PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, Pengoplosan beras dan pengurangan takaran, termasuk pelanggaran berat. Bisa dijerat dengan 3 pasal berlapis. Ancamannya 5 tahun penjara.
Pakar hukum pidana Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM) Rahman Syamsuddin, menyatakan praktik pengoplosan beras yang melibatkan ratusan merek dan merugikan jutaan konsumen bisa dikenakan lebih dari satu pasal pidana. Ia menyebut pasar yang dikenakan bisa penipuan hingga pemalsuan merek.
“Ini bukan pelanggaran ringan. Dari aspek hukum, pelaku bisa dijerat tiga lapis tindak pidana sekaligus,” ujarnya.
Pertama, kata dia, kasus ini bisa dijerat dengan tindak pidana perlindungan konsumen, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang no 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Khususnya pasal 8 ayat 1. Pasal tersebut menyebut bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan label, mutu, dan komposisinya.
“Ini sudah jelas, produk dijual sebagai beras premium, ada label SNI, tapi setelah diuji tidak sesuai standar. Itu melanggar pasal 8,” tegasnya.
Kedua, pelaku juga bisa dikenakan pasal 378 KUHP tentang penipuan, jika terbukti dengan sengaja mengelabui konsumen demi meraup keuntungan.
“Kalau dari awal niatnya memang memutihkan beras lalu menjualnya seolah-olah premium, itu jelas unsur penipuan. Ada kesengajaan untuk mengecoh konsumen,” jelas Rahman.
Ketiga, jika pelaku menggunakan merek milik pihak lain secara ilegal, kasus ini dapat dikenai tindak pidana pemalsuan merek. Sesuai UU no 20 Tahun 2016 tentang merek dan indikasi geografis.
Dalam pasal 100 ayat 1 disebutkan, pihak yang memakai merek terdaftar tanpa izin dapat dikenakan pidana penjara maksimal 5 tahun dan/atau denda hingga Rp2 miliar.
“Kalau mereka pakai merek Ramos atau SPHP yang bukan miliknya, itu pemalsuan. Pidana merek juga berlaku,” tambahnya.
Rahman juga menjelaskan bahwa kasus ini bisa dilaporkan oleh berbagai pihak yang dirugikan. Tidak hanya oleh konsumen, tetapi juga oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) perlindungan konsumen, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), pemilik merek asli, maupun instansi pemerintah seperti Kementerian Perdagangan.
“Semua pihak yang merasa dirugikan atau punya otoritas bisa melapor. Ini bukan delik aduan terbatas,” katanya.
Dia menegaskan, transparansi penindakan dan publikasi kasus penting untuk memberi efek jera. Ia juga mendorong pemerintah segera menyediakan kanal pengaduan publik yang mudah diakses dan terintegrasi.
“Masyarakat perlu tahu ke mana harus melapor. Harus ada hotline, aplikasi, atau link yang bisa digunakan untuk melaporkan penyimpangan seperti ini,” tutupnya. (fjr/idr)