Bank Sentral dan Smart Citizen: Wujudkan Masyarakat Melek Ekonomi dan Adaftif Terhadap Perubahan

  • Bagikan

Aslam, S.Si,Gr

Bayangkan Anda sedang berbelanja di pasar tradisional, lalu membayar dengan hanya memindai kode QR menggunakan ponsel. Atau Anda menyisihkan sebagian uang bulanan ke aplikasi investasi digital tanpa harus pergi ke bank. Semua kemudahan itu adalah bagian dari wajah baru dunia ekonomi yang semakin terhubung, cepat, dan digital. Namun, di balik semua kecanggihan ini, ada dua hal penting yang harus berjalan beriringan yaitu peran aktif Bank Sentral dan kesadaran masyarakat sebagai Smart Citizen.

PERAN STRATEGIS BANK SENTRAL

Peran Bank Indonesia sebagai Bank Sentral sangat penting di tengah perubahan zaman, karena tidak hanya menjaga kestabilan moneter dan sistem keuangan, tetapi juga tampil sebagai motor penggerak inklusi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Melalui kebijakan moneter yang cermat -seperti pengaturan suku bunga, pengendalian jumlah uang beredar, dan intervensi pasar- BI menjaga inflasi tetap stabil dan nilai tukar rupiah terkendali, demi mendukung daya beli masyarakat dan kelangsungan pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, BI juga memodernisasi sistem pembayaran dengan menghadirkan QRIS yang memungkinkan siapa saja, termasuk warung di gang sempit, menerima pembayaran digital secara praktis dan aman, menjadikan digitalisasi sebagai strategi inklusi keuangan (Ponce et al., 2020). Tak hanya itu, BI turut menjaga kesehatan sistem perbankan agar tidak menimbulkan risiko sistemik, terutama saat terjadi krisis global. Menariknya, Bank Indonesia kini juga menjalankan tiga program strategis: edukasi keuangan agar masyarakat tidak hanya mendapat akses layanan tetapi juga literasi yang cukup (Ferrand & Mas, 2021); mendorong inklusi keuangan digital yang menjangkau hingga pelosok negeri dengan memanfaatkan ponsel pintar (Rumbogo et al., 2021); serta pemberdayaan UMKM melalui program WUBI (Wirausaha Unggul Bank Indonesia) agar pelaku usaha kecil menjadi bagian dari pilar ekonomi nasional. Hal ini sejalan dengan pandangan Kulkarni dan Joshi (2021) yang menegaskan bahwa institusi keuangan harus aktif mendekatkan diri ke masyarakat, bukan sekadar menunggu dilayani. Meski demikian, tantangan tetap ada, seperti kesenjangan infrastruktur digital, rendahnya literasi, dan minimnya kepercayaan terhadap sistem keuangan.

Oleh karena itu, seperti disampaikan Qiu (2022), transformasi digital harus diiringi dengan inovasi kebijakan dan perlindungan konsumen. Kini, Bank Indonesia bukan hanya pengatur inflasi, melainkan juga mitra rakyat dalam mewujudkan ekonomi yang inklusif, adil, dan berkelanjutan.

SMART CITIZEN: PILAR PARTISIPASI EKONOMI MODERN

Menjadi warga negara cerdas atau Smart Citizen di era digital bukan lagi sekadar pilihan, melainkan kebutuhan yang mendesak agar setiap individu mampu bertahan dan berkembang di tengah arus perubahan yang cepat. Smart Citizen adalah sosok yang tidak hanya mahir menggunakan teknologi, tetapi juga memiliki kecerdasan finansial, kemampuan berpikir kritis terhadap kebijakan publik, serta aktif dalam aktivitas ekonomi harian. Mereka menjadi penghubung penting antara kebijakan makroekonomi dengan realitas kehidupan masyarakat. Ciri utama dari Smart Citizen terletak pada literasi digital dan keuangan, termasuk pemahaman terhadap sistem pembayaran digital seperti QRIS dan e-wallet, serta kesadaran dalam mengelola keuangan secara bijak. Kim dan Ko (2024) menekankan bahwa literasi digital sangat menentukan kemampuan seseorang dalam menjalani kehidupan digital yang cerdas, meski masih dipengaruhi oleh faktor usia, pendidikan, dan pendapatan. Sementara itu, Musa dkk. (2024) menambahkan bahwa pendidikan kewarganegaraan di era digital harus membekali warga dengan literasi informasi dan etika digital agar mampu memilah informasi yang valid, menjaga privasi, dan berpartisipasi sehat di ruang digital.

Selain literasi, kemampuan beradaptasi menjadi ciri khas utama Smart Citizen yang harus siap menghadapi perubahan sosial, teknologi, dan ekonomi dengan sigap dan bijak. Mereka tidak mudah panik ketika terjadi gejolak pasar atau lonjakan harga, karena telah dibekali pemahaman tentang dinamika ekonomi dan soft skill seperti berpikir kritis dan kolaborasi sosial. Lister (2020) menyatakan bahwa pembelajaran cerdas di komunitas urban mampu meningkatkan kapasitas adaptif warga melalui pendekatan informal yang berbasis komunitas. Di sisi lain, literasi keuangan menjadi fondasi penting dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi, karena setiap individu memiliki hak atas financial citizenship, yaitu pemahaman atas hak dan tanggung jawab keuangan dalam konteks sosial-politik (Khalil, 2020).

