Kolusi dan Nepotisme, Tindak Pidana Yang Terlupakan

  • Bagikan

* Oleh: Muhammad Nurwan Fauzan
(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)

Penyelenggara negara seyogyanya mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat dengan menjunjung tinggi Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Asas yang dimaksud terdapat dalam UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 2 antara lain Asas kepastian hukum; profesionalitas; proporsionalitas; keterpaduan; delegasi; netralitas; akuntabilitas; efektif dan efisien; keterbukaan; nondiskriminatif; persatuan dan kesatuan; keadilan dan kesetaraan; dan kesejahteraan.

Aparatur Sipil Negara dalam menjalankan tugasnya wajib berlandaskan pada prinsip komitmen, integritas moral dan tanggung jawab terhadap layanan publik (lihat Pasal 3 huruf c UU ASN). Asas merupakan pikiran umum yang melatarbelakangi terbentuknya norma hukum.

Dalam dunia ilmu hukum, kita mengenal adagium lex semper dabit remedium yang berarti hukum akan selalu memberi obat. Hukum hadir dan berlaku (dalam konteks ini kita berbicara terkait penyelenggaraan negara) sebagai mekanisme pembatasan kekuasaan agar kekuasaan tidak sewenang wenang terhadap masyarakat yang memberikan kekuasaan.

Untuk menjaga marwah asas serta prinsip dalam UU ASN tersebut, maka selayaknya ada mekanisme aturan pidana yang menjerat apabila ASN ataupun penyelenggara negara apabila melakukan pelanggaran hukum.

Kita selama ini sering mendengar dan menggaungkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum yang kiranya dapat menjerat penyelenggara negara. Tetapi dalam satu kesatuan tindak pidana KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) kita jarang membahas yang dua terakhir itu, yaitu kolusi dan nepotisme. UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme memberikan payung hukum dalam rangka pencegahan bukn hanya korupsi tetapi juga kolusi dan nepotisme.

Pengertian Kolusi menurut UU tersebut adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara. Sementara Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan/atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Dari dua pengertian tersebut, sebenarnya tindak pidana kolusi dan nepotisme sama merugikannya dengan tindak pidana korupsi. Penyelenggara negara yang melakukan kolusi dan nepotisme jelas menciderai asas keadilan, netralitas, profesionalitas, non-diskriminatif. Penyelenggara negara seharusnya bertindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan masyarakat melalui ketiga perilaku tercela itu. Bayangkan apabila anda adalah calon Pegawai Negeri Sipil, tetapi pejabat berwenang malah memprioritaskan keluarga atau kerabatnya untuk meduduki posisi tersebut.

Jelas hak konstitusional anda yang terdapat dalam Pasal 28C dan Pasal 28D UUD 1945 dilanggar. Ancaman pidana yang dapat dikenakan kepada penyelenggara negara yang melakukan Kolusi dan Nepotisme diancam pidana paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) (Lihat Pasal 21 dan Pasal 22 UU No. 28 Tahun 1999).

Akan tetapi, pada kenyataannya UU 28 Tahun 1999 dapat dikatakan sebagai hukum yang “mati”, tidak ada penegakan atas delik nepotisme dan kolusi. Jampidsus Ali Mukartono mengatakan bahwa kadang terdapat keraguan bagi aparat penegak hukum untuk memandang perbuatan kolusi dan nepotisme sebagai delik atau bukan. Ali mengatakan bahwa Belum optimalnya penindakan terhadap delik kolusi dan nepotisme bukanlah disebabkan karena politik hukumnya akan tetapi lebih kepada politik penegakan hukumnya, Aparat penegak hukum seharusnya lebih aware terkait potensi pelanggaran tersebut. Dalam kejadian di lapangan, memang dalam beberapa kejadian tidak ditemukan unsur-unsur dalam UU Tipikor, tetapi bukan tidak mungkin perbuatan penyelenggara negara itu menyalahi UU 28 Tahun 1999.

Kita tidak boleh tinggal diam melihat delik yang dibiarkan begitu saja tanpa adanya penegakan hukum yang dilakukan. Oleh karena itu, dibutuhkan usaha sadar dan upaya bagi kita semua untuk menyetop praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salam Pejuang Anti Korupsi. (*)

  • Bagikan