Oleh: Suparni Sampetan
(Dosen Universitas Muhammadiyah Palopo)
Belakangan ini, pemerintah pusat semakin gencar menerapkan kebijakan efisiensi anggaran di berbagai lembaga, termasuk di tingkat daerah. Sayangnya, efisiensi yang dimaksud sering hanya diterjemahkan sebagai pemangkasan anggaran, tanpa mempertimbangkan manfaat atau urgensi program. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah efisiensi semacam ini benar-benar efektif?
Secara umum, efisiensi adalah upaya menggunakan anggaran secara hemat namun tetap bermanfaat. Sedangkan efektivitas berarti sejauh mana program berhasil mencapai tujuannya. Dalam praktik ideal, keduanya harus berjalan beriringan. Tapi realitasnya, banyak program yang dipangkas anggarannya padahal sangat dibutuhkan masyarakat. Akibatnya, pelaksanaan program tidak optimal dan manfaatnya tidak dirasakan.
Yang lebih mengkhawatirkan, efisiensi ini justru sering menyasar program yang menyentuh masyarakat langsung, sementara proyek-proyek elite tetap dipertahankan. Ketimpangan semacam ini berpotensi memperlebar jarak antara pemerintah dan rakyat.
Kondisi ini juga tercermin dalam pelaksanaan Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) di berbagai daerah, termasuk Kota Palopo. Musrenbang semestinya menjadi ruang partisipasi masyarakat dalam menentukan arah pembangunan. Namun, kenyataannya, banyak usulan masyarakat yang lahir dari Musrenbang tidak diakomodasi dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Forum yang seharusnya menjadi jembatan antara pemerintah dan rakyat malah terkesan hanya sebagai formalitas belaka.
Bahkan dalam praktiknya, kelompok-kelompok kritis seperti akademisi, komunitas sipil, dan tokoh masyarakat sering kali tidak diundang atau tidak diberi ruang yang cukup dalam Musrenbang. Padahal, suara mereka penting untuk menjaga agar perencanaan pembangunan tetap berpihak pada kepentingan publik, bukan hanya kepentingan segelintir orang.
Dalam konteks otonomi daerah, sebenarnya pemerintah daerah punya kewenangan untuk menyesuaikan kebijakan sesuai dengan kebutuhan lokal. Selama tidak melanggar konstitusi dan peraturan perundang-undangan, kebijakan pusat yang tidak sesuai dengan kondisi daerah semestinya bisa dikaji ulang. Otonomi daerah bukan hanya soal pengelolaan administratif, tapi juga soal keberanian dalam mengambil keputusan demi kepentingan masyarakat.
Birokrasi kita pun harus berani bersuara. Jangan hanya menjadi pelaksana instruksi dari pusat, tapi juga harus mampu menyuarakan kondisi riil di lapangan. Banyak kebijakan pusat yang tidak cocok diterapkan secara seragam di seluruh daerah. Daerah seperti Palopo, yang memiliki karakteristik tersendiri, tentu butuh pendekatan yang berbeda.
Saat ini, sudah saatnya efisiensi dikembalikan pada makna sejatinya: hemat, tepat guna, dan berdampak nyata. Pemangkasan anggaran seharusnya dilakukan berdasarkan evaluasi kinerja program, bukan sekadar potong rata. Dan yang paling penting, efektivitas tetap harus menjadi tolok ukur utama dalam menilai keberhasilan kebijakan.
Jika tidak ada koreksi arah kebijakan, maka masyarakat akan terus merasa kecewa dan menjauh dari proses pembangunan. Pemerintah harus kembali pada prinsip dasar: mendengar, melayani, dan memenuhi kebutuhan rakyat. (*)
Efisiensi Tanpa Efektivitas
