Hardy (Mahasiswa Program Doktoral Manajemen)
Pengantar
Artikel ini adalah refleksi untuk siapa saja yang pernah merasa geram melihat orang yang hanya tampil saat ingin terlihat, tapi absen dalam kerja nyata. Juga untuk kita yang ingin tetap waras dan profesional di tengah dunia kerja yang penuh "aktor".
Di banyak tempat kerja hari ini, kita mendengar suara yang sama, orang ingin gaji besar, fasilitas nyaman, jabatan cepat naik. Tapi di saat yang sama, mereka memberi sedikit, loyalitas seadanya, komitmen loyo dan kerja yang hanya kelihatan saat ada pimpinan.
Banyak karyawan yang di awal kariernya begitu semangat. Saat masih staf biasa, mereka cepat, rajin, dan penuh inisiatif. Tapi begitu dapat sedikit jabatan atau penghargaan, mulai muncul jarak antara perkataan dan kenyataan.
Ada yang hanya bekerja serius saat ada pimpinan, bersuara paling lantang di grup WA, paling banyak teori saat diskusi, tapi di lapangan nihil kontribusi. Mereka pandai menilai kesalahan orang lain, tapi tak pernah menguliti diri sendiri. Pandai menuntut gaji, penghargaan, fasilitas, tapi lupa mengukur apa yang sudah ia beri secara nyata dan konsisten. Paling sering merasa tidak dihargai, tapi jarang bertanya, "Sudah sebandingkah yang saya beri dengan yang saya tuntut?"
Orang-orang seperti ini tidak sadar bahwa pekerjaan itu bukan panggung, dan atasan bukan penonton. Dunia kerja mengenali siapa yang bekerja tulus dan siapa yang hanya sedang memainkan peran.
Sungguh, dunia kerja sedang dipenuhi orang-orang yang high expectation, low contribution.
Antara Ekspektasi Tinggi dan Kontribusi Rendah
Banyak karyawan hari ini ingin diperlakukan seperti direktur, tapi memberi kontribusi ala kadarnya. Mereka ingin dipuji, dilibatkan bahkan dipromosikan, namun absen dalam kerja nyata.
Mereka muncul saat sorotan hadir, saat atasan ada, saat panggung terbuka, saat tugas-tugas ringan yang bisa memberi citra baik. Tapi di balik layar, mereka menghilang. Tidak tahan kerja keras, tak suka tantangan dan alergi pada koreksi.
Padahal, kualitas seseorang bukan diukur dari seberapa lihai ia bicara, tapi dari seberapa teguh ia bekerja, bahkan saat tak ada yang melihat.
Bekerjalah dengan Standar Tinggi
Chairul Tanjung pernah berkata, “Bekerjalah sebaik mungkin, seakan-akan kamu digaji seperti direktur, walau kenyataannya kamu masih staf biasa. Karena suatu saat, sikap dan etos kerjamu yang akan membawamu ke tempat yang pantas.”
Ini bukan romantisasi kerja keras tanpa penghargaan. Tapi tentang siapa diri kita saat tidak ada yang melihat. Etos kerja sejati tumbuh dari dalam, bukan dari sorotan luar. Orang besar tidak perlu pengawas untuk disiplin. Ia tidak menunggu motivasi untuk bergerak. Ia tahu, bahwa hasil akan mengikuti proses dan promosi akan mengejar reputasi, bukan sebaliknya.
Kalimat di atas merupakan falsafah kerja profesional yang langka di zaman pencitraan ini. Artinya, seseorang harus bekerja bukan karena ingin dilihat, tapi karena menghormati integritas dirinya sendiri. Bekerja dengan standar tinggi meski tanpa pengakuan adalah cara kita menjaga marwah diri, bukan sekadar menyenangkan atasan. Sesungguhnya, bukan jabatan yang menjadikan orang mulia, tetapi keutuhannya dalam bekerja, bahkan saat tak ada yang menonton.
