Semoga Koperasi Merah Putih Tak Senasib KUD

  • Bagikan

Oleh : Luthfi A. Mutty
Anggota Dewan Pakar DPP Partai NasDem
Anggota Komite Ketatanegaraan MLR-RI

Di masa Orba pemerintah berupaya membangun perekonomian khususnya di pedesaan berbasis koperasi. Maka dibentuklah koperasi secara masal. Namanya KUD. Koperasi Unit Desa. Ternyata kemudian gagal.


Sekarang niat itu muncul lagi. Pemerintah akan membentuk yang namanya Koperasi Merah Putih. Data 30/6/2025 menyebutkan bahwa telah terbentuk 80.133 Koperasi Merah Putih. Jumlah ini melampaui target pemerintah, yakni 80 ribu koperasi. Namun demikian, baru 61.000 yang terdaftar berbadan hukum di Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH).
Dana yang disiapkan untuk memodali koperasi ini tidak main-main Rp400 Triliun. Ini bukan jumlah yang kecil. Tapi besar. Bahkan besar sekali.

Niat baik ini patut didukung. Tapi perlu diketahui bahwa niat baik saja tidak cukup, meskipun itu penting. Diperlukan juga cara bertindak yang baik dan benar.

Ilmu pemerintahan klasik mengajarkan bahwa kebijakan dan tindakan pemerintah harus mengacu pada tiga hal. Doelmatigheid, rechmatigheid dan wetmatigheid.

Koperasi Sokoguru Perekonomian

Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Bangun ekonomi semacam itu adalah koperasi.

Untuk mewujudkan amanat konstitusi itu maka di masa Orba dibentuk KUD secara masal di semua desa. Termasuk di unit-unit pemukiman transmigrasi yang dipersiapkan menjadi desa. Tujuannya agar koperasi menjadi sokoguru perekonomian rakyat yang kuat dan mandiri dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Berbagai fasilitas dikucurkan pemerintah kepada KUD. Mulai dari kantor, gudang, lantai jemur, hingga kios saprodi lengkap dengan isinya. KUD juga mendapat fasilitas kredit dengan bunga murah.

Untuk memperkuat KUD, pemerintah melengkapinya dengan struktur pendukung dengan membentuk PUSKUD. Pusat Koperasi Unit Desa. Jika KUD adalah koperasi primer yang anggotanya perorangan, maka PUSKUD anggotanya adalah KUD. PUSKUD dibentuk di tiap provinsi. Lalu di tingkat pusat dibentuk INKUD. Induk Koperasi Unit Desa. Anggatanya adalah PUSKUD.

Seiring dengan tumbangnya rezim Orba, kiprah KUD pun meredup. Pelan tapi pasti menghilang bagai ditelan bumi. Saya tidak tahu apakah saat ini masih ada KUD yang beroperasi.

Pertanyaanya, kenapa KUD yang mendapat berbagai falitas sedemikian rupa, bisa tiba-tiba hilang begitu saja?

Menurut saya, pada tingkat pertama, penyebabnya adalah kekeliruan saat pembentukan.

Sebagai organisasi ekonomi yg berasaskan kekeluargaan, maka KUD seharusnya dibentuk oleh orang-orang yang memiliki tujuan yang sama. Sifatnya bottom up. Bukan top down. Pemerintah hanyalah fasilitator. Maka pembentukannya harus diawali dengan musyawarah seluruh calon anggota.
Dalam musyawarah itu disusun AD/ART, menentukan besar uang pangkal, dan macam iuran lainnya. Di dalam musyawarah itu pula disusun pengurus yang berasal dari dan oleh anggota. Yakni mereka yg telah menyetor simpanan pokok dan simpanan-simpanan lain yang disepakati dalam musyawarah. Artinya, pengurus mutlak anggota koperasi. Bukan ditunjuk oleh pemerintah.

Dalam kasus KUD, banyak diterjadi pengurus dibentuk oleh pemerintah.

Pembentukan Koperasi Merah Putih sebagaimana banyak diberitakan, sepertinya meniru model KUD. Dibentuk oleh kaum elit desa. Aparat desa dan tokoh masyarakat setempat. Dari berbagai informasi yang saya dapatkan, mereka yang hadir dalam musyawarah pembentukan, banyak yang tidak memahami mekanisme pembentukan koperasi.

MEKANISME PEMBENTUKAN KOPERASI
Mengacu pada UU No.29 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian, menyebutkan bahwa koperasi dibentuk minimal 20 orang dengan menyepakati AD/ART. Pengurusnya berasal dari dan oleh anggota.

Maka pertanyaannya adalah apakah para pengurus yang terbentuk itu memang sudah menjadi anggota koperasi dgn menyetor simpanan pokok, simpanan wajib, simpanan sukarela dan iuran anggota. Jika belum, maka asas rechmatigheid dan wetmatigheid tentu tidak terpenuhi.

Kesalahan berikut adalah, hampir semua KUD anggotanya tidak jelas alias fiktif. Maka RAT (Rapat Anggota Tahunan) yang wajib dilakukan, hampir-hampir tidak terjadi. Jika toh ada RAT, pastilah penuh rekayasa. Maka jangan heran jika banyak KUD yg pengurusnya dari waktu ke waktu, orangnya itu-itu saja. Pengurus seumur hidup. Bahkan banyak KUD yang ketuanya "one man show". Bekerja dengan manajemen tukang cukur. Dia mengelola KUD seperti mengelola bisnis pribadi.

Buku anggota yang seharusnya berisi catatan keaktifan anggota, teronggok di rak yang penuh debu. Karena tak pernah disentuh apalagi dibuka. Untung-untung jika tak dimakan rayap. Yang pasti, tak ada sedikitpun catatan keaktifan anggota di buku itu. Padahal, keuntungan yang dalam bahasa koperasi disebut sisa hasil usaha, harus dibagi kepada anggota berdasarkan jasa/keaktifan, bukan berdasarkan saham. Maka semua keuntungan masuk kantong ketua. Jadilah KUD = Ketua Untung Duluan.

Belajar dari kasus KUD, maka harus dipastikan bahwa Koperasi Merah Putih tidak akan mengulangi kekeliruan itu. Jika kegagalan KUD kembali terulang pada Koperasi Merah Putih artinya, asas doelmatigheidnya tidak tercapai.

Ingat. Keledai tidak pernah jatuh dua kali ke dalam lubang yang sama. Kita tentu tidak mau dicap lebih bodoh dari keledai.

Kesalahan ketiga adalah intervensi pemerintah yang terlalu jauh, membuat KUD tidak mandiri. Padahal salah satu tujuan koperasi adalah kemandirian dalam bidang ekonomi. Yang terjadi justeru sebaliknya. KUD sangat tergantungan pada pemerintah.

Dalam kaitan ini patut diketahui bahwa ada 3 fungsi pemerintah menurut Prof. Ryaas Rasyid. 1) pelayanan untuk menciptakan keadilan. 2) pemberdayaan untuk menciptakan kemandirian. 3) pembangunan untuk menciptakan kesejahteraan. Dalam perspektif ini maka dapat dikatakan bahwa pemerintah telah gagal melaksanakan fungsi pemberdayaan. Karena KUD yg seharusnya menjadi wadah pemberdayaan untuk kemandirian ekonomi masyarakat, ternyata gagal membuat rakyat berdaya secara ekonomi.

Terkait berbagai fasilitas yang dulu diberikan oleh pemerintah kepada KUD, perlu dilakukan investigasi dan inventarisasi untuk mengetahui bagaimana nasibnya kini. Jika keberadaannya masih bisa dilacak alangkah baiknya diserahkan kepada Koperasi Merah Putih untuk dimanfaatkan dengan baik.

Koperasi Merah Putih rencananya akan menerima bantuan dana sebesar Rp5 M per koperasi. Jumlah total anggaran Rp400 T. Bersumber dari APBN, Dana Desa, KUR, dan sumber lain seperti hibah dan CSR perusahaan sekitar, serta swadaya nasyarakat.

Pertanyaannya adalah, untuk apa uang sebanyak itu? Bukankah koperasi menekankankan kemandirian yg bertumpu pada kekuatan sendiri? Maka fungsi uang pangkal dan berbagai iuran yg ditetapkan berdasarkan kesepakatan anggota seharusnya menjadi fondasi utama bekerjanya Koperasi Merah Putih. Ataukah memang koperasi ini dirancang untuk gagal seperti KUD? Kemudian dengan enteng pemerintah melakukan pemutihan terhadap semua utang2nya? Lalu pengurusnya melenggang bebas tanpa proses hukum?
Wallahu alam.(*/)

  • Bagikan