IMPLEMENTASI NILAI KEADILAN DALAM PROSPEK LAPANGAN KERJA DI DAERAH PENGHASIL TAMBANG DI SULAWESI

  • Bagikan

OLEH: Dr. H. Saldy Mansyur, S.E, M.M, Ak., CWM.

PENDAHULUAN
Sulawesi sebagai salah satu pulau terbesar di Indonesia memiliki kekayaan sumber daya mineral yang melimpah, mulai dari nikel, emas, batu bara, hingga bauksit. Sulawesi Tenggara dikenal sebagai penghasil nikel terbesar di Indonesia dengan cadangan mencapai 40% dari total cadangan nikel nasional, sementara Sulawesi Selatan memiliki cadangan emas dan batu bara yang signifikan. Keberadaan perusahaan tambang besar seperti PT Vale Indonesia dan PT Aneka Tambang
seharusnya memberikan multiplier ef ect positif bagi perekonomian daerah. Namun, realitas menunjukkan adanya paradoks kemiskinan di tengah kekayaan alam yang berlimpah. Data BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Sulawesi
Tengah pada Maret 2023 sebesar 395.660 orang atau bertambah 5.950 orang dibandingkan dengan September 2022. Tingkat kemiskinan Sulawesi Tengah mencapai 11,04% pada September 2024. Kemudian, Sulawesi Utara mencapai 6,70% pada September 2024. Dam, Sulawesi Barat mencapai 10.71% pada September 2024.

Hal ini tentunya, masih berada di atas rata-rata nasional sebesar 9,03%. Kondisi serupa terjadi di provinsi-provinsi lain di Sulawesi yang memiliki aktivitas pertambangan intensif namun masih menghadapi tantangan kemiskinan yang
signifikan. Padahal, dapat dikatakan provinsi dengan tambang nikel terluas merupakan berasal dari Sulawesi Tenggara. Permasalahan kemiskinan ini semakin kompleks ketika dikaitkan dengan tingkat pengangguran yang tinggi di daerah penghasil tambang. Ironi terjadi ketika terdapat permintaan tenaga kerja besar dari industri pertambangan, namun masyarakat
lokal tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri. Akibatnya, perusahaan tambang lebih memilih mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah, sementara masyarakat lokal tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan pengangguran.

Fenomena ini menunjukkan adanya resource curse atau kutukan sumber daya alam, di mana kelimpahan sumber daya alam tidak secara otomatis meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Aspek pendidikan menjadi faktor kunci dalam memahami akar permasalahan ini. Rendahnya kualitas pendidikan, terutama pendidikan yang berorientasi pada keterampilan teknis, menyebabkan
masyarakat lokal tidak memiliki daya saing dalam pasar tenaga kerja industri
pertambangan. Terjadi skill mismatch yang berkepanjangan antara supply dan demand tenaga kerja.

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, khususnya Sila Kelima yang
berbunyi "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia," memberikan landasan filosofis yang kuat untuk menciptakan sistem ekonomi yang berkeadilan. Dalam konteks daerah penghasil tambang, implementasi nilai keadilan sosial harus diwujudkan melalui penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan, peningkatan kapasitas sumber daya manusia lokal, dan distribusi manfaat ekonomi yang adil.
Pendidikan vokasi muncul sebagai instrumen strategis untuk mewujudkan
keadilan sosial dalam konteks daerah penghasil tambang. Melalui pendidikan vokasi yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan industri, masyarakat lokal dapat memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk mengakses peluang kerja di sektor pertambangan. Urgensi penanganan masalah ini semakin meningkat seiring dengan
program hilirisasi industri pertambangan yang akan menciptakan permintaan tenaga kerja yang semakin besar. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi nilai keadilan dalam penciptaan lapangan kerja di daerah penghasil tambang di Sulawesi, dengan fokus pada peran pendidikan vokasi sebagai solusi strategis untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja lokal dan mewujudkan keadilan sosial di daerah penghasil tambang.

PEMBAHASAN
2.1 Kondisi Kemiskinan dan Tenaga Kerja di Daerah Penghasil Tambang

Seperti yang kita ketahui bersama-sama, bahwasannya daerah penghasil tambang di Sulawesi saat ini menghadapi dilema struktrual yang kompleks. Di sisi lain, aktivitas pertambangan menghasilkan nilai ekonomi yang signifikan, namun di satu sisi, masyarakat lokal seringkali tidak memperoleh manfaat yang proporsional. Hal ini tentunya terjadi karena beberapa faktor utama.

Pertama, keterbatasan keterampilan dan pendidikan dari masyarakat lokal
menjadi hambatan utama dalam mengakses peluang kerja di sektor pertambangan. Industri pertambangan modern tentunya membutuhkan tenaga kerja yang memiliki keterampilan teknis khusus, mulai dari operasional alat berat, pengelahan mineral, hingga teklnologi informasi. Sayangnya, sistem pendidikan di daerah-daerah terpencil belum mampu menyediakan keterampilan yang dibutuhkan industri.

Kedua, kebijakan rekrutmen perusahaan tambang yang cenderung mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah bahkan luar negeri dengan alasan kualifikasi dan pengalaman.
Meskipun hal ini dapat dipahami dari perspektif efesiensi bisnis, namun perlu digarisbawahi juga bahwasannya ini tidak sejalan dengan prinsip keadilan sosial yang mengamanatkan prioritas bagi masyarakat lokal dalam memanfaatkan sumber daya di wilayahnya. Ketiga, kurangnya program pengembangan kapasitas yang sistematis dari pemerintah daerah dan perusahaan tambang untuk meningkatkan keterampilan masyarakat lokal. Program-program pelatihan yang ada seringkali bersifat sporadis dan tidak terintegrasi dengan kebutuhan industri.

