Silon, Algoritma Penyaring Calon dan Kasus PSU Palopo

  • Bagikan

Oleh: Syafruddin Djalal
(Parktisi Hukum Kota Palopo)

Pengulangan PSU Pilkada Palopo Topik Terseksi Pilkada Serentak 2024.

Walter Notteboom, seorang cendekiawan hukum dan politik dari Toronto, Kanada, turut mengomentari dinamika Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Palopo 2024. Dalam artikelnya yang dimuat Harian Palopo Pos edisi 10 Juni 2025, ia menyatakan bahwa permohonan pasangan 03 RMB–ATK atas hasil PSU tidak berdasar hukum dan cenderung sekadar membangun opini publik yang menyesatkan.

Tulisan ini adalah tanggapan langsung terhadap pandangan tersebut. Namun, uraian yang disampaikan tidak sekadar berbasis pada hukum positif sich, melainkan juga menghadirkan pendekatan metajuris, yakni melihat SILON tidak hanya sebagai alat teknis, tetapi sebagai sistem hukum yang bekerja mengikuti logika algoritmik dari norma pemilu itu sendiri.

Apa Itu SILON dan Bagaimana Cara Kerjanya?
SILON (Sistem Informasi Pencalonan) bukan sekadar alat bantu digital yang memfasilitasi pengunggahan dokumen pencalonan. Ia adalah sistem yang dibangun berdasarkan norma hukum yang tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Pencalonan.

Dengan kata lain, algoritma dan mekanisme kerja SILON tidak bebas, melainkan mengikuti struktur normatif dari PKPU itu sendiri.
Melalui SILON, pasangan calon (Paslon) mengunggah dokumen yang menjadi syarat administratif pencalonan. Sistem ini memungkinkan KPU melakukan verifikasi administratif secara elektronik, sementara pengawasan dilakukan oleh Bawaslu.

Bila ditemukan kekurangan atau kesalahan dokumen, Paslon diberi kesempatan melakukan perbaikan selama masa perbaikan masih dibuka. Namun setelah tahap penetapan calon dilalui, SILON secara otomatis terkunci, dan tidak ada lagi perubahan atau perbaikan dokumen yang dimungkinkan.
Di sinilah algoritma SILON berfungsi sebagai “gerbang akhir”. Ketika sistem telah terkunci dan masih terdapat kekurangan atau kesalahan dokumen, maka pasangan calon dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS).

Kasus PSU Palopo: Perbaikan Setelah Penetapan?

Dalam konteks Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilwalkot Palopo, terdapat fakta bahwa dokumen milik Hj. Naila Tahir dan Ahmad Syarifuddin Daud mengalami perbaikan setelah melewati tahapan penetapan calon. Ini tentu menabrak prinsip dasar algoritma dan mekanisme SILON, serta norma PKPU tentang batas waktu pemenuhan syarat administratif.

Terlebih lagi, perbaikan berkas pencalonan Ahmad menyimpangi putusan MK Nomor 168/PHPU.WAKO-XXIII/2025 mengenai perselisihan hasil Pikada Palopo 2024. Amar putusannya jelas tidak membolehkan dilakukan verifikasi berkas pencalonan Ahmad.
Bukan hanya itu, pemberian kesempatan bagi Ahmad pun bersikap diskriminatif. Dalam kasus serupa Ahmad terjadi di Pilkada Kabupaten Pasaman 2024.
Hasilnya dibatalkan karena Anggit Kurniawan Nasution tidak mengumumkan riwayat mantan terpidanamya. Hal serupa dilakukan pula oleh Ahmad.

Argumen Keliru Unggah? Tidak Cukup untuk Memaafkan

Secara khusus, dalam kasus Hj. Naila Tahir, terdapat argumen dari pihak pendukungnya bahwa terjadi kekeliruan unggah dokumen—misalnya dalam hal pelunasan tunggakan pajak. Namun pernyataan ini tidak cukup untuk dimaafkan secara administratif dan hukum. Kenapa?
Karena dokumen pelunasan pajak yang diunggah melalui SILON menunjukkan tanggal terbit sebelum pelunasan pajak benar-benar dilakukan. Pelunasannya sendiri baru terjadi pada tanggal 6 Maret 2025, sedangkan dokumen yang diunggah lebih dulu ada dalam sistem. Maka secara logika, dokumen itu patut diduga tidak sah atau palsu, karena Kantor Pelayanan Pajak mustahil menerbitkan surat lunas sebelum pembayaran dilakukan.

Masalah bertambah kompleks karena setelah pelunasan dilakukan, tidak ada langkah perbaikan dokumen yang dilakukan oleh Hj. Naila atau timnya. Mereka baru mengakui adanya kesalahan setelah muncul rekomendasi pelanggaran administratif dari Bawaslu. Padahal, bila kesalahan itu diakui lebih awal, dan ada upaya perbaikan sebelum batas waktu, diskresi administratif dengan pertimbangan kealpaan mungkin bisa saja diberikan.

SILON Bisa Dibuka Ulang, Tapi…

Memang benar, dalam keadaan tertentu seperti Paslon berhalangan tetap, SILON bisa dibuka kembali untuk kebutuhan pergantian calon. Namun dalam kasus Hj. Naila Tahir, situasinya tidak memenuhi kualifikasi sebagai peristiwa khusus. Maka perbaikan dokumen setelah penetapan tidak dapat ditoleransi secara hukum.

Penutup: Ketaatan pada Sistem adalah Fondasi Demokrasi

Penting untuk diingat bahwa pemilu bukan sekadar tentang siapa yang mendapat suara terbanyak. Pemilu juga adalah soal prosedur dan ketaatan pada aturan main. SILON, sebagai representasi sistem dan algoritma dari norma hukum pemilu, adalah instrumen penyaring yang harus dihormati. Bila prinsip ini dilanggar, maka proses demokrasi kehilangan keabsahannya.
Artikel ini disajikan dengan satu harapan akan ada respon balik dari siapapun. Sehingga kita miliki topik untuk terus didiskusikan. Bahan pembelajaran bagi kita semua, khususnya penulis yang tak berkesempatan sekolah  jauh. Mari berdiskusi

Penutup: Ketaatan pada Sistem adalah Fondasi Demokrasi

Penting untuk diingat bahwa pemilu bukan sekadar tentang siapa yang mendapat suara terbanyak, tapi juga tentang prosedur yang adil dan kepatuhan pada sistem hukum yang berlaku. SILON, sebagai representasi dari algoritma hukum pemilu, bukanlah sistem yang bisa diperlakukan sesuka hati. Ia adalah penjaga keabsahan proses demokrasi kita.

Artikel ini ditulis dengan harapan bisa menjadi bagian dari diskursus yang lebih luas, khususnya dalam menjawab opini Walter Notteboom yang menurut penulis tidak cukup memahami dimensi normatif dan teknokratik dari sistem pencalonan kita. Bagi penulis—yang tidak sempat sekolah jauh—diskusi seperti inilah yang menjadi ruang belajar bersama.
Mari berdiskusi. Karena demokrasi yang sehat lahir dari keberanian untuk saling mengoreksi, bukan saling menghibur. (*)

  • Bagikan