Pulang Terlalu Larut: Ketika Anak Kehilangan Rumah dan Orang Tua Kehilangan Suara

  • Bagikan

Oleh: Hardy (Mahasiswa Program Doktoral Manajemen)

Fenomena anak remaja yang pulang larut malam dan berkeliaran tanpa kontrol makin sering kita jumpai. Ironisnya, perilaku ini semakin dinormalisasi, bahkan dianggap wajar oleh sebagian orang tua. Tulisan ini mengangkat kegelisahan atas melemahnya peran keluarga dan institusi pendidikan dalam menanamkan disiplin serta karakter anak. Gagasan ini dikaji melalui pendekatan psikologi perkembangan, pandangan spiritual (QS. At-Tahrim: 6) serta refleksi atas realitas sosial kontemporer.

Saat Jalanan Menjadi Rumah Kedua

Malam punya dua wajah. Bagi sebagian orang, ia adalah waktu untuk pulang dan beristirahat. Tapi bagi sebagian lainnya, terutama anak-anak muda, malam adalah panggung kebebasan, bahkan pelarian. Batas antara bereksplorasi dan kebablasan kian kabur.

Fenomena remaja berkeliaran di luar rumah hingga larut malam, seringkali tanpa alasan akademik yang jelas, kini menjadi pemandangan yang dianggap biasa. Nongkrong di kafe, nonton bioskop, konvoi motor hingga “healing” bersama teman menjadi bagian dari pola hidup malam mereka. Lebih menyedihkan lagi, sikap permisif sebagian orang tua. “Namanya juga anak muda,” kata mereka.

Kalimat itu terdengar ringan, namun menyiratkan pelepasan tanggung jawab. Pertanyaannya, Dimana peran orang tua? Dimana sekolah dan guru? Siapa yang hari ini sungguh-sungguh menjaga arah hidup anak-anak bangsa?

Antara Dulu dan Sekarang: Apa yang Berubah

Dulu, adzan Maghrib adalah panggilan pulang. Anak-anak diajak membersihkan diri, salat berjamaah lalu makan malam bersama. Ada kehangatan dalam interaksi. Ada pertemuan pandang dan pertemuan hati. Ada keluarga.

Hari ini, kebiasaan itu nyaris hilang. Rumah sepi. Orang tua sibuk dengan kerja, meeting hingga larut serta perangkat gawai. Anak-anak mengisi kekosongan itu dengan tongkrongan dan layar ponsel. Ketika kegelisahan soal ini muncul, jawaban yang sering kita dengar, “Dulu kita juga begitu.”

Tapi benarkah dulu dan sekarang bisa disamakan? Dahulu, masyarakat punya kontrol sosial yang kuat. Teguran dari tetangga atau guru tidak dianggap melanggar privasi. Sekarang, anak-anak merasa berhak atas hidup mereka, sementara tanggung jawab moral tak diajarkan sejak dini. Dan ketika semuanya terlambat, kita hanya bisa berkata, “Kami sudah mencoba.”

Krisis Identitas Remaja

Psikolog Erik Erikson menyebut masa remaja sebagai fase identity vs. role confusion, fase pencarian jati diri yang butuh arahan dan batasan. Tanpa bimbingan, remaja akan terombang-ambing.
Dalam bukunya Identity: Youth and Crisis (1968), Erikson menulis, “Adolescents need models to experiment with and boundaries to push against. The absence of meaningful limits may leave them drifting without direction.” Tanpa batas yang sehat, eksplorasi remaja bisa berubah jadi penyimpangan. Ketika keluarga dan sekolah tidak memberikan nilai dan rambu, remaja lebih mudah terseret pada tekanan teman sebaya dan perilaku berisiko, mulai dari merokok hingga penyalahgunaan narkoba.

Anak-anak yang dibiarkan tanpa kontrol bukan merasa bebas, tapi merasa tak dianggap penting. Dan itu celah bagi pengaruh negatif untuk masuk.

Suara Al-Qur'an: Tanggung Jawab Orang Tua

Islam pun memberi peringatan tentang pentingnya menjaga anak, terutama pada malam hari. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Jika malam telah datang, tahanlah anak-anakmu, karena setan mulai berkeliaran saat itu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Al-Qur’an pun menegaskan dalam QS. At-Tahrim ayat 6, “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”

Imam Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini sebagai perintah untuk mendidik, mengarahkan dan mengawasi keluarga. Dalam konteks modern, ini berarti mengenal teman anak, membatasi jam keluar malam serta membangun relasi yang hangat dan terbuka di rumah.

Sekolah, Guru dan Kehilangan Peran Moral

Hari ini, sekolah kerap terjebak dalam administrasi dan formalitas. Guru enggan menegur karena takut diprotes. Wali kelas lebih sibuk dengan data kehadiran atau peralatan kebersihan kelas ketimbang pembinaan karakter. Ketika suara sekolah melemah, anak pun kehilangan panutan.

Anak-anak hari ini lebih banyak belajar dari TikTok dan YouTube dibanding dari guru di sekolah. Budaya instan dan permisif perlahan menjadi hal yang lumrah. Merokok atau ngevape dipandang sebagai simbol gaya hidup, pacaran ditampilkan seolah-olah hubungan sah dalam keluarga dan mabuk dianggap sebagai bagian dari “fase eksplorasi diri”. Tapi ini bukan eksplorasi. Ini adalah awal dari kehancuran yang dibungkus dengan nama kebebasan.

Refleksi dan Arah Pulang

Ini bukan tentang melarang anak bersosialisasi, tapi tentang mengajarkan mereka waktu yang tepat untuk pulang. Mengembalikan fungsi rumah sebagai tempat yang nyaman untuk pulang, bukan sekadar tempat singgah. Anak-anak kita membutuhkan :
Orang tua yang hadir secara emosional dan fisik
Jadilah pelindung, bukan pengawas. Bangun komunikasi hangat dan batasan yang sehat.
Sekolah yang kembali ke fungsi aslinya, mendidik karakter
Guru dan wali kelas harus punya ruang dan keberanian untuk membina.
Kolaborasi keluarga, sekolah dan masyarakat
Tripusat pendidikan harus hidup. Komite sekolah jangan jadi pelengkap formalitas.
Pendidikan agama yang menyentuh nilai dan adab
Lebih dari sekadar hafalan, tapi penghayatan dan pembiasaan nilai spiritual dalam hidup sehari-hari.

Penutup: Pulanglah Sebelum Gelap

Zaman boleh berubah. Tapi nilai kebenaran tak pernah usang. Jika hari ini kita abai, besok kita hanya bisa menangis dalam penyesalan.

Jangan tunggu anak pulang bukan dengan motor, tapi dengan kabar duka. Jangan biarkan masa tua kita penuh sesal karena dulu terlalu longgar memberi izin. Katakan pada mereka,
“Nak, pulanglah sebelum gelap. Di luar sana, tak ada yang lebih sayang padamu selain kami yang menunggumu di rumah.”

Jadilah orang tua yang tak takut dimusuhi demi keselamatan anak. Jadilah guru atau wali kelas yang berani berkata “tidak boleh” ketika tahu itu menyelamatkan. Dan mari berdoa, semoga Allah swt. melembutkan hati anak-anak kita, agar mereka kembali, bukan hanya ke rumah, tapi ke jalan yang benar. (*)

  • Bagikan