DEMOKRASI DI ERA POST TRUTH

  • Bagikan

OLEH : MUDZAKKAR NB
SATU dekade terakhir, kita telah menyaksikan bagaimana politik elektoral telah menjadi arena di mana kebenaran dan kebohongan berkelindan dan membangun ketidakpastian politik pemilu di berbagai negara di dunia, termasuk di Indoneesia telah menjadi arena politik Post-Truth, ketika batas antara kebenaran dan kebohongan menjadi kabur. Politik tidak lagi mengedepankan wacana rasional, melainkan argumentasi bersifat emosional yang berakar pada ketakutan dan kekhawatiran. Akurasi dan data faktual menjadi subordinat dari emosi dan preferensi personal. Kondisi ini ditopang oleh kehadiran tekonologi komunikasi digital berbasis internet, yang memungkinkan sumber informasi tidak lagi terpusat di satu atau beberapa titik saja, melainkan menyebar, ada di mana-mana. Keberlimpahan informasi menebar ketidak pastian dan kebenaran dengan minim akurasi faktual yang jika dibiarkan “Liar” akan mengancam kohesi sosial dan berdampak pada keamanan nasional.

Panasnya pesta demokrasi turut ditopang oleh teknologi media digital. Media sosial khususnya, ikut meramaikan praktik mobilisasi massa dan kampanye politik yang dilakukan oleh politisi maupun massa pendukung masing-masing. Penggunaan media sosial untuk kampanye politik memang dilakukan oleh tim kampanye masing-masing kubu, termasuk relawan dan massa pendukung. Ruang siber diyakini oleh politisi sebagai ruang yang efektif dan efesien untuk meraih dukungan publik. Pada saat yang sama, publik juga memanfaatkan ruang siber untuk memperoleh informasi politik sekaligus sebagai ruang untuk mengekspresikan dukungan kepada kandidat yang dipilihnya.
Meningkatnya partisipasi warga dan mobilisasi politik di ruang siber memang telah menandai munculnya praktik politik baru dalam kehidupan berdemokrasi. Namun demikian, ruang siber juga menjadi ruang di mana praktik politik Post-Truth mendapatkan amplifikasi. Polarisasi akibat perbedaan pilihan politik dan keberlimpahan informasi yang difasilitasi oleh platform media baru menjadi lahan subur bagi beragam bentuk disinformasi yang menyesatkan dan tidak jelas basis kebenarannya. Produksi dan sirkulasi hoaxes (hoaks), fake news (berita palsu), dan hate speech (ujaran kebencian) menjadi sulit dikendalikan dan pada akhirnya dapat mengancam praktik pemilu yang demokratis sebagaimana yang menjadi cita-cita bersama. Karena itu, praktik politik post-tuth yang ditopang oleh banjir informasi di ruang-ruang media telah menjadi ancaman serius bagi kehidupan berdemokrasi.

Majunya teknologi komunikasi dan platform media sosial (medsos) memberikan dampak negatif bagi kehidupan masyarakat dan demokrasi. Sesuatu yang seolah-olah fakta muncul cepat bergulir melalui media sosial. Celakanya, masyarakat mudah memercayai info bohongan daripada fakta sesungguhnya. Tidak ada upaya pengecekan atas sumber berita yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka, kini semuanya sedang berada di era pascakebenaran (post-truth).
Demokrasi elektoral yang sehat jelas sulit dibangun apabila masyarakat tidak menggunakan kemampuan kritisnya dalam mengonsumsi informasi. Di era ini, emosi dan keyakinan personal lebih penting daripada fakta objektif sehingga antara kebohongan dan kebenaran sulit diidentifikasi. Di Indonesia, polarisasi politik, khususnya dalam satu atau dua dekade ini, tampak nyata dalam penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Dalam hal ini muncul bukan hanya polarisasi isu, melainkan juga polarisasi geokultural. Konten-konten negatif lalu-lalang mengaburkan fakta-fakta politik sebenarnya dan melahirkan apa yang disebut politik post-truth.
Polarisasi politik pada Pemilu 2019 misalnya, jauh lebih intens dan lebih tajam dibandingkan Pemilu 2014. Proliferasi dan viralisasi konten-konten kampanye hitam yang cenderung provokatif melalui hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian marak digaungkan di ruang virtual. “Polarisasi diwarnai dengan produksi serta viralisasi konten-konten negatif seperti hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian, serta kampanye hitam yang memunculkan kegaduhan dan berpotensi mengancam kohesi sosial serta keamanan nasional,”
Praktik-praktik politik post-truth tentu akan membawa konsekuensi negatif berupa terkikisnya tradisi perdebatan yang sehat di masyarakat, terjadinya kebuntuan politik, dan timbulnya ketidakpastian terkait kebijakan. Bahkan bisa menjadikan masyarakat mengalienasi diri dari dinamika politik.([email protected])

*) penulis adalah WAKIL BENDUM PB. HMI (PERIODE 2002-2004)

*) dosen Unanda Palopo

  • Bagikan