup konsumtif yang kian merasuk bahkan ke lini kehidupan keagamaan, menuntut umat Islam untuk melakukan muhasabah—introspeksi diri. Apakah kita berkurban karena Allah atau karena gengsi? Apakah niat kita murni untuk ibadah atau untuk diperbincangkan? Di tengah era digital yang serba tampil dan pamer, keikhlasan adalah sesuatu yang harus terus dijaga dan dipupuk. Jangan sampai amal ibadah kita kehilangan ruhnya karena orientasi duniawi.

Momen kurban seharusnya menjadi titik balik untuk mendidik diri agar lebih zuhud dan dermawan. Di tengah kesibukan mengejar keinginan dunia, kurban hadir sebagai panggilan untuk berhenti sejenak dan bertanya: sudahkah kita berkorban demi Allah? Sudahkah kita melepas sesuatu yang kita cintai untuk mereka yang membutuhkan? Karena sejatinya, kurban bukan sekadar tentang penyembelihan hewan, tetapi tentang menyembelih ego, nafsu, dan cinta dunia yang berlebihan. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version