Refleksi Kritis Atas Arah Substansi Pendidikan Tinggi

  • Bagikan

Oleh: M. Hasanuddin, S.Kom.,M.Kom

PENDIDIKAN tinggi merupakan pilar strategis dalam membentuk sumber daya manusia yang berpengetahuan, berkarakter, dan adaptif terhadap dinamika global. Sebagai salah satu instrumen utama pembangunan bangsa, pendidikan tinggi tidak hanya bertugas mentransfer pengetahuan (knowledge transmission), tetapi juga mengembangkan kapasitas berpikir kritis, kreativitas, dan kepekaan sosial mahasiswa. Keberhasilan fungsi ini salah satunya sangat dipengaruhi oleh peran dosen sebagai aktor kunci dalam pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang mencakup tiga fungsi pokok: pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Namun, implementasi ketiga fungsi tersebut juga sangat dipengaruhi oleh faktor struktural, kebijakan institusional, dan dinamika global.

Peran dosen dalam lingkup akademik tentu saja tidak sekadar menjadi pengajar tetapi juga sebagai pendidik, pembimbing akademik, peneliti, dan agen perubahan sosial. Namun, dalam konteks pendidikan tinggi Indonesia saat ini, idealisme peran dosen kerap berbenturan dan kesempatan yang ada seringkali tereduksi dengan realitas beban administratif yang tinggi, tuntutan penyusunan laporan kinerja, pemenuhan instrumen akreditasi, sertifikasi, dan pengumpulan angka kredit serta berbagai dokumen evaluasi lainnya yang sering kali menyita waktu, energi dan perhatian yang mengurangi ruang refleksi, riset, dan pengembangan keilmuan yang bersifat mendalam bagi seorang dosen serta interaksi akademik yang bermakna dengan mahasiswa. Apalagi dengan meningkatnya kegiatan apresiatif dan seremonial institusi yang, meskipun penting dari aspek sosial dan mental sebagai bentuk pengakuan dan motivasi, namun sering kali tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pembelajaran.

Dampaknya, kualitas interaksi akademik dan riset inovatif berpotensi menurun karena dosen terjebak dalam siklus pekerjaan yang bersifat reaktif dan prosedural, bukan produktif dan strategis. Maka dalam jangka panjang, hal ini dapat menghambat pencapaian visi pendidikan tinggi sebagai pusat unggulan (center of excellence) yang mampu menghasilkan pemikiran kritis dan solusi berbasis ilmu pengetahuan. Ketika dosen terus-menerus terjebak dalam pekerjaan teknis yang repetitif, potensi transformatif pendidikan tinggi akan tereduksi menjadi sekadar penyampaian materi tanpa jiwa
Tantangan dan Peluang Transformasi Teknologi dalam Pendidikan Tinggi.
Pendidikan tinggi saat ini dihadapkan pada dinamika transformasi teknologi yang berkembang pesat.

Pemanfaatan Artificial Intelligence, big data, perangkat berbasis Internet of Things (IoT), pembelajaran daring, dan otomatisasi menuntut penyesuaian kurikulum, metode pengajaran serta strategi pembimbingan mahasiswa secara berkelanjutan. Transformasi ini membuka peluang signifikan untuk meningkatkan efisiensi dan mendorong inovasi pembelajaran, namun sekaligus berpotensi menimbulkan kesenjangan pembelajaran (learning gap) bagi mahasiswa yang belum memiliki akses memadai atau keterampilan literasi digital yang cukup.

Dialektika antara idealisme pendidikan yang menempatkan pengembangan potensi mahasiswa sebagai tujuan utama dan realitas sistem pendidikan tinggi yang sarat tuntutan administratif serta tekanan adaptasi teknologi menuntut adanya rekonstruksi paradigma. Pendidikan tinggi harus merujuk pada orientasi substansialnya, yakni membentuk lulusan yang berpengetahuan, beretika, dan berdaya saing global, sembari mengelola perubahan teknologi secara bijaksana dan inklusif. Dalam kerangka ini, dosen memerlukan dukungan kebijakan, sistem manajemen beban kerja yang proporsional, serta ruang pengembangan profesional yang menempatkan kualitas pembelajaran dan penelitian di atas kepentingan administratif semata.

Percepatan perkembangan teknologi ini jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang tepat, transformasi teknologi dapat memperlebar jurang antara idealisme pendidikan dan praktik lapangan, mengurangi kualitas interaksi akademik, serta mengancam pencapaian tujuan hakiki pendidikan tinggi. Pengembangan proses pembelajaran model tatap muka tradisional menuju pembelajaran hybrid dan berbasis platform daring membuka peluang akses yang lebih luas; di lain sisi, juga memunculkan tantangan keterasingan sosial, penurunan intensitas dialog, serta menurunnya pembentukan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses akademik. Semua ini tentu diperlukan perubahan yang adaptif terhadap cara dosen dan mahasiswa dalam berinteraksi, tidak sekadar bersifat teknis, tetapi juga filosofis menuntut pergeseran cara pandang dari orientasi administratif menuju orientasi pembelajaran bermakna dan berdampak. Perguruan tinggi harus memastikan bahwa setiap kebijakan, inovasi teknologi, dan pengembangan kurikulum tetap berpijak pada prinsip pengembangan potensi manusia seutuhnya. Dengan demikian, pendidikan tinggi tidak hanya mampu merespons tantangan global, tetapi juga memimpin proses perubahan sosial yang berkelanjutan, menjaga idealisme pendidikan, dan memastikan bahwa substansi pembelajaran tidak pernah tergeser oleh arus kepentingan yang bersifat pragmatis.