2.2 Implementasi Sila Kelima Pancasila dalam Konteks Pertambangan

Sila Kelima Pancasila "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia" memberikan landasan normatif untuk menciptakan sistem ekonomi yang berkeadilan. Dalam konteks daerah penghasil tambang, implementasi sila ini harus diwujudkan melalui kebijakan yang memastikan masyarakat lokal memperoleh manfaat yang adil dari eksploitasi sumber daya alam di wilayahnya. Konsep keadilan distributif dalam filsafat politik modern menekankan pentingnya distribusi sumber daya dan peluang secara adil berdasarkan kebutuhan, kontribusi, dan hak-hak dasar individu.

Dalam konteks pertambangan, hal ini berarti masyarakat lokal harus mendapat prioritas dalam akses terhadap lapangan kerja dan peluang ekonomi yang diciptakan oleh aktivitas pertambangan. Implementasi nilai keadilan juga harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan lingkungan dan sosial. Pembangunan yang hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek tanpa memperhatikan keberlanjutan akan menciptakan masalah baru di masa depan. Oleh karena itu, pendekatan pembangunan
yang holistik dan berkelanjutan menjadi kunci dalam mengimplementasikan nilai keadilan.

2.3 Peran Strategis Pendidikan Vokasi

Pembangunan pendidikan vokasi tentunya memiliki peran strategis dalam menjembatani kesenjangan antara kebutuhan industri pertambangan dan kapasitas tenaga kerja lokal. Berbeda dengan pendidikan akademik yang bersifat teoritis, pendidikan vokasi lebih berfokus terhadap pengembangan keterampilan praktis yang langsung dapat diaplikasikan di dunia kerja. Sebagaimana kita ketahui bersama
bahwasannya, karakteristik industri pertambangan tentunya lebih membutuhkan keterampilan teknis spesifik, yang dimana hal ini sesuai dengan pendekatan pendidikan vokasi. Keterampilan seperti operasional alat berat, welding, mechanical maintenance, electrical system, dan safety management dapat diajarkan melalui program pendidikan vokasi yang terstruktur.

Keunggulan pendidikan vokasi dalam konteks daerah penghasil tambang antaralain, pertama, relevansi langsung dengan kebutuhan industri; kedua, durasi pendidikan yang relatif singkat sehingga dapat segera menghasilkan tenaga kerja terampil; ketiga, biaya pendidikan yang lebih terjangkau dibandingkan pendidikan tinggi konvensional; dan keempat, peluang kerja yang lebih terbuka karena tingginya permintaan tenaga
kerja terampil. Dengan adanya implementasi dari Pendidikan Vokasi di daerah tambang ini tentunya terdapat peluang besar yang dapat dimanfaatkan.

Pertama, komitmen pemerintah pusat melalui program revitalisasi pendidikan vokasi memberikan dukungan kebijakan dan anggaran. Kedua, kebutuhan industri pertambangan terhadap tenaga kerja terampil yang terus meningkat menciptakan jaminan pasar kerja bagi lulusan pendidikan vokasi. Ketiga, potensi kerja sama dengan perusahaan tambang dalam penyediaan fasilitas dan instruktur praktik.

KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
implementasi nilai keadilan dalam penciptaan lapangan kerja di daerah penghasil tambang di Sulawesi masih menghadapi tantangan yang signifikan. Paradoks kemiskinan di tengah kekayaan sumber daya alam mencerminkan ketidakadilan
struktural dalam distribusi manfaat ekonomi dari sektor pertambangan. Sila Kelima Pancasila "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia" memberikan landasan filosofis yang kuat untuk menciptakan sistem ekonomi yang berkeadilan. Namun, implementasinya dalam konteks pertambangan masih lemah, terutama dalam hal akses
masyarakat lokal terhadap peluang kerja di sektor ini. Faktor utama yang menyebabkan ketidakadilan ini adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia lokal, khususnya dalam hal pendidikan dan keterampilan teknis
yang dibutuhkan industri pertambangan. Keterbatasan ini menyebabkan perusahaan
tambang lebih memilih mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah, sehingga
masyarakat lokal tidak memperoleh manfaat optimal dari keberadaan industri pertambangan di wilayahnya. Pendidikan vokasi muncul sebagai solusi strategis yang paling relevan untuk mengatasi kesenjangan ini. Karakteristik pendidikan vokasi yang
fokus pada keterampilan praktis sangat sesuai dengan kebutuhan industri
pertambangan yang memerlukan tenaga kerja terampil dalam bidang teknis spesifik.
Pembangunan sekolah vokasi khusus pertambangan dengan program beasiswa untuk anak-anak kurang mampu merupakan langkah konkret yang dapat mewujudkan keadilan sosial. Melalui pendekatan ini, masyarakat lokal dapat mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan industri sambil tetap mempertahankan akar budaya dan
sosialnya di daerah asal.

LAMPIRAN
a.Daftar Tambang Nikel Terbesar di Indonesia

  1. Weda Bay (Proyek
    Weda Bay Nickel) negara dan provinsi -Indonesia- Maluku Utara dengan luas konsesi (ha) sebesar 45.000
  2. PT Halmahera Persada Lygend (HPAL) negara dan provinsi (Indonesia-Maluku Utara) dengan luas konsesi (ha) sebesar 240.000/tahun (produksi)
  3. Sorowako (PT Vale Indonesia-Blok Sorowako) negara dan provinsi (Indonesia-Sulawesi Selatan) dengan luas 70.566 (luas)
  4. PT Huayue Nickel Cobalt Project (Indonesia-Sulawesi Tengah) dengan luas (ha) sebesar 70.000/tahun (produksi)
  5. Pulau Pakal (Indonesia-Sulawesi Tengah) dengan luas 6.908 (luas)
  • Bagikan