Anggota DPR RI Frederik Kalalembang Minta Polri Tegas dan Terbuka Jelaskan Kematian Diplomat ADP

  • Bagikan
Anggota DPR RI Fraksi Demokrat, Irjen Pol (P) Drs. Frederik Kalalembang
  • Tiga Kemungkinan Kematian Harus Diurai dengan Ilmiah

PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID JAKARTA – Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Irjen Pol (Purn) Drs. Frederik Kalalembang, mendorong Polri agar bersikap lebih tegas dan terbuka dalam menjelaskan secara tuntas penyebab kematian diplomat muda Kementerian Luar Negeri, Arya Daru Pangayunan (ADP).

Menurut Frederik, penjelasan yang disampaikan sejauh ini belum cukup menjawab pertanyaan mendasar publik, terutama ketika Polri menyatakan bahwa kematian Arya bukan disebabkan oleh bunuh diri, bukan karena tindak pidana, dan tidak ada keterlibatan orang lain.

Frederik menilai, dalam pendekatan ilmiah seperti yang digunakan dalam kriminologi maupun investigasi berbasis metode Crime Scene Investigation (CSI), penyebab kematian seseorang umumnya hanya dapat dikategorikan dalam tiga jenis, yakni dibunuh, bunuh diri, atau kecelakaan. Ketiganya memiliki indikator dan konsekuensi hukum yang berbeda, serta membutuhkan metode pembuktian yang presisi.

Maka jika dua dari tiga kemungkinan telah dikesampingkan oleh penyidik, yakni pembunuhan dan bunuh diri, maka kesimpulan logis yang tersisa adalah kecelakaan. Namun penyebutan “kecelakaan” ini pun harus dijelaskan secara rinci kepada publik, agar tidak menimbulkan persepsi liar atau ketidakpercayaan.

“Saya percaya penyidik Polda Metro Jaya telah melakukan penyelidikan secara profesional menggunakan pendekatan ilmiah seperti dalam metode CSI. Saya juga percaya bahwa kasus ini adalah kecelakaan, tapi tentu harus dijelaskan apa indikasinya. Masyarakat butuh penjelasan bukan hanya tentang hasil akhirnya, tetapi juga proses dan kronologi yang membentuk kesimpulan tersebut,” ujar Frederik, Kamis (31/7/2025).

Ia menyebut, keyakinan bahwa ini adalah kecelakaan diperkuat oleh sejumlah fakta yang telah dipaparkan penyidik, termasuk hasil rekaman CCTV yang menunjukkan bahwa tidak ada pihak lain yang berada di dalam ruangan saat kejadian. Ia juga percaya bahwa rekaman tersebut tidak direkayasa atau dirusak, serta telah melalui pemeriksaan laboratorium forensik yang dapat memastikan keasliannya.

“Kalau memang CCTV menunjukkan korban sendiri dan tidak ada intervensi pihak luar, dan dari TKP juga tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan dari orang lain, maka logikanya bukan pembunuhan. Tapi karena korban juga tidak bunuh diri, artinya ada satu penjelasan tersisa: kecelakaan. Nah, yang ditunggu publik sekarang adalah penjelasan detail soal kecelakaan itu , bagaimana dan kenapa itu bisa terjadi,” tegas Frederik.

Dalam konteks kriminologi, pembunuhan adalah kematian yang disebabkan oleh tindakan orang lain, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja. Sementara bunuh diri adalah tindakan seseorang mengakhiri hidupnya dengan kehendaknya sendiri. Adapun kecelakaan terjadi tanpa adanya niat atau intervensi, baik dari korban maupun pihak lain, biasanya karena aktivitas berisiko, kondisi medis, atau faktor lingkungan.

Frederik menekankan bahwa penyidik harus menyusun narasi yang utuh dan ilmiah untuk menjelaskan mengapa kesimpulannya adalah kecelakaan. Menurutnya, publik tidak cukup diberi pernyataan “tidak ditemukan unsur pidana” tanpa disertai penjelasan tentang kronologi dan indikator kejadian.

Ia juga menyoroti hasil autopsi yang disampaikan dokter forensik RSCM, dr. G. Yoga Tohijiwa, yang menunjukkan adanya luka lecet di wajah dan leher, luka terbuka pada bibir, memar-memar pada lengan kanan, serta tanda-tanda perbendungan. Meski disebut bahwa luka-luka tersebut kemungkinan muncul akibat aktivitas korban memanjat tembok di lantai 12 Gedung Kemenlu, namun hal itu belum cukup menjelaskan secara utuh bagaimana kecelakaan tersebut bisa terjadi.

“Saya tidak meragukan profesionalisme penyidik. Tapi kalau memang hasil akhirnya adalah kecelakaan, maka kronologinya harus dijelaskan secara terang. Misalnya, apakah korban panik, terjebak, atau mengalami kelainan perilaku yang menyebabkan tindakan berisiko tanpa niat mengakhiri hidup,” kata Frederik.

Ia menegaskan bahwa keterbukaan dan keberanian menjelaskan secara ilmiah adalah bagian penting dari proses keadilan. Polri, menurutnya, tidak perlu khawatir menghadapi tekanan publik selama penanganan kasus dilakukan berdasarkan bukti dan akal sehat.

“Ini bukan tentang membela atau menyalahkan siapa pun. Tapi kalau kita ingin kepercayaan publik terhadap hukum tetap terjaga, maka komunikasi yang jujur dan ilmiah kepada masyarakat adalah kunci. Polri harus bicara tegas, bukan bersayap,” tutup Frederik. (int/idr)

  • Bagikan