Wajah Asli di Balik Kritik
Dunia kerja hari ini sedang krisis ketulusan. Kita dikelilingi oleh orang-orang yang tampil saat ingin dipuji, bersuara lantang saat ingin validasi, pandai berteori tapi alergi kerja konkret atau loyal secara basa-basi tapi licin saat diminta bertanggung jawab.
Mudah sekali menyalahkan sistem, menyindir manajemen atau membandingkan gaji. Tapi apakah kita sudah sungguh-sungguh memberi kontribusi terbaik? Seringkali, yang paling cerewet mengkritik justru yang paling malas saat kerja tim. Yang paling sering bicara idealisme, paling minim realisasi. Dan yang paling suka menyalahkan orang lain adalah yang paling jarang introspeksi.
Ini bukan tentang siapa yang paling pandai bicara, tapi siapa yang paling teguh bekerja. Jangan Hanya Tampil, Tapi Benar-Benar Tangguh
Ketika ada proyek prestisius, semua ingin tampil. Ketika ada pimpinan hadir, semua ingin kelihatan sibuk. Tapi ketika tak ada kamera dan spotlight, siapa yang tetap bekerja? Banyak orang hanya rajin demi citra. Mereka bukan pekerja sejati, tapi aktor kantor. Mereka hadir bukan untuk berkontribusi, tapi untuk memastikan “terlihat baik”.
Namun dunia kerja bukan panggung sinetron. Di balik layar, kualitas asli akan terlihat. Dan lambat laun, yang palsu akan gugur, yang tulus akan naik. Dunia kerja akan lelah terhadap mereka yang hanya bisa hadir saat sorotan menyala, tapi menghilang saat tanggung jawab memanggil.
Orang-orang yang bekerja hanya karena sedang dilihat, bukan karena merasa bertanggung jawab, pada akhirnya hanya akan jadi catatan kaki dalam sejarah organisasi, bukan tokoh utama.
Penutup: Berkacalah Sebelum Menuntut
Sebelum menuntut gaji lebih, tanya dulu, Sudah pantaskah saya?
Sebelum mengeluhkan atasan, cek dulu, Sudah sejauh apa kontribusi saya?
Sebelum membandingkan diri dengan rekan lain, renungkan dulu, Sudah sebesar apa kerja dan loyalitas saya dibanding mereka?
Kepada Anda yang masih bekerja dengan tulus di tengah budaya basa-basi, tetaplah jaga hati dan standar diri Anda. Dunia kerja memang tidak selalu memberi balasan langsung, tapi Tuhan dan waktu tidak pernah salah alamat. Dunia kerja bukan sekadar tentang siapa yang bicara paling keras, tapi siapa yang bekerja paling tulus, bahkan saat tak ada yang menonton.
“Bekerjalah sebaik mungkin. Bukan karena kamu diawasi. Tapi karena kamu menghormati dirimu sendiri.” Dan kelak, orang yang seperti itu, tak perlu mengejar jabatan sebab jabatan akan mencarinya.
Bekerjalah seperti digaji tinggi, bukan karena Anda bodoh, tapi karena Anda besar. Besar dalam integritas. Besar dalam mentalitas. Besar dalam keberanian untuk tidak ikut-ikutan jadi ‘pemain peran’.
Integritas itu seperti air, akan selalu mencari tempat yang paling rendah dan menyejukkan siapa pun yang benar-benar haus.
Dan suatu hari, saat jabatan, penghargaan dan kepercayaan datang menghampiri, tegaklah berdiri, karena kita sampai disana bukan dengan pencitraan, tapi dengan keaslian dan ketekunan. “Jangan terlalu cepat naik, bila pondasimu belum kuat. Jabatan yang besar hanya cocok untuk hati yang matang.”
Tulisan ini bukan sindiran, tapi cermin. Dan semoga kita cukup berani untuk bercermin, sebelum terlalu jauh menunjuk orang lain. (*)