Pakar SEVIMA Live bersama Wakil Menteri Pendidikan Tinggi. --ist--
PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, MADURA-- Di pesisir Madura, para petani garam selama ini hidup dalam ketidakpastian karena bergantung pada sinar matahari dan cuaca yang sulit ditebak. Kampus Berdampak, program Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Kemendiktisaintek, hadir dengan cara kampus membuatkan teknologi bagi petani garam. Sehingga kampus tidak hanya menjadi pusat pencarian ilmu, tetapi juga menjadi motor penggerak peradaban yang solutif.
Hal ini diungkapkan Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Prof. Dr. Fauzan, M.Pd., bersama Pakar SEVIMA Wahyudi Agustiono PH.D, dalam tayangan Bincang Kita di TV Nasional "Harvesting Hope, Kemitraan Riset Indonesia-Australia untuk Solusi Nyata".
"Harapan besarnya adalah kita ingin merevitalisasi bagaimana kampus-kampus ini membagi peran strategis yang dapat memberikan kontribusi pada kepentingan atau persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini," ujar Prof. Fauzan, Sabtu 19/7/2025 pagi.
Teknologi untuk Memanen Garam
Salah satu perwujudan dari visi tersebut adalah proyek "Harvesting Hope" di Madura, sebuah kemitraan riset antara Indonesia dan Australia melalui program KONEKSI. Dipimpin oleh Assoc. Prof. Wahyudi Agustiono, Ph.D., seorang dosen dari Universitas Trunojoyo Madura, proyek ini tidak hanya mencari solusi untuk satu masalah, tetapi menerapkan teknologi baru dan cerdas bernama "poligenerasi".
Menurut Wahyudi, inovasi ini secara bersamaan mengatasi beberapa masalah sekaligus. Di lahan yang sama, petani tidak hanya memproduksi garam, tetapi juga membudidayakan rumput laut yang bernilai ekonomis, dan desalinasi mengubah air laut menjadi air bersih yang layak minum bagi warga.
Hebatnya lagi, dengan memasang panel surya dan teknologi Rankine Cycle yang mengubah panas menjadi listrik, proyek ini mampu menyediakan sumber energi mandiri untuk masyarakat sekitar dengan harga terjangkau.
Dampak langsung paling dirasakan warga adalah ketersediaan air bersih. Wahyudi menyebutkan bahwa dengan prototipe yang ada, masyarakat kini memiliki akses air minum yang aman. "Jika beroperasi 8 jam, teknologi ini bisa menghasilkan air bersih dengan harga jual sekitar 500 ribu rupiah, dan itu sudah kami jual dengan harga di bawah air kemasan. Belum lagi pendapatan dari garam, rumput laut, dan listrik," jelas Wahyudi yang juga menjadi narasumber dalam Bincang Kita Kompas TV.
Kolaborasi hingga ke Australia
Apa yang membuat proyek ini berbeda dari riset akademik konvensional? Menurut Wahyudi, perbedaannya terletak pada pendekatan dan orientasi. “Kami mulai dari lokal, tapi berpikir global. Locally rooted, globally impacted, itu prinsip kami,” ujarnya.
Pendekatan strategis inilah yang berhasil menarik minat kolaborasi dari universitas ternama seperti Newcastle University dan MIT University Melbourne. Keberhasilan ini juga tak lepas dari peran aktif mahasiswa yang terjun langsung ke lapangan. Mereka tidak hanya belajar, tetapi juga berinovasi. Salah satu contohnya adalah ketika para mahasiswa menemukan solusi teknis berupa pintu air otomatis untuk mengatasi masalah pada budidaya rumput laut, sebuah ide yang lahir dari investigasi langsung di lapangan, bukan dari dosen.
Prof. Fauzan, yang sempat berkunjung langsung ke lokasi proyek pada Februari lalu, mengaku sangat terkesan dengan dampak yang dihasilkan. Menurutnya, proyek ini adalah contoh ideal dari ekosistem riset yang berfungsi.
"Yang pertama, dalam proses riset itu melibatkan mahasiswa. Artinya, mahasiswa tidak hanya belajar di kampus, tetapi dihadapkan pada tantangan yang sangat bermanfaat, memberi pengalaman dan pengetahuan langsung. Kedua, dari sisi petani. Mereka mulai memahami dan memiliki pengalaman dalam memproduksi garam dengan lebih baik. Riset yang dilakukan Pak Wahyudi dan tim memberikan dampak ekonomi yang signifikan," ungkap Prof. Fauzan. (*/uce)