SENGKARUT PENDIRIAN RUMAH IBADAT DI INDONESIA (MENCERMATI KASUS PENDIRIAN GEREJA HKBP MARANATHA CILEGON BANTEN)

  • Bagikan

Oleh: Faisal, SH

Analis Hukum Ahli Muda Kantor Kementerian Agama Kota Palopo

UNDANG-UNDANG Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) telah meletakkan kerangka dasar jaminan atas kemerdekaan memeluk Agama, keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta jaminan kemerdekaan dan kebebasan untuk beribadat menurut Agama dan kepercayaannya tersebut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945 yang menyebutkan (1) “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. dan (2) “ Negara menjamin kemerdekaan tiap­tiap penduduk untuk memeluk Agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut Agamanya dan kepercayaannya itu.”

Sebagai negara dengan ratusan juta warga negara yang berbeda latar belakang dan beragam suku bangsa dan Agama, mengharuskan Pemerintah untuk membuat suatu sistem pengelolaan keragaman tersebut dalam suatu instrument  hukum berupa aturan-aturan tertulis guna menjaga, mengatur dan menjamin hak konstitusional warga negaranya dan juga sebagai dasar penegakan hukum jika terjadi pelanggaran terhadap hak konstitusional tersebut.

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 9 dan nomor 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, dirumuskan guna mengatur terbangunnya harmonisasi dalam interaksi antar umat beragama dan intra umat beragama sehingga dalam interaksi tersebut tidak terjadi persinggungan kepentingan dan terbangun saling pengertian yang dilandasi semangat kebersamaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun harus disadari bahwa penyusunan regulasi tersebut dalam hal ini Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 9 dan nomor 8 tahun 2006 perlu dilakukan analisis dan evaluasi guna menyelaraskan aturan dan / atau menemukan kekosongan aturan akibat sudah tidak sesuainya peraturan yang ada terhadap dinamika perkembangan kebutuhan hukum masyarakat.

Problem pendirian rumah ibadat seperti pada kasus yang terjadi di Cilegon Banten pada tanggal 7 September 2022, dimana sekelompok orang menolak pembangunan rumah ibadat Gereja HKBP Maranatha dilingkungan Cikuasa, Kelurahan Geram, Kecamatan Grogol Kota Cilegon Banten, yang mana penolakan tersebut turut ditanda tangani oleh Walikota dan Wakil Walikota Cilegon, Banten. Penolakan tersebut dilakukan dengan didasarkan kepada Surat Keputusan (SK) Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975 tertanggal 20 maret 1975 tentang penutupan gereja atau tempat jamaah bagi Agama kristen dalam daerah Kabupaten Serang (sekarang Cilegon), landasan Surat Keputusan Bupati tersebut kemudian menjadi problem ketika dicermati sebagai berikut :

  1. Bahwa regulasi tersebut diterbitkan pada saat komposisi penduduk muslim daerah Cilegon sebesar 99%, sebagaimana disebutkan pada konsideran menimbang pada SK Bupati dimaksud. Sementara situasi kota Cilegon sekarang sudah berubah. Berdasarkan data sensus BPS tahun 2010, kompisisi umat Kristen di Cilegon telah mencapai 16.528.513, sementara umat Katolik mencapai 6.907.873. Jumlah tersebut setara dengan 9,86%. Sementara komposisi umat nonmuslim secara keseluruhan mencapai 12,82%,”
  2. Bahwa SK Bupati tahun 1975, diterbitkan dalam konteks merespon Perguruan Mardiyuana sebagai bangunan, bukan rumah ibadat. Sementara pada waktu itu, Perguruan Mardiyuana dipergunakan sebagai gereja. Oleh karenanya, penganut Agama Kristen diarahkan untuk menunaikan ibadat di gereja-gereja yang ada di Kota Serang.
  3. Bahwa konsideran menimbang SK Bupati tahun 1975, merujuk pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1/BER/mdn-mag/1969 yang keberadaannya sudah dicabut dan digantikan dengan Peraturan Bersama  Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 9 dan nomor 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Dalam hal ini ada asas hukum, “lex posterior derogat legi priori”, yakni hukum yang terbaru mengesampingkan hukum yang lama.

(Sumber data https://www.kemenag.go.id/read/kemenag-jika-syarat-pembangunan-rumah-ibadat-cilegon-terpenuhi-kepala-daerah-harus-memfasilitasi-01xrp).

