NIKEL LUWU TIMUR UNTUK SIAPA?

  • Bagikan

* Oleh: Abdul Talib Mustafa
(Aktivis – Komunitas Pencinta Luwu Raya)

Terhadap pertanyaan nikel Luwu Timur untuk siapa ?, sesungguhnya tidak membutuhkan penjelasan yang panjang lebar, ketika ini didudukkan dalam konteks konstitusi NKRI. UUD 1945 mengatur bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar besar kepentingan rakyat”.

Masalah muncul kemudian ketika konstitusi negara tersebut dijabarkan ke dalam undangundang, seterusnya oleh kebijakan pemerintah, serta pada tingkat pelaksanaan di lapangan, atau dalam kehidupan nyata. Kepentingan berbagai pihak sering tarik menarik, bersebelahan, malah tidak jarang kadang menimbulkan konflik. Ini bisa terjadi antar pemeritah pusat dengan daerah, antar kementrian, antar korporasi, atau antar komunitas.

Tarik menarik tersebut dapat dibaca pada berbagai pandangan yang berkembang belakangan, dalam kaitan dengan masa depan nikel di Luwu Timur. Diawali oleh Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman ketika rapat dengar pendapat bersama Sekjend dan Plh Dirjen Minerba Kementrian ESDM serta Panja PT. Vale Komisi VII DPR RI. Andi Sudirman berkomitmen dan bertekad untuk mengambil alih lahan bekas tambang PT. Vale yang sudah direklamasi perusahaan di blok Soroako, Luwu Timur. Selain itu, Andi Sudirman juga meminta ke pemerintah pusat untuk tidak memperpanjang kontrak karya PT. Vale yang akan berakhir pada tahun 2025.

Pandangan Gubernur tersebut dikemukakan berdasar evaluasi Pemrov Sulawesi Selatan yang menyimpulkan jika kontribusi PT. Vale sangat kecil ke daerah, yakni 1,98% atas pendapatan daerah. Karena itu, Gubernur mengajukan usulan agar ke depan eks tambang PT. Vale diserahkan ke BUMD Sulawesi Selatan dan Luwu Timur pengelolaannya, agar pemda tidak hanya jadi penonton.

Kontroversi

Pandangan Gubernur Sulawesi Selatan ini kemudian disambut secara berbeda oleh berbagai kalangan. Menteri ESDM, Arifin Tasrif, mengatakan bahwa apabila pemerintah tidak memperpanjang kontrak Vale Indonesia, maka akan berdampak pada iklim investasi pertambangan di Indonesia. Secara nasional kata Menteri ESDM “kita punya kepentingan besar dimana kita bisa menggunakan sumber daya alam semaksimal mungkin untuk kesejahteraan masyarakat”.

Hampir senada dengan Menteri ESDM, berbagai pihak dari Luwu Raya juga menyatakan dukungan terhadap keberadaan PT. Vale. Mereka memandang jika PT. Vale telah melakukan kewajibannya sesuai kontrak karya. PT. Vale dipandang memiliki cukup pengalaman dan bonafide dalam pengelolaan tambang nikel. Ini terbaca dari pandangan anggota DPRD Sulawesi Selatan Dapil Luwu Raya, Esra Lamban dan unsur masyarakat Luwu Raya.

Tidak ada alasan yang kuat untuk menolak perpanjangan kontrak karya PT. Vale, kata Esra. Dikatakan bahwa jika ada keinginan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan ingin mengelola tambang nikel di lahan eks PT. Vale, tekanan isunya bukan perpanjangan kontrak karya PT. Vale kata politisi PDIP ini.

Hampir senada, Andi Baso Makmur, Ketua Kerukunan Wawainia Asli Soroako juga menyatakan dukungan terhadap perpanjangan kontrak PT. Vale. Dinyatakan jika PT. Vale merupakan korporasi yang tertib dan taat aturan mulai dari persoalan lingkungan hingga hingga kesejahteraan masyarakat dan kepentingan Luwu Timur.