Smart Citizen tidak sekadar pengguna layanan, tetapi juga pencipta nilai yang berkontribusi pada pembangunan ekonomi lokal dan pengawasan publik. Karatzimas (2021) menunjukkan bahwa pemahaman warga terhadap laporan keuangan pemerintah dapat mendorong partisipasi aktif dalam pengawasan anggaran daerah, sedangkan Dunayev dkk. (2023) melalui studi di Ukraina menegaskan bahwa teknologi seperti blockchain dapat digunakan sebagai alat pemberdayaan warga dalam pengambilan keputusan publik. Dengan demikian, Smart Citizen adalah motor perubahan yang mendorong terwujudnya masyarakat yang cerdas, adil, dan partisipatif.

TANTANGAN DIMASA YANG AKAN DATANG

Meski idealisme Smart Citizen tampak menjanjikan, nyatanya masih banyak tantangan yang harus diatasi. Ketimpangan akses digital, rendahnya literasi, serta ketidakmerataan pendidikan dan infrastruktur menjadi hambatan nyata. Untuk menjawab tantangan ini, pendekatan multi-level perlu diterapkan. Awasthi dan Sukula (2022) menyarankan agar literasi digital dijadikan bagian dari kurikulum pendidikan formal dan nonformal. Peningkatan kapasitas perpustakaan, pelatihan komunitas, hingga pembelajaran berbasis proyek dapat menjadi solusi membumikan konsep Smart Citizen di berbagai lapisan masyarakat (Awasthi & Sukula, 2022).

Selain itu, Trisiana dkk. (2022) mengembangkan Smart Mobile Civic, sebuah model pembelajaran digital berbasis karakter kebangsaan untuk memperkuat pembelajaran kewarganegaraan di kampus. Ini menunjukkan bahwa pendidikan karakter dan partisipasi sipil bisa dikembangkan melalui integrasi teknologi dan kurikulum yang kontekstual.

KOLABORASI MENUJU MASYARAKAT MELEK EKONOMI

Di berbagai sudut pasar tradisional hingga warung kopi kecil, kini kita bisa menemukan kode QR yang menggantikan uang tunai. Fenomena ini bukan kebetulan, melainkan hasil dari terobosan strategis Bank Indonesia melalui penerapan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard). QRIS memungkinkan pelaku UMKM menerima pembayaran digital hanya dengan satu kode yang berlaku lintas platform, menjadikan transaksi lebih cepat, aman, dan praktis. Namun, penerapan QRIS bukan sekadar inovasi teknologi; ia menjadi pintu gerbang menuju transformasi keuangan yang lebih inklusif. Penelitian Judijanto dan Husnayetti (2024) menegaskan bahwa adopsi QRIS sangat dipengaruhi oleh tingkat literasi keuangan dan digital masyarakat, terutama di kalangan mahasiswa yang menjadi pionir dalam penggunaan teknologi pembayaran ini. Tak hanya itu, edukasi aktif dari Bank Indonesia kepada pelaku UMKM mengenai manfaat QRIS, seperti transparansi dan efisiensi operasional, juga terbukti berdampak positif, sebagaimana tercermin dalam studi Farrell dkk. (2022) yang menyoroti keberhasilan sosialisasi QRIS di Papua meski infrastruktur digital masih terbatas.

Di sisi lain, meningkatnya literasi digital dan keuangan tidak hanya berdampak pada penggunaan QRIS, tetapi juga menjadi benteng bagi masyarakat dari jebakan utang konsumtif dan investasi bodong. Dalam hal ini, kampanye edukasi berbasis digital terbukti lebih efektif menjangkau generasi muda. Contohnya, kolaborasi antara Bank BRI dan serial web “Pakai Hati Reborn” berhasil menyampaikan pesan finansial melalui media yang lebih akrab bagi anak muda (Isyiya et al., 2025). Langkah serupa juga dilakukan melalui program “Smart Mobile Civic” yang menggunakan teknologi untuk mengintegrasikan literasi keuangan dan etika digital ke dalam pendidikan kewarganegaraan sejak dini (Trisiana et al., 2022). Bahkan, pendekatan berbasis nilai seperti pemahaman terhadap prinsip ekonomi syariah (maqashid syariah) turut mendorong peningkatan adopsi QRIS karena dinilai lebih etis dan adil (Putri et al., 2024). Semua fakta dan inisiatif ini menunjukkan bahwa membangun masyarakat melek ekonomi adalah tanggung jawab bersama. Bank Indonesia mungkin menjadi penggagas kebijakan, namun masyarakat, dunia pendidikan, pelaku usaha, dan media digitallah yang menjadi garda terdepan dalam mewujudkannya. Sinergi antarsektor inilah yang akan membawa Indonesia menuju masa depan ekonomi yang inklusif, adil, dan siap bersaing di kancah global.(*)

  • Bagikan

Exit mobile version