Muharram 1447 H: Momentum Menghidupkan Semangat Hijrah Dalam Kehidupan Modern

  • Bagikan

Oleh: Muhlisa Massi (Penyuluh Agama Islam KUA Kec. Walenrang, Kementerian Agama Kab. Luwu, Ketua IPARI Kab. Luwu)

SETIA awal Muharram, umat Islam kembali diingatkan pada sebuah peristiwa besar: hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah. Hijrah ini bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi simbol transformasi—baik secara spiritual, sosial, maupun peradaban. Kini, saat kita memasuki 1447 Hijriyah, pertanyaan penting yang muncul adalah: bagaimana semangat hijrah itu bisa kita hidupkan dalam kehidupan modern yang penuh tantangan?

Hijrah pada masa Rasulullah adalah bentuk keberanian untuk meninggalkan zona nyaman demi mempertahankan akidah dan menegakkan nilai-nilai Islam. Para sahabat rela meninggalkan harta, keluarga, bahkan kampung halaman demi menyambut panggilan iman. Semangat inilah yang hari ini harus kita refleksikan, bukan dengan berpindah tempat, tapi berpindah sikap, pikiran, dan perilaku menuju yang lebih baik.

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan, “Hijrah ada dua: hijrah fisik dan hijrah hati. Hijrah hati adalah berpindah dari sesuatu yang dibenci Allah menuju sesuatu yang dicintai-Nya.” Di era digital ini, hijrah hati sangat relevan. Kita hidup di tengah derasnya arus informasi, godaan gaya hidup konsumtif, serta kemerosotan nilai. Maka, hijrah modern adalah upaya terus-menerus untuk meninggalkan kebiasaan buruk dan membangun kehidupan yang lebih bermakna dan bernilai ibadah.

Contoh hijrah modern bisa kita lihat dalam keseharian:
Seorang pegawai yang meninggalkan praktik korupsi dan mulai bekerja jujur meski berisiko kehilangan keuntungan.
Remaja yang dulunya kecanduan media sosial, lalu mulai membatasi waktu layar dan memperdalam ilmu agama.
Seorang konten kreator yang tadinya hanya mengejar viral, kini beralih pada dakwah digital yang menyejukkan.
Seorang ibu rumah tangga yang berhijrah dari pola konsumsi boros ke gaya hidup sederhana dan ramah lingkungan.
Inilah bentuk nyata hijrah yang tak kalah mulia dengan hijrah Rasulullah, karena hakikatnya adalah perubahan ke arah yang diridhai Allah.

Rasulullah SAW bersabda:
الْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
“Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hijrah bukanlah sekadar momen awal tahun, melainkan proses berkelanjutan. Karena itu, semangat hijrah harus menjadi gerakan pribadi dan sosial. Di tingkat individu, kita mulai dengan evaluasi diri—apakah masih ada kebiasaan buruk yang harus ditinggalkan? Apakah sudah cukup menebar manfaat dalam kehidupan? Di tingkat sosial, hijrah bisa bermakna kolektif: membangun lingkungan yang lebih sehat, adil, dan berlandaskan nilai-nilai kebaikan.

Syaikh Abul Hasan Ali Nadwi pernah mengatakan, “Hijrah sejati adalah transformasi dari kehinaan spiritual menuju kejayaan ruhani.” Ungkapan ini menegaskan bahwa hijrah bukan hanya langkah menjauhi dosa, tetapi juga langkah aktif menuju cahaya—menuju Allah.

Kini, di Muharram 1447 H, saatnya kita membuat komitmen pribadi: untuk berhijrah dari kemalasan menuju produktivitas, dari kelalaian menuju kesadaran, dan dari kehidupan reaktif menuju hidup yang terarah dan bernilai.

Hijrah sejatinya juga mencerminkan keberanian melawan arus. Di tengah dunia yang makin permisif terhadap hal-hal yang bertentangan dengan nilai Islam—seperti budaya konsumtif, konten vulgar, dan ujaran kebencian—hijrah berarti berani tampil berbeda: memilih jalan taat meski sunyi, menjaga integritas meski berat, dan bersuara untuk kebaikan meski minoritas. Inilah bentuk hijrah sosial yang perlu kita gaungkan, terutama di tengah generasi muda.

Lebih jauh, semangat hijrah juga bisa menjadi inspirasi dalam kehidupan berbangsa. Saat bangsa ini dihadapkan pada tantangan seperti korupsi, polarisasi, degradasi moral, dan ketimpangan sosial, hijrah bisa dimaknai sebagai ajakan kolektif untuk berubah—dari keburukan menuju perbaikan, dari kepentingan pribadi menuju kemaslahatan umum. Hijrah bisa menjadi semangat perbaikan sistem, budaya kerja, dan relasi sosial yang lebih sehat dan berkeadilan.

Muharram bukan sekadar angka baru dalam kalender, tetapi tanda bahwa waktu terus berjalan dan kesempatan untuk berubah masih terbuka. Maka mari kita isi awal tahun ini dengan niat hijrah yang tulus—melangkah meninggalkan hal-hal yang menggelapkan hati, dan berlari menuju cahaya iman. Karena hijrah bukan hanya kisah masa lalu, melainkan ajakan abadi untuk terus memperbaiki diri.

Mari hidupkan kembali semangat hijrah, bukan hanya dalam ingatan, tapi dalam tindakan nyata. Karena setiap langkah menuju kebaikan, sejatinya adalah bagian dari hijrah kita hari ini.

Selamat Tahun Baru Islam 1447 Hijriyah.

Semoga setiap langkah kita ke depan bernilai hijrah, sebuah perjalanan menuju ridha dan cinta-Nya. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version