Pencopotan Hakim MK Aswanto Langgar UU, DPR di Luar Nalar dan Dianggap Ugal-ugalan

  • Bagikan

Hakim Konstitusi, Aswanto.

PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, JAKARTA-- DPR mendadak mencopot Prof Aswanto sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Posisinya kemudian digantikan oleh Sekjen MK Guntur Hamzah.

Keputusan ini pun mengundang banyak tanya. Direktur Pusat Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai bahwa penggantian itu adalah inkonstitusional.

Sebab, berdasarkan UU Mahkamah Konstitusi Nomor 7 tahun 2020, Aswanto berhak menjabat hingga 2029.

"Saya pikir pergantian ini tidak konstitusional, melanggar UU dan dipaksakan. Pak Aswanto berdasarkan UU MK yang baru berhak menjabat hingga 2029," kata Feri saat dihubungi, Jumat (30/9) seperti yang dilansir kumparan.

Feri bahkan menyebut, keputusan DPR ini ugal-ugalan serta di luar nalar.

"Upaya DPR ini betul-betul di luar nalar, terutama jika bicara Pasal 24 UUD 1945, di mana dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka," kata dia.

Merdeka yang dimaksud Feri adalah bebas dari campur tangan politisi, dari kekuasaan yang lain..

Feri pun mempertanyakan dalih evaluasi yang dilakukan oleh DPR. Kata dia, bagaimana mungkin kinerja-kinerja hakim konstitusi dievaluasi oleh pihak yang berperkara seperti DPR.

"Dengan kemudian proses evaluasi ini menjadi janggal, bukankah proses evaluasi yang dilakukan oleh orang yang terlibat dalam perkara di MK tidak bisa dilakukan karena membuat hakim tidak merdeka, punya kaitan. Jadi memang ini alasan yang tidak benar," tambahnya.

Feri pun menganggap DPR salah kaprah terhadap UU MK yang baru. Pun salah memahami atau sengaja tak paham soal Putusan MA Nomor 96/PUU-XVIII/2020.

Kata dia, putusan itu hanya bersifat konfirmasi. Hanya pemberitahuan soal perpanjangan masa jabatan hakim.

"DPR bilang, ini sesuai dengan UU MK yang baru, UU MK yang mana? yang baru kan 7 2020, tidak dikenal di sana proses begini. Yang terjadi berdasarkan putusan MK adalah upaya konfirmasi yang sifatnya pemberitahuan yang menyatakan bahwa Hakim yang bersangkutan tidak akan melalui proses pergantian karena UU MK yang baru telah memperpanjang masa jabatannya hingga 2029," pungkas Feri.

Polemik ini berawal ketika adanya surat dari MK kepada DPR. Isinya ialah konfirmasi kelanjutan masa jabatan Hakim Konstitusi usulan DPR buntut berlakunya UU baru MK.

Berikut 3 Hakim Konstitusi yang berasal dari usulan DPR sebagaimana tercantum dalam surat MK:

  1. Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S.

Berdasarkan UU 24 Tahun 2003 menjabat mulai 1 April 2013 s/d 27 Maret 2023

Berdasarkan UU 7 Tahun 2020 menjabat sampai dengan 03 Februari 2026

  1. Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si., DFM.

Berdasarkan UU 24 Tahun 2003 menjabat mulai 21 Maret 2014 s/d 21 Maret 2024

Berdasarkan UU 7 Tahun 2020 menjabat sampai dengan 21 Maret 2029

  1. Dr. Wahidudin Adams, S.H., M.H.

Berdasarkan UU 24 Tahun 2003 menjabat mulai 21 Maret 2014 s/d 21 Maret 2024

Berdasarkan UU 7 Tahun 2020 menjabat sampai dengan 17 Januari 2024

Juru bicara MK, Fajar Laksono, menyebut MK mengirimkan surat kepada DPR tanggal 21 Juli 2020, perihal adanya gugatan ke MK terkait masa jabatan hakim MK yang kemudian diputus dalam Putusan MK Nomor 96/PUU-XVIII/2020.

Dalam pertimbangan putusan, MK berpendapat perpanjang masa jabatan hakim itu harus dipahami semata-mata sebagai aturan peralihan yang menghubungkan agar aturan baru dapat berlaku selaras dengan aturan lama.

Namun, untuk menegaskan ketentuan peralihan tersebut tidak dibuat untuk memberikan keistimewaan terselubung kepada orang tertentu yang saat ini sedang menjabat hakim konstitusi, maka mahkamah berpendapat diperlukan tindakan hukum untuk menegaskan pemaknaan tersebut.

Anggota Komisi III DPR dari PKS Nasir Djamil menilai ada kesalahpahaman DPR dalam membaca surat dari MK. Dalam suratnya, MK meminta konfirmasi kepada Komisi III DPR soal 3 hakim MK usulan DPR yang menurut UU MK baru, masa jabatannya dibatasi masa tugasnya 15 tahun atau berusia maksimal 70 tahun. Namun, tindak lanjut dari DPR ialah mencopot Aswanto.

"Kalau merujuk kepada UU tentang MK yang terbaru maka apa yang dilakukan oleh DPR itu patut dievaluasi," kata dia.

Namun pendapat berbeda disampaikan Anggota Komisi III Fraksi Gerindra, Habiburokhman. Ia menilai tidak ada kekeliruan dari DPR dalam menafsirkan surat yang dikirimkan oleh MK minggu lalu.

"Enggak, memang ada dialog, kan pada akhirnya diputuskan, itu akhirnya menjadi keputusan," ujar Habiburokhman tanpa merinci lebih jauh.

Sementara Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto (Bambang Pacul) mengungkap alasan pergantian Hakim Konstitusi Aswanto sebagai usulan DPR. Menurutnya, Komisi III kecewa dengan kinerja Aswanto.

"Tentu mengecewakan dong. Ya gimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia, dia wakilnya dari DPR," kata dia.

Menurut Pacul, sebelum ada pergantian itu, Komisi III menerima surat dari MK soal hakim-hakim yang diusulkan DPR. Rapat internal Komisi III lalu memutuskan mengganti Aswanto dengan Sekjen MK Guntur Hamzah sebagai hakim MK dan disahkan dalam Rapat Paripurna, kemarin.

Keputusan menunjuk Guntur sebagai Hakim MK dari usulan DPR yang baru diambil oleh Komisi III DPR dalam rapat internal, Rabu (28/9) dan Kamis (29/9), sebelum diketok dalam rapat paripurna DPR pada Kamis siang. (Net/pp)

  • Bagikan