Dukungan terhadap keinginan Gubernur Sulawesi Selatan juga tidak sedikit. Diantaranya oleh Ketua Umum BPP KKLR, Arsyad Kasmar, S.H yang memandang bahwa keberadaan PT. Vale selama ini belum memberi kontribusi yang memadai bagi masyarakat Luwu Raya. Hampir senada oleh Yang Mulia Datu Luwu juga mengapresiasi pandangan Andi Sudirman Sulaiman dengan catatan bahwa pengalihan pengelolaan tambang nikel di Luwu Timur harus dilakukan dengan cara elegan dan sesuai aturan yang ada.

Juga terdapat pandangan yang lain atas masa depan pengelolaan tambang nikel di Luwu Timur. Diantaranya oleh Asri Tadda, Direktur The Sawerigading Institut yang melihat pokok masalah dalam relasi PT. Vale dengan masyarakat Luwu Timur yang memang belum maksimal. Ini didasarkan pada kontribusi langsung perusahaan di luar dari pemenuhan kewajiban menurut undang-undang. Misal pada keberpihakan PT. Vale bagi kemajuan pendidikan masyarakat setempat, serta bagi perbaikan kesehatan masyarakat yang dinilainya belum memadai. Sejatinya kata Asri, PT. Vale masih menambah alokasi pembiayaan korporasi tersebut untuk pendidikan warga Luwu Timur dari tingkat SD hingga S3. Demikian juga dalam pembiayaan masyarakat melalui talangan BPJS Kesehatan. Kritik terhadap Vale juga
disampaikan terkait pengelolaan lahan konsesi, dari 118 Ha sementara yang terkelola baru 8%. Artiya, PT. Vale sebaiknya sudah harus membuka diri agar konsesi lahan yang luas tersebut juga dapat dikelolah oleh pemain lainya di sektor tambang. Dengan cara seperti ini, maksimalisasi pengelolaan tambang nikel di Luwu Timur bisa dilakukan. Selain itu, juga memberi ruang bagi pengusaha lokal, regional dan nasional berperan di sector ini.

Integrasi Kepentingan

Pertanyaan berupa nikel Luwu Timur untuk siapa ?, sesungguhnya harus menemukan formula baru jika merujuk pada kontroversi cara pandang yang berkembang belakangan ini. Terkesan jika keberadaan PT. Vale tidak lagi sepenuhnya memperoleh kepercayaan dari sebagian pihak terkait. Ada kelalaian, kekurangan dan keterbatasan yang menyertai perjalanan perusahaan ini selama memperoleh konsesi dari pemerintah RI.

Selain pandangan yang telah dikemukakan Gubernur Sulawesi Selatan berupa minimnya kontribusi perusahaan terhadap penerimaan daerah, masih rendahnya keberpihakan korporasi atas kepentingan dasar masyarakat Luwu Timur seperti yang dikemukakan Asri Tadda, juga telah mengemuka pada Juni tahun 2021 tentang 11 (sebelas) isu yang disampaikan oleh Bupati Luwu Timur. Dari sebelas isu tersebut diantaranya adalah status hak pengelolaan bendungan Larona, divestasi saham PT. Vale, Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) perusahaan, pemberdayaan kontraktor lokal, serta penempatan putra daerah dalam posisi strategis perusahaan.

Kelalaian lain terletak pada kebijakan pemerintah berupa responnya yang rendah atas dinamika dan perkembangan tambang nikel. Lingkungan strategis sector tambang menunjukkan jika terdapat pergeseran para pelaku di sektor ini jika dibanding situasi dan kondisi pada 25 hingga 30 tahun yang lalu. Ketika itu pemain di sektor tambang masih boleh dihitung jari, termasuk dari penambang lokal. Sementara perkembangan kekinian menunjukkan jika perusahaan-perusahaan tambang baik dari luar maupun PMDN sudah mulai marak. Artinya, penguasaan atas teknologi dan manajemen tambang nikel sudaj jauh berbeda dengan kondisi di masa lalu, tidak lagi hanya PT. Vale dan lainnya, melainkan juga perusahaan-perusahaan nasional yang memang harus diberi kesempatan untuk berperan di
sektor ini.

