Main Mata Dengan Penjahat

  • Bagikan

Oleh : Nurdin (Dosen UIN Palopo)

Angin segar buat para hakim pengadilan. Bagaimana tidak, Presiden Prabowo akan menaikkan gajinya hingga 280 persen. Tentu, masyarakat berharap tidak ada lagi toleransi, tidak boleh lagi ada hakim main mata dengan penjahat.

Istilah jual beli hukum, mafia peradilan dan istilah lainnya yang sering disematkan kepada lembaga peradilan, tidak akan lagi terdengar. Insyaallah, karena pemerintah sudah meresponnya dengan baik. Sekarang, berpulang pada individu masing-masing hakim.

Namun sebenarnya, yang memengaruhi putusan hakim bukan hanya persoalan gaji kecil yang akhirnya menerima suap. Terkadang, akibat tekanan dari penguasa (tekanan politik). Dan, sejak zaman "bahola" seperti itu. Sehingga, penguasa juga jangan mengintervensi penegakan hukum.

Campur tangan penguasa dalam penegakan hukum, diceritakan dalam sebuah kisah. Seorang hakim bernama Hafs ibn Ghiyats di zaman kepemimpinan (Khalifah) Harun al-Rasyid di Baghdad Irak, di mana suatu waktu sang hakim mengadili seorang pembantu dari istri Khalifah Harun al-Rasyid.

Istri Khalifah menyuruh pembantunya membeli seekor Unta dari seorang khurasan dengan harga 30.000 dirham, dan pembantu telah menerima Unta itu dengan baik. Akan tetapi, sang pembantu hanya membayar secara cicil dengan membayar 10.000 dirham.

Pemilik Unta pun melaporkan kepada hakim atas perbuatan pembantu istri Khalifah dan setelah melalui proses hukum, maka sang pembantu dijebloskan ke dalam penjara akibat perbuatannya. Istri Khalifah mendengar kejadian itu, dan ia pun marah.

Dia mengadukan hal itu kepada Khalifah "Hakim Anda itu tolol, ia berani meremehkan pembantuku dan menahannya. Laranglah melanjutkan perkara itu" Sang suami pun langsung menulis surat kepada hakim itu, yang intinya agar membebaskan pembantu istrinya.

Hakim yang menerima surat itu, menolak permintaan Khalifah Harun al-Rasyid dan berkata kepada si pembawa surat, bahwa "Sampaikan salam saya kepada Amirul mukminin dan katakan kepadanya sesukamu" Sang pembantu yang mendengar kalimat hakim, berkata "Demi Allah akan saya laporkan perbuatan Anda kepada Amirul mukminin"

Harun al-Rasyid yang mendengar itu, tertawa dan memberikan hadiah kepada sang hakim karena keberaniannya menolak permintaan Khalifah. Hakim Hafs berkata "Alhamdulillah, barang siapa menegakkan hukum dengan baik akan mendapat pakaian kewibawaan."

Kisah di atas diabadikan dalam buku biograpi 4 pendiri mazhab (mazhab Imam Ahmad bin Hambal). Poin penting yang terkandung dalam kisah itu, bahwa siapa pun baik itu penguasa (eksekutif) termasuk masyarakat pada umumnya, tidak boleh mengintervensi penegakan hukum.

Terkadang kita tidak sadar, bahwa apa yang telah dilakukan adalah merupakan wujud atau bentuk dari intervensi terhadap penegakan hukum, misalnya; berunjuk rasa di depan kantor pengadilan, mau memaksakan kehendak agar hakim memutus perkara berdasarkan keinginan para demonstran.

Independensi hakim dijamin oleh konstitusi (vide pasal 24 ayat 1 UUD 1945), dan setiap putusannya adalah mahkota baginya. Akan tetapi, dari kisah itu dapat dipahami bahwa seorang hakim dalam membuat putusan, sepatutnya menimbang dan memutus suatu perkara, memperhatikan asas keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan agar putusan yang dikeluarkan menjadi putusan yang ideal.(*)

  • Bagikan