Merujuk kepada asas hukum sebagaimana pada poin ke-3, maka rujukan pendirian rumah ibadat yang harus didasari dalam kasus ini adalah Peraturan Bersama  Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 9 dan nomor 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Dalam peraturan bersama ini diatur mengenai tugas kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, yang salah satunya  adalah menerbitkan IMB rumah ibadat oleh Bupati/Walikota, dengan mekanisme dan persyaratan yang diatur dalam pasal 13 sampai dengan pasal 17. Persyaratan dimaksud yakni persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung serta persyaratan khusus yaitu daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (Sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai tingkat batas wilayah dan dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh Lurah/Kepala Desa, rekomendasi tertulis Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/Kota dan Rekomendasi tertulis FKUB Kabupaten/Kota.

Permasalahan di Cilegon Banten bukanlah permasalahan baru, namun ibarat fenomena gunung es, permasalahan serupa terjadi di banyak tempat di Indonesia namun tidak muncul kepermukaan. Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah  factor peraturan Perundang-undangan yang sudah tidak mampu mengcover dinamika masyarakat. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006 harus dinaikkan level peraturannya, misalnya pada tingkat Peraturan Presiden. Demikian juga subtansi muatan dan/atau ruanglingkup peraturan tersebut perlu dipertegas dan diperluas sehingga dapat mencakup permasalahan-permasalahan keagamaan kekinian, bukan hanya sekedar urusan rumah Ibadat.

Faktor berpengaruh lainnya adalah tingkat pemahaman akan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya Peraturan Bersama Menteri tersebut. Masyarakat sebagai calon pengguna rumah ibadat belum sadar sepenuhnya tentang konteks peraturan terkait sehingga mekanisme pengurusan pendirian rumah ibadat sering terabaikan, proses pengurusan sering terkendala oleh kesalahan administratif atau terkait pemenuhan persyaratan. Hal tersebut diperparah oleh pemahaman dan penafsiran aparat pemerintah terkait, misalnya pada tingkat kelurahan/desa yang hanya mengetahui syarat khusus pendirian rumah ibadat yakni syarat 90 dan syarat 60, namun tidak memahami secara komprehensif dan menyeluruh tentang peraturan tersebut sehingga dalam pengambilan keputusan dapat merugikan bahkan mengabaikan Hak masyarakat pemeluk Agama yang telah dijamin oleh Konstitusi UUD 1945 dan Peraturan Perundang-undangan lainnya.

Persoalan seperti diatas tergambar dalam kasus Cilegon Banten, penjelasan Walikota Cilegon dan penjelasan pihak panitia pembangunan gereja HKBP Maranatha Cilegon sebagaimana dikutip dari https://regional.kompas.com/read/2022/09/08/192205178/duduk-perkara-penolakan-pembangunan-gereja-di-cilegon-banten, terlihat bahwa ada dugaan kelalaian pemerintah setempat dalam menangani persoalan ini, mengingat bahwa pihak pemohon telah mengajukan permohonan sejak April 2022 kepada Lurah setempat untuk validasi jumlah jemaat calon pengguna rumah ibadat namun hingga munculnya persoalan ke media massa belum di tuntaskan dengan alasan yang tidak jelas.

Terkait hal ini Kementerian Agama telah mengingatkan kepada Walikota Cilegon untuk menangani persoalan ini dengan merujuk kepada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006. Pemerintah setempat dalam hal ini Bupati/Walikota dibantu Kepala Kantor Kementerian Agama harus melakukan musyawarah penyelesaian perselisihan dengan melibatkan FKUB Kabupaten/Kota, namun jika musyawarah ini juga tidak menyelesaikan persoalan, maka penyelesaian perselisihan harus dilakukan melalui Pengadilan setempat.

Persoalan ibadah dan rumah ibadah pada hakikatnya merupakan hal yang sangat subtantif dan personal yang lahir sebagai kodrat manusiawi sehingga didalam pengaturannya dibutuhkan kepekaan baik sebagai pemerintah maupun sebagai umat beragama. Dalam konteks berbangsa dan bernegara maka kita perlu mengedepankan peraturan perundang-undangan sebagai pedoman kita, Negara melalui instrument hukum wajib menjaga, melindungi dan memfasilitasi tersedia dan terjaminnya hak seluruh masyarakat warga negara yang secara nyata dan sungguh-sungguh membutuhkan tersedianya sarana untuk melaksanakan ibadah menurut Agama dan kepercayaannya, yang mana kebutuhan tersebut adalah Hak Warga Negara yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun dan oleh siapapun yang telah dijamin oleh Konstitusi UUD 1945. Demikian.

Palopo, 18 September 2022

  • Bagikan