Bagi mahasiswa, transformasi teknologi dalam dua dekade terakhir telah memicu percepatan distribusi ilmu pengetahuan yang belum pernah terjadi sebelumnya, itu artinya keberhasilan di masa depan kini sangat ditentukan oleh kemampuan beradaptasi terhadap perubahan yang cepat dan kompleks. Akses terhadap informasi kini berlangsung secara real-time dan lintas batas geografis, setiap mahasiswa punya kesempatan untuk mengakses sumber referensi, data, dan inovasi terbaru hanya dalam hitungan detik, kemudahan akses informasi ini memang memperkaya sumber belajar, namun juga berpotensi mengikis kedalaman analisis, menumbuhkan budaya instan dan melemahkan kemampuan berpikir reflektif. Tanpa pendampingan yang memadai, maka transformasi teknologi justru dapat menjauhkan mahasiswa dari esensi pendidikan itu sendiri. Ada dua sisi yang harus dipahami:

Sisi positif: teknologi menghadirkan akses tak terbatas ke dunia pengetahuan. Hanya dengan satu perangkat dan koneksi internet, mahasiswa dapat menjangkau jurnal internasional, mengikuti perkuliahan dari universitas terkemuka, hingga mempelajari keterampilan baru yang selaras dengan kebutuhan industri masa depan.

Sisi negatif: Kecepatan ini bisa menjadi bumerang bagi mereka yang pasif, kurang inisiatif, atau sekadar menjadi penerima informasi tanpa keterlibatan aktif. Dampaknya, mereka berisiko tertinggal, tidak siap bersaing, dan kehilangan relevansi di dunia kerja yang menuntut pembaruan kompetensi secara terus-menerus.

Pentingnya Ruang Pengembangan Kompetensi Dosen Dalam ekosistem pendidikan tinggi.

Dosen sebagai aktor strategis dalam pembentukan karakter akademik, kemajuan riset, dan inovasi sosial. Untuk menjalankan peran tersebut secara optimal, dosen memerlukan ruang yang memadai untuk pengembangan kompetensi, baik dalam aspek pedagogis, metodologis, maupun riset dan publikasi ilmiah. Beragam instrumen strategis untuk pengembangan kompetensi dapat diperoleh melalui partisipasi dalam workshop, seminar, diklat, pelatihan dan forum ilmiah yang memungkinkan dosen memperbarui pengetahuan secara lebih proaktif, memperluas jejaring akademik dan mengintegrasikan perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan ke dalam proses pembelajaran. Partisipasi aktif dalam kegiatan semacam ini bukan sekadar pelengkap, melainkan bagian esensial dari continuous professional development yang menjamin relevansi dan mutu peran dosen di tengah perubahan global yang sangat cepat yang memungkinkan transformasi ruang kelas menjadi pusat inspirasi dan pembelajaran yang lebih hidup.

Refleksi dan Momentum Transformasi Budaya Akademik

Jika kita menilik perjalanan pendidikan tinggi, sejatinya kekuatan utamanya terletak pada kebebasan akademik yang memberi ruang luas bagi pencarian kebenaran ilmiah, inovasi, dan pengabdian yang berdampak bagi masyarakat. Namun, ketika ritme kerja dosen didominasi oleh beban administratif dan kegiatan seremonial yang menguras energi, kita berisiko terjebak pada rutinitas yang memelihara prosedur tetapi mengabaikan substansi. Dengan demikian, dewasa ini kita perlu menghadirkan refleksi kritis, objektif secara mendalam pada diri :

Apakah kita sedang membangun budaya akademik yang benar-benar mendorong kreativitas, inovasi, dan pemikiran kritis?

Ataukah kita tanpa sadar membentuk lingkungan kerja yang memprioritaskan laporan di atas pencapaian intelektual?

Momentum transformasi ini menuntut keberanian semua pihak untuk menata ulang
prioritas pengelolaan perguruan tinggi:

Menempatkan peningkatan kompetensi dosen sebagai investasi strategis untuk menjamin keberlangsungan dan peningkatan mutu pendidikan tinggi.
Penyederhanaan administrasi dengan mengintegrasikan teknologi digital guna menyederhanakan beban administrasi, mengurangi pekerjaan manual serta memberikan ruang waktu produktif bagi dosen untuk melakukan riset dan inovasi.
Penetapan alokasi waktu khusus bagi dosen untuk mengikuti kegiatan ilmiah dan pelatihan yang diakui sebagai bagian resmi dari kinerja.

Menghidupkan forum-forum akademik internal yang tidak hanya bersifat formal, tetapi benar-benar menjadi ruang tukar pikiran, kritik konstruktif, dan kolaborasi lintas bidang dengan mengakui secara formal kontribusi ilmiah seperti publikasi, penelitian kolaboratif, dan pengembangan inovasi, sebagai indikator utama prestasi dosen.

Sebagai penutup tulisan ini, melalui keseimbangan antara tuntutan administratif, pemanfaatan teknologi, pemeliharaan esensi akademik, reformasi manajemen beban kerja dosen secara proporsional, penguatan literasi digital serta pembentukan ekosistem akademik yang reflektif dan humanis, kita tidak hanya menjaga mutu pendidikan tinggi, tetapi juga membangun ekosistem akademik yang adaptif, berkelanjutan dan visioner di mana dosen, mahasiswa dan institusi bergerak seirama menjawab tantangan zaman. (*)

  • Bagikan