Achmad Sulfikar
(Dosen Ilmu Komunikasi UIN Palopo)
Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilwalkot Palopo telah selesai. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Palopo telah menetapkan hasil penghitungan suara, yang kembali dimenangkan oleh pasangan nomor urut 04, Naili Trisal-Akhmad Syarifuddin. PSU ini sendiri merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya mengabulkan gugatan pasangan FKJ-Nur atas dugaan pemalsuan ijazah oleh Trisal Tahir, pasangan calon Wali Kota dari nomor urut 04 saat itu. Putusan itu menjadi dasar hukum dilakukannya PSU, dan seharusnya menjadi penutup dari segala sengkarut yang terjadi selama Pilwalkot Palopo. Namun rupanya, drama belum benar-benar usai.
Pasangan calon nomor urut 03, Rahmat Masri Bandaso-Andi Tenri Karta, yang menduduki peringkat ketiga dalam hasil pemilu baik pada Pilkada serentak maupun PSU, memutuskan untuk mengajukan keberatan kepada KPU. Langkah ini sontak menimbulkan polemik baru, sekaligus pertanyaan kritis: tidak hanya untuk apa, tapi untuk siapa sebenarnya gugatan ini diajukan
Memang benar bahwa konstitusi menjamin hak setiap pasangan calon kepala daerah untuk menempuh jalur hukum jika merasa dirugikan dalam proses pemilu. Ini adalah bagian dari prinsip demokrasi yang sehat, di mana setiap pihak diberi ruang untuk menuntut keadilan. Namun, dalam konteks gugatan Pilwalkot Palopo ini, publik layak bertanya: apakah gugatan ini benar-benar dimaksudkan untuk membela integritas demokrasi, ataukah hanya akrobat politik, ekspresi lain dari ambisi politik yang belum padam?
Gugatan ini diklaim sebagai upaya menegakkan prinsip kejujuran dan keadilan. Di berbagai lini masa media sosial, dukungan terhadap langkah ini menyuarakan pentingnya menjunjung tinggi integritas, agar Palopo dipimpin oleh sosok yang amanah dan mampu membawa perubahan. Di permukaan, narasi ini terdengar meyakinkan. Namun jika ditelusuri lebih dalam, muncul kegelisahan tentang inkonsistensi antara narasi dan realitas moral yang menyertainya.
Kejujuran memang merupakan salah satu nilai moral tertinggi dalam sistem etika mana pun. Dalam konteks pemilihan umum, kejujuran adalah salah satu kunci penting yang menentukan keabsahan suara dan legitimasi kepemimpinan. Namun pertanyaannya: apakah seluruh pasangan calon benar-benar menjunjung tinggi nilai ini? Apakah mereka, termasuk penggugat, benar-benar bersih dari praktik manipulatif seperti politik uang, membeli suara pemilih, untuk mendapatkan suara?
Gugatan atas dasar “kejujuran” menjadi paradoks jika diajukan oleh pihak yang juga tidak sepenuhnya jujur dalam menjalani proses politik. Apalagi jika pihak tersebut tidak berada pada posisi kedua dalam hasil pemilihan, baik di Pilkada serentak maupun PSU, sehingga sulit untuk tidak mencurigai adanya motif lain di balik langkah ini. Kita patut bertanya: apakah gugatan ini murni demi membela demokrasi, atau justru strategi terakhir untuk mendelegitimasi pasangan pemenang setelah kalah dalam kontestasi?
Etika politik menuntut adanya keselarasan antara nilai yang diucapkan dengan tindakan nyata yang dilakukan. Gugatan demi kejujuran harus datang dari aktor yang juga bersih secara etis. Jika tidak, maka publik akan mencium aroma kepalsuan dari narasi yang dikibarkan. Dalam kondisi seperti ini, gugatan tidak hanya kehilangan legitimasi moral, tetapi juga memperkeruh demokrasi yang sudah rapuh akibat polarisasi politik lokal yang ekstrem.
Demokrasi membutuhkan kontestasi, tapi juga mengandalkan kelegaan hati dalam menerima kekalahan. Jika gugatan demi gugatan terus diajukan tanpa dasar yang kuat dan hanya bermodal retorika moral, maka publik justru akan kehilangan kepercayaan terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Di sisi lain, publik akan menghukum aktor politik yang mungkin akan kembali berlaga di Pilkada 2029 yang akan datang.
Sudah waktunya masyarakat Palopo mengaktifkan nalar sehat dan menjauh dari fanatisme politik. Pilkada adalah momentum penting, bukan hanya untuk memilih pemimpin, tapi juga mencerminkan kematangan demokrasi kita. Maka kita harus jujur bertanya kepada diri sendiri: apakah kita membela demokrasi, atau hanya memperpanjang ilusi kekuasaan
Akhirnya, jika moral dan etika benar-benar menjadi dasar gugatan, maka semua pihak yang terlibat harus siap diuji di hadapan publik. Mereka harus menjawab, bukan hanya di meja sidang, tetapi juga di ruang kesadaran publik: apakah tindakan mereka murni atau penuh kepentingan? Gugatan yang tidak didasari oleh komitmen etis justru akan menjadi senjata makan tuan yang melukai legitimasi mereka sendiri, dan menggerus modal politik yang dibangun dengan susah payah.
Semoga kita semua bisa belajar dari proses ini. Belajar untuk tidak hanya menuntut kejujuran dari orang lain, tapi juga mengevaluasi kejujuran kita sendiri. Jika tidak, maka gugatan demi gugatan hanya akan menjadi panggung hipokrisi politik yang membosankan sekaligus memalukan. Semoga Tuhan Yang Maha Pengampun mengampuni kita semua. (*)