TAK ADA HUJAN TAK ADA ANGIN, KELAMBU BERGOYANG-GOYANG

  • Bagikan

PENULIS: Luthfi A. Mutty
Anggota Dewan Pakar Partai NasDem
Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR-RI

Keputusan Mendagri No.300.2-2138 Tahun 2025 mengingatkan saya pada pepatah tak ada angin tak ada hujan, kelambu bergoyang-goyang.

Ibarat bola salju, berbagai tanggapan miring muncul. Mulai dari orang awam hingga Pak JK, Wapres ke 10 dan 12. Bahkan Presiden Prabowo pun harus turun tangan. Mengambil alih kasus.

Terkait hal itu saya mencoba melihatnya dari perspektif tanggung Jawab Moral dan etika.

Di negara-negara demokrasi, para pejabatnya sangat menjunjung tinggi moral dan etika. Maka sering terjadi seorang pejabat mundur bukan karena melanggar hukum atau mengeluarkan keputusan kontroversial yang menimbulkan kegaduhan, tapi semata-mata karena pertimbangang moral dan etika. Para pejabatnya menempatkan moral dan etika jauh di atas norma hukum. Beberapa contoh.

Perdana menteri Jepang Naoto Kan yang baru menjabat setahun lebih, mundur pada 26 Agustus 2011. Bukan karena membuat keputusan kontroversial yang menimbulkan kegaduhan, tapi karena merasa gagal memulihkan keadaan pasca Jepang dihantam tsunami yang menyebabkan krisis nuklir.

Tsunami adalah bencana alam. Terjadi dengan sendirinya. Bukan karena keputusan menteri.

Naoto bukan satu-satunya pejabat yang mundur di tengah kekuasaan.

Di Korea, Menteri ekonomi Choi Joong-kyung mundur (27/9/2011). Penyebabnya, listrik padam selama 1 jam. Hanya 1 jam. Padahal dia secara portofolio tidak bertanggungjawab langsung atas kejadian itu. Melainkan tanggung jawab dari Kepala PLN-nya Korsel, KEPCO.

Untuk ukuran Indonesia, listrik padam adalah masalah sepele. Wong di sini, kejadian listrik padam adalah hal yang lumrah. Padamnya tidak tanggung-tanggung. Bukan 1 jam tapi berjam-jam.

Di Irak, gelombang protes besar-besaran karena kurangnya pasokan listrik membuat Menteri Urusan Listrik, Karim Waheed, mundur pada 17 Nopember 2014.

Di Taiwan, Lee Chih-kung, menteri ekonomi Taiwan mundur dari jabatan pada 16 Agustus 2017. Lee memutuskan mundur menyusul terjadinya pemadaman listrik secara bergiliran karena ada penggantian sistem pada pembangkit listrik negara. Selama proses pemadaman bergilir, bukan hanya jutaan rakyat yang mengelola industeri kecil tak dapat mengakses energi, tapi perusahaan raksasa pembuat chip iPhone dan Semiconductor Engineering juga kena dampak.

Di Turkiye, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Taner Yids, mundur pada 6 April 2015. Penyebabnya, selama beberapa hari terjadi pemadaman listrik secara nasional.

Listrik padam karena ada masalah dgn jaringan. Hal ini membuat jutaan rakyat Turkiye hidup tanpa listrik selama berjam-jam. Tranportasi umum seperti tram listrik berhenti beroperasi. Laluluntas kacau karena traffic light tidak berfungsi. Banyak orang terjebak di dalam lift. Banyak pabrik berhenti berproduksi. Jaringan telpon juga ikut terganggu.

Kejadian di empat negara di atas hanya sedikit contoh bagaimana pejabat publik memiliki rasa tanggung jawab. Mereka mundur bukan karena mengeluarkan kebijakan yang membuat gaduh. Mereka mundur sebagai wujud tanggung jawab moral dan etika. Landasan moral dan etika adalah rasa malu.

Bagaimana di Indonesia?

Nampaknya para pejabat publik belum menjadikan moral dan etika sebagai acuan. bertindak. Mereka selalu berlindung di balik norma hukum, bahwa keputusan yang dibuat sesuai kewenangannya berdasarkan aturan.

Menjalankan kewenangan berdasar norma hukum memang penting. Tapi itu jauh dari cukup. Berbagai aspek perlu menjadi pertimbangan sebelum keputusan dibuat. Apalagi jika itu menyangkut daerah. Faktor historis tidak boleh diabaikan. Karena berkaitan dengan martabat dan harga diri suatu daerah yang ukurannya sangat abstrak.

Berdasarkan informasi yang beredar luas di berbagai platform media, masalah 4 pulau itu ternyata sudah diselesaikan lewat kesepakatan antara Gubernur Aceh saat itu Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumut Raja Inal Siregar, disaksikan Mendagri Rudini pada 22 April 1992. Pernyataan JK, yang viral terkait masalah 4 pulau, mengkonfirmasi hal itu.

Keputusan Mendagri menyerahkan empat pulau yang jaraknya lebih dekat ke Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut dari pada ke Kabupaten Aceh Singkil, Aceh, adalah contoh sebuah keputusan yang sangat teknokratis. Hanya didasarkan pada pertimbangan efisiensi semata. Abai pada aspek historis dan psikologi politik.

Keputusan itu seperti mengulang kesalah pemerintah tahun 1949 Ketika, dengan pertimbangan tektokratis-efisien, pemerintah mencabut hak otonom Aceh. Statusnya diturunkan menjadi karesidenan dan menjadi bagian dari daerah otonom Sumut.

Pencabutan status sebagai daerah otonom terbukti kemudian, merupakan kekeliruan besar. Karena bukan efisiensi yg terjadi. Tetapi memicu munculnya perlawanan berkepanjangan. Inilah satu-satunya perlawanan daerah yang diselesaikan bukan dengan operasi militer. Bukan pula karena para combattant menyerah. Melainkan lewat meja perundingan. Dan seperti dikerahui, sebuah perundingan hanya mungkin dilakukan oleh dua pihak yg kedudukannya setara.

Perlu pula jadi catatan bahwa perlawanan terlama yang dihadapi Belanda di nusantara adalah di Aceh. Butuh waktu 31 tahun (1873-1904) bagi Belanda utk memdamkan perlawanan rakyat Aceh.

Mendagri adalah penanggungjawab politik dalam negeri dan pembina ketenteraman dan ketertiban umum. Maka dalam mengambil keputusan, terutama menyangkut daerah, tidak boleh semata-mata mendasarkannya pada pertimbangan teknokratis. Faktor historis penting diperhatikan.

Pernyataan bahwa Aceh disilahkan menggugat ke PTUN jika tidak setuju, menunjukkan bhw mendagri terlalu menggampangkan masalah. Dengan kata lain, mendagri bukan saja tidak bertanggung jawab atas keputusannya, tapi dia telah lempar tanggung jawab. Tidak usah merasa malu menyampaikan secara jujur bahwa dia telah keliru membuat keputusan. Meminta maaf atas keputusan yang membuat kegaduhan, kemudian mencabut keputusan itu. Buang jauh-jauh ego dengan berlindung dibalik kewenangan berdasarkan aturan. Apalagi keputusan kontroversi itu pada akhirnya membuat presiden Prabowo harus turun tangan.

Jika saja hal itu terjadi di negara-negara yang saya sebut di atas, dapat dipastikan, menteri yang bersangkutan mundur tanpa harus menunggu masalahnya diambil alih presiden. Wallahu alam.(*)

  • Bagikan