Budayawan Milenial Sulsel Ajak Generasi Muda Luwu dan Makassar Kembali Belajar Sejarah

  • Bagikan

PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, PALOPO-- Insiden pertikaian antar kelompok mahasiswa daerah yang meletup di Makassar pekan lalu menjadi cermin retaknya inklusifitas budaya di ruang-ruang urban. Perselisihan yang semestinya dapat diredam melalui forum-forum dialog malah bereskalasi di jalanan. Namun, di tengah riuhnya tensi dan provokasi, suara kritis datang dari Budayawan Milenial Sulawesi Selatan, Abdi Mahesa, S.S., M.Hum.

Menurut Abdi, penyelesaian konflik tidak cukup hanya dengan pendekatan represif atau normatif. Ia menyarankan cara yang lebih transendensial yakni menyusuri kembali akar budaya dan sejarah yang menyatukan.

"Relasi historis antara Kerajaan Lwu dan Gowa sebagai contoh paling konkret tentang bagaimana identitas yang berbeda bisa disatukan melalui simpul politik kekerabatan", kata pemuda berdarah Bone kelahiran Parepare 18 Mei 1998 ini.

Filolog yang fokus meneliti Luwu melalui teks I La Galigo ini menjelaskan bahwa sejarah telah mencatat pernikahan antara Datu Luwu La Pattiware Daeng Parabbung Sultan Muhammad Wali Muzhahiruddin (1587–1615) dengan I Cinni’ Daeng Situju, putri Raja Gowa I Tajibarani Daeng Marumpa Karaeng Tunibatta. Pernikahan ini melahirkan generasi yang kelak menjadi penghubung dua dinasti besar di Sulawesi Selatan yakni La Pattiaraja, Patipasaung, dan We Tenri Siri Opu Tadang Mpali Somba Bainea.

We Tenri Siri, kata Abdi, bahkan kemudian menjadi permaisuri Sultan Alauddin, Raja Gowa ke-14, yang juga merupakan penguasa pertama Gowa yang memeluk Islam pada 1605.

“Dua kerajaan besar ini, yang berasal dari suku berbeda, tidak saling meniadakan. Justru mereka saling mengukuhkan melalui pernikahan, sebagai strategi politik damai,” jelas Abdi, Magister Humaniora jebolan Universitas Indonesia ini.

Ia mengingatkan pentingnya belajar sejarah dan budaya. Melalui dua 'cermin' ini, kita dapat mengambil inspirasi bahwa jalan keluar dari konflik bukanlah mendaur ulang kebencian, melainkan menghidupkan kembali nilai-nilai lokal yang telah terbukti menyatukan Somba Opu, Sipakatau, Sipakainge, dan Sipakalebbi seperangkat nilai yang menjunjung martabat, saling menghormati, dan kepekaan sosial.

Menurut Abdi yang juga intens berkomunikasi dengan Datu Luwu ini, nilai-nilai ini bukan sekadar etika interpersonal, tapi juga bagian dari sistem resolusi konflik berbasis kultural yang diwariskan oleh para leluhur. Spirit Siri’ Na Pacce, yang menjunjung harga diri dan empati, katanya, adalah asas mediasi yang paling manusiawi dan inklusif dalam menghadapi konflik sosial.

“Jika para raja dahulu bisa memilih jalan damai melalui relasi sosial dan spiritual, mengapa kita hari ini justru memilih jalan yang saling menjatuhkan hanya karena berbeda asal daerah?” kritik Abdi tajam.

Narasi Abdi Mahesa adalah pengingat bahwa sejarah bukan sekadar deretan nama dan tanggal, melainkan sumber nilai yang bisa ditafsir ulang untuk menjawab tantangan zaman.

"Di tengah ketegangan identitas yang terus menguat, sejarah dan budaya justru bisa menjadi senjata paling ampuh untuk membongkar konflik tanpa kekerasan", kunci Abdi Mahesa. (rls/ikh)

  • Bagikan