Menjawab Polemik PSU Palopo: Antara Ketaatan Sistem dan Keadilan Konstitusional

  • Bagikan

OLEH: Walter Notteboom, HBA
(Alumni Fakultas Hukum dan Politik Universitiy of Toronto, Canada)

MENGUTIP tulisan Bapak Syafruddin Djalal, yang menyebutkan bahwa Walter Notteboom adalah seorang Cendekiawan Hukum dan Politik dari Toronto, kami merasa perlu meluruskan, atau minimal menahan napas sejenak. Sebab, menyematkan gelar “cendekiawan” kepada kami yang bahkan masih menyalakan Google untuk mengeja “konstitusional” dengan benar adalah sebuah hal yang berat.


Sangat berat. Seberat beban hidup anak kos di tanah rantau akhir bulan.
Menurut Wikipedia tempat di mana semua orang mendadak jadi professor scholar (dalam istilah western) atau cendekiawan adalah seseorang yang meneliti, menguasai disiplin akademis, dan hidup di tengah lautan literatur akademik.

Sementara kami?, Kami hanya penumpang ekonomi di pesawat ilmu pengetahuan. Naik karena diskon, bukan karena prestasi. Kami bukan siapa-siapa, cuma anak Palopo asli yang ikut orang tua merantau ke Jakarta, lalu karena keajaiban semesta dan doa ibu berkesempatan mencicip pendidikan di Canada. Bukan mengecap, apalagi menelan utuh. Cuma mencicip. Persis seperti tester makanan di supermarket: ada rasa, tapi tak pernah kenyang.

Kami bukan ahli politik. Kami bukan pakar hukum. Kami bahkan sering salah sebut judicial review jadi jujur review, tapi karena kami lahir dari rahim salah satu peserta pemilu di Palopo dan merasa ada ketidakadilan yang dialami orang tua kami yang kebetulan ikut dalam kontestasi pemilukada di Kota Palopo, maka kami merasa punya kewajiban moral (atau setidaknya keresahan pribadi) untuk menulis.

Untuk menyumbang suara melalui opini publik yang setidaknya dapat menjadi bacaan masyarakat kota palopo ditemani secangkir kopi di teras depan rumahnya.

Tulisan ini tak lebih dari perspektif seorang anak rantau, yang melihat fenomena hukum dan politik di tanah kelahiran sendiri dengan kacamata minus dan sedikit embun idealisme melihat tentang gugatan PSU di Palopo. Biarkan para jagoan hukum berdebat, kami cuma ingin jadi pengingat, bahwa kadang politik ketika dibarengi oleh ambisi kekuasaan maka ceritanya seperti sinetron anak tiri yang selalu disiksa oleh ibu tiri dan kakak tirinya alurnya bikin emosi, tapi tetap kita tonton karena “penasaran akhir ceritanya.”

Tulisan Bapak Syafruddin Djalal menyajikan argumen yang tajam mengenai pentingnya ketaatan terhadap sistem, khususnya SILON (Sistem Informasi Pencalonan), dalam proses Pilkada, namun perlu kita ingat sebagaimana sistem hukum lainnya, pemilu tidak semata-mata mengandalkan sistem teknis, tetapi juga harus menegakkan prinsip due process of law yang kemudian di terjemahkan menjadi Proses hukum yang adil, atau proses hukum yang semestinya dan penghormatan terhadap hak-hak hukum serta fakta hukum selama proses hukum berlangsung yang bermuara pada keadilan substantif dan bukan hanya keadilan prosedural saja yang hal ini jelas dijamin oleh konstitusi.

SILON dalam Perspektif Hukum Positif

SILON memang diatur dalam PKPU, antara lain oleh PKPU No. 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan dalam Pilkada, serta petunjuk teknis penggunaannya melalui surat edaran KPU.

Fungsi SILON secara hukum adalah sebagai alat bantu administratif, tidak ada aturan tegas yang menegaskan bahwa SILON sebagai penentu keabsahan konstitusional calon, muaranya tetap adalah KPU sebagai regulator penyelenggaraan dan pelaksanaan pemilukada. Artinya, kesalahan teknis unggah dokumen seharusnya tidak serta-merta menggugurkan hak konstitusional seseorang untuk dipilih selama ada niat baik dan subtansi dokumen telah terpenuhi.

Di kesempatan ini juga kami ingin menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya bagi KPU Kota Palopo atas Tindakan yang sudah dilakukan oleh KPU Palopo dengan mengambil sikap atas tindak lanjut Rekomendasi Bawaslu Palopo yang menurut kami mencerminkan keadilan dan sebagai pelaksanaan due process of law.

