Oleh : Nurdin (Dosen UIN Palopo)
Duduk santai sambil ngopi adalah kebiasaan saat pulang kerja. Scroll pada layar HP, membaca berita dan segala perkembangannya. Meski memiliki hampir semua platform sosial media, tapi hanya digunakan untuk mencari, berita apa yang lagi booming, lagi viral.
Mengapresiasi dengan tanda "like" pada tulisan-tulisan yang setidaknya menurut saya, memperkaya pikiran atau memperluas cakrawala. Dan tulisan seperti itu sangat banyak, tidak kalah banyaknya dengan postingan yang menebar kebencian.
Negara demokrasi. Ya, memang seperti itu, bebas mengemukakan pendapat. Sederhananya, bebas bicara tetapi bukan berarti bicara tanpa rem, tanpa kendali, tanpa aturan. Semua memiliki konsekuensi. Apalagi di sosial media, yang semua orang bisa mengaksesnya.
Kebebasan berbicara, termasuk di dunia maya, perlindungan hukumnya sama di dunia nyata. Namun, kata-kata atau kalimat yang menebar kebencian dan merugikan (menghina) orang lain, itu bukan kebebasan berbicara, itu pelanggaran.
Dan dalam hukum, ujaran kebencian dapat berujung pada pemidanaan. Hebatnya lagi, orang tidak takut memajang foto yang ia hina dengan caption "Ini orang cilaka". Itu yang saya temukan dan baca di FB. Cilaka-bahasa Bugis-yang dalam bahasa Indonesia, "Sial".
Itu nyata menghina. Sekalipun tidak ada aturannya, penghinaan dalam budaya kita tetap merupakan perbuatan yang tidak dibenarkan. Oleh karena, bangsa ini berkemanusiaan. Selain menjunjung tinggi, juga mesti mengaplikasikan nilai-nilai kemanusiaan.
Amnesty Internasional, hanya mendukung mereka yang berbicara secara damai untuk diri mereka sendiri dan orang lain. Artinya, menyerang kehormatan atau nama baik seseorang adalah pelanggaran hukum. Karena, jelas tidak menebar kebaikan dan kedamaian terhadap diri maupun orang lain.
Menghina seringkali bukan cerminan dari siapa yang dihina, tetapi dari siapa yang menghina. Meningkatnya ujaran kebencian di sosial media, penting bagi masyarakat untuk berkomitmen pada etika berkomunikasi yang baik, menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan keharmonisan sosial.
Apalagi seorang mukmin, sejatinya tidak dikenal dengan pencelaan dan kata-kata kotor: “Seorang mukmin bukanlah orang yang banyak mencela, bukan orang yang banyak melaknat, bukan orang yang keji, dan bukan pula orang yang kotor omongannya.” Begitu kata Nabi.
Mestinya kita bersikap bijak, tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang dapat merusak moral, dan menjaga nama baik bangsa. Menghindari melampiaskan rasa benci di sosial media. Hal itu sangat penting untuk menjaga moral, dan nilai kerukunan sosial.
Kebebasan berbicara, mesti tetap dalam kerangka tanggung jawab moral. Kebebasan tanpa kendali diri, bukanlah kebebasan melainkan kekacauan. Kata Marcus Aurelius, "Jika ucapanmu tidak perlu, jangan katakan" Ini mengajarkan pentingnya etika dalam berbicara.
Mari kita menggunakan sosial media dengan etika dan bertanggung jawab, menghindari tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Harus berpikir sebelum memposting, menghormati privasi, tidak menebar kebencian, dan menghargai opini yang berbeda.(*)