Generasi “Joget”: Antara Budak Konten dan Potensi Digital

  • Bagikan

Muhammad Yamin
Dosen UIN Palopo

Fenomena Generasi Z Sebagai "Budak Konten". Generasi Z Indonesia kini hidup dalam paradoks digital yang memprihatinkan. Mereka terperangkap dalam kultur "joget" - istilah yang menggambarkan obsesi mengikuti tren konten tanpa substansi, sekadar untuk memenuhi kebutuhan validasi sosial media.

Fenomena ini menciptakan generasi yang rajin memproduksi konten namun kehilangan esensi kreatifitas yang bermakna.
Data menunjukkan bahwa remaja menghabiskan rata-rata 6,6 jam per hari mengakses media sosial, dengan 11% di antaranya menghabiskan lebih dari 15 jam sehari. Angka ini menggambarkan betapa media sosial telah menjadi candu yang menggerogoti produktivitas generasi muda. Mereka terjebak dalam siklus konten yang dangkal - joget TikTok, challenge viral, dan konten pamer yang hanya bertujuan mendapat likes dan followers.

FOMO (Fear of Missing Out) menjadi motor penggerak perilaku ini. Generasi Z merasa harus selalu update dengan tren terbaru, takut tertinggal dari pergaulan digital. Akibatnya, mereka memproduksi konten secara kompulsif tanpa mempertimbangkan nilai edukasi atau dampak jangka panjang. Konten menjadi komoditas murahan untuk memuaskan ego digital, bukan sarana pengembangan diri.

Respons Global: Regulasi Media Sosial untuk Remaja
Keprihatinan terhadap dampak negatif media sosial mendorong berbagai negara mengambil langkah tegas melalui regulasi. Australia menjadi pionir dengan mengesahkan undang-undang yang melarang remaja di bawah 16 tahun menggunakan media sosial. Kebijakan ini bertujuan melindungi kesehatan mental remaja dan meminimalisasi dampak buruk media sosial.

Texas, Amerika Serikat, sedang mempertimbangkan larangan serupa untuk remaja di bawah 18 tahun. Beberapa negara Eropa juga mulai menerapkan pembatasan ketat terhadap akses media sosial bagi anak-anak. Tren ini menunjukkan kesadaran global bahwa media sosial, tanpa pengawasan yang tepat, dapat merusak perkembangan mental dan sosial generasi muda.

Indonesia sendiri, melalui Kementerian Koordinator PMK, tengah membahas regulasi pembatasan usia media sosial. Pemerintah berkomitmen menciptakan ruang digital yang ramah anak dan melindungi mereka dari risiko di dunia digital. Namun, regulasi ini harus seimbang - melindungi tanpa menghilangkan hak berekspresi dan belajar.

Potensi Positif Media Sosial: Sarana Pembelajaran dan Pengembangan Diri
Meski sering dipandang negatif, media sosial sebenarnya memiliki potensi besar sebagai sarana pembelajaran dan pengembangan diri bagi Generasi Z. Platform digital dapat menjadi ruang edukasi yang efektif jika dimanfaatkan dengan bijak.

Media sosial dapat digunakan untuk kampanye kesadaran kesehatan mental, berbagi pengetahuan, dan mengembangkan kreativitas yang bermakna. Generasi Z memiliki kemampuan natural dalam menggunakan teknologi digital, sehingga potensi ini dapat diarahkan untuk hal-hal produktif seperti:
Edukasi dan Literasi Digital: Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube dapat menjadi sarana pembelajaran yang menarik. Konten edukatif dikemas dalam format yang sesuai dengan preferensi Generasi Z - visual, interaktif, dan mudah dicerna.
Pengembangan Keterampilan Kreatif: Media sosial memungkinkan remaja mengembangkan kemampuan fotografi, videografi, desain grafis, dan storytelling. Keterampilan ini memiliki nilai ekonomi tinggi di era digital.

Aktivisme dan Kesadaran Sosial: Generasi Z dapat menggunakan platform digital untuk menyuarakan isu-isu penting, membangun gerakan sosial yang positif, dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap berbagai permasalahan.

Entrepreneurship Digital: Media sosial menjadi platform ideal untuk memulai bisnis online, membangun personal branding, dan mengembangkan keterampilan wirausaha sejak dini.

Networking dan Kolaborasi: Platform digital memungkinkan remaja terhubung dengan komunitas yang memiliki minat sama, berkolaborasi dalam proyek kreatif, dan memperluas jaringan profesional.

Rekomendasi: Menuju Pemanfaatan Media Sosial yang Bijak
Untuk mengoptimalkan potensi positif media sosial sambil meminimalisasi dampak negatif, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pihak:

Pendidikan Literasi Digital: Sekolah dan orang tua harus memberikan edukasi tentang penggunaan media sosial yang bijak, kriteria konten berkualitas, dan pentingnya keseimbangan digital-offline.

Kurikulum Media dan Konten: Mengintegrasikan pembelajaran tentang produksi konten yang bermakna dalam kurikulum pendidikan, sehingga remaja dapat mengembangkan keterampilan kreatif yang bernilai.
Regulasi yang Seimbang: Pemerintah perlu menyusun regulasi yang melindungi tanpa membatasi akses terhadap peluang pembelajaran dan pengembangan diri di ruang digital.

Role Model Digital: Perlu ada figur-figur inspiratif yang menunjukkan bagaimana memanfaatkan media sosial untuk tujuan positif dan produktif.

Generasi "joget" tidak harus menjadi generasi yang hilang. Dengan bimbingan yang tepat dan kesadaran akan potensi media sosial, mereka dapat bertransformasi menjadi generasi yang memanfaatkan teknologi digital untuk menciptakan dampak positif bagi diri sendiri dan masyarakat. Kunci utamanya adalah mengubah mindset dari "konten untuk pamer" menjadi "konten untuk berdampak".(*/)

  • Bagikan