Batasan Legalitas : Sistem Tidak Menggugurkan Hak Konstitusional

Mahkamah Konstitusi telah menegaskan dalam sejumlah putusan bahwa: “Hak untuk dipilih adalah bagian dari hak konstitusional warga negara yang tidak bisa dikalahkan hanya oleh kesalahan administratif.”

(Putusan MK No. 41/PHPU.D-VI/2008)
Dalam Putusan MK No. 41/PHPU.D-VI/2008 halaman 128 jelas dalam pertimbangannya MK berpendapat bahwa “Mahkamah tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilan prosedural (procedural justice) memasung dan mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice)”. Dalam konteks ini, dikatikan dengan fakta dalam pemilukada di Kota Palopo maka jika terdapat kesalahan unggah dokumen seperti pelunasan pajak, maka hal pertama yang diuji seharusnya bukan sistemnya, tetapi itikad baik dan substansi dokumen tersebut. Jika substansi sudah terpenuhi namun teknis pengunggahan keliru, maka semestinya ada ruang berupa kesempatan untuk mengklarifikasi atau mengkoreksi hal yang berbeda tersebut karena hukum terlalu rendah jika hanya dinilai dari sebatas Algoritma.

Hal ini sejalan dengan KPU Kota Palopo dengan tidak terjebak untuk merendahkan hukum dengan Algoritma semata. Ketika KPU Kota Palopo mengambil sikap atas tindak lanjut Rekomendasi Bawaslu Palopo tersebut dan mengeluarkan surat Nomor : 690/PL.02.2-SD/06/2025 tanggal 07 April 2025 perihal Tindak Lanjut Rekomendasi Bawaslu Kota Palopo menunjukkan bahwa hukum tidak dapat dinilai hanya dari Algoritma semata.

Putusan MK 168/PHPU.WAKO-XXIII/2025

Dalam perkara Palopo, putusan MK telah menyatakan agar tidak dilakukan verifikasi ulang terhadap dokumen pencalonan. Maka, jika kemudian KPU justru melakukan hal itu pasca-putusan MK, tentu hal ini merupakan pelanggaran serius terhadap putusan yang final dan mengikat sesuai Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 UU MK.

Dengan demikian, apabila memahami bahwa KPU telah salah dan bisa melakukan verifikasi ulang maka tindakan tersebut secara hukum tidak sah dan mencederai prinsip res judicata.

Keadilan Prosedural vs Keadilan Substantif

Memang benar bahwa hukum harus ditegakkan secara prosedural, namun MK juga selalu menekankan pentingnya keadilan substantif: “Pemilu bukan hanya persoalan administratif, tetapi juga tentang pemenuhan hak politik warga negara.”

(Putusan MK No. 50/PHPU.D-VI/2008)

Jika sistem administrasi berupa aplikasi menjadi satu-satunya penyaring mutlak tanpa memperhatikan hakikat keadilan materiil, maka demokrasi menjadi ritual belaka, bukan mekanisme penyaluran kedaulatan rakyat yang sejati.

Kesimpulan:

SILON adalah alat bantu, bukan hakim pencalonan, mengedepankan algoritma daripada konstitusi akan membawa demokrasi kita mundur. Hukum pemilu harus dilaksanakan dengan equal treatment, fairness, dan penghormatan terhadap hak konstitusional warga negara baik sebagai pemilih maupun dipilih.

Proses demokrasi tidak cukup hanya patuh pada sistem, tetapi harus juga tunduk pada nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum. Dalam kata-kata bijak Mahkamah Konstitusi:

Pemilu yang demokratis adalah pemilu yang tidak hanya jujur dan adil, tapi juga inklusif dan manusiawi”

Seiring isi cangkir kopi hitam kami semakin menipis dan lantunan music Rapper Drake berakhir, penutup tulisan kami, tergelitik sebuah kata “tidak sempat sekolah jauh” sekelebat hati kami berkata sekolah kami boleh jauh, tetapi tidak akan menjauhkan kami dari Kota yang kami cintai Palopo, adat kami masih Palopo, kami masih rindu makan kapurung, masih teringat nikmatnya durian palopo, dan tiba saat makan malam di rumah pun kami masih menggunakan bahasa palopo sambil menikmati lezatnya ikan bakar dengan kecap manis dan jeruk nipis.

Jauh didalam lubuk hati cinta kami dengan Kota Palopo masih tulus seiring dengan keyakinan kami jika masyarakat Palopo masih menjunjung tinggi keadilan dan meyakini jika keadilan tidak akan kalah hanya dengan Timestamp.(*)

  • Bagikan