Kelalaian, dan kekurangan yang melekat dalam perjalanan keberadaan PT. Vale juga tidak cukup menjadi alasan untuk melepaskan kontrak karya dari perusahaan ini. Seperti misalnya solusi yang ditawarkan oleh Gubernur Sulawesi Selatan agar pengelolaan tambang nikel di Luwu Timur diserahkan saja ke Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan dan Pemkab Luwu Timur melalui perserodanya. Gagasan ini disangsikan oleh banyak pihak, mengingat kemampuan perseroda yang sangat minim dalam modal, pengalaman, teknologi, jejaring dan keterbatasan lainnya. Gagasan ini dinilai oleh sebagian pihak sangat beresiko bagi nasib para pekerja PT. Vale, mitra bisnisnya, dan yang paling fundamental terhadap keberlanjutan pengelolaan tambang nikel Luwu Timur yang terbilang sudah sangat memadai. Karena itu dibutuhkan cara yang lebih akomodatif bagi keberlanjutan pengelolaan tambang tersebut ke depan.

Cara tersebut sebaiknya didudukkan dalam konteks perundang-undangan dan pertimbangan locus dari sumber daya alam nikel ini. Terhadap hal dimaksud ada 2 (dua) obyek yang sebaiknya dibedakan penanganannya. Pertama terkait dengan 3 (tiga) blok yang telah dilepaskan PT. Vale, dan kedua terhadap keberlanjutan kontrak karya atas lahan yang masih dalam konsesinya PT. Vale.

Terhadap blok yang dilepas tersebut terbuka peluang bagi BUMN, swasta, dan BUMD. Persoalannya kemudian bahwa yang memiliki kemampuan manajemen dan teknologi di sektor tambang nikel masih terbatas pada sebagian BUMN dan swasta. Sementara BUMD Pemprov Sulawesi Selatan dan Pemkab Luwu Timur masih jauh dari performa kelayakan perusahaan tambang.

Namun, atas nama kepentingan masyarakat daerah yang direpresentasi oleh Pemerintah Daerah yang operasionalnya melalui BUMD, maka keberadaan BUMD ini harus masuk di dalam pengelolaan blok eks PT. Vale tersebut. Pelibatannya tentu sebagai mitra BUMN atau swasta yang akan mendapat kesempatan mengelola blok yang telah dilepas itu. Dalam kemitraan yang demikian, juga dapat memberi ruang bagi keikut sertaan pengusaha lokal Luwu Raya. Ini dimaksudkan untuk membuka jalan bagi transformasi teknologi dan manajemen untuk penguasaha lokal yang telah menjadi kelalaian dalam 50 tahun mengelola tambang Luwu Timur.

Sedang terhadap lahan yang masih dalam kontrak karya PT. Vale, tampaknya masih harus dilanjutkan (versi Pemerintah Pusat dan masyarakat lokal Luwu Timur). Catatannya bahwa pola kepemilikan dan tatakelolah yang dilakukan selama ini sudah harus mengalami pembaharuan.

Setidaknya hal tersebut terkait dengan penerapan kebijakan divestasi yang harus melibatkan Pemerintah Daerah (Pemprov Sul Sel dan Pemkab Lutim). Juga bagi swasta regional. Selain itu, PT. Vale sebaiknya juga telah membuat perencanaan pelepasan tambahan blok yang harus dilepas, dan dibuka kepada publik.

Kedua bentuk pembaharuan di atas pada dasarnya dimaksudkan agar keikut sertaan pemerintah daerah dapat memperbesar kapasitas viskalnya dalam merespon berbagai masalah publik yang meningkat dari waktu ke waktu. Sedang perencanaan dan tambahan atas blok yang harus dilepas dapat menjadi pemicu bagi akselerasi pemanfaatan potensi nikel yang ada, dan memperluas akses masyarakat bagi pemanfaatan sumber daya tambang yang dalam waktu setengah abad hanya menjadi terbatas dikelolah oleh PT. Vale. (*)

  • Bagikan