H. Budiman: Tempatkan Pemotongan Zakat, Infaq, Sadaqoh Zakat Itu, Dalam Perspektif Agama

  • Bagikan
Sekertaris PPP Kota Palopo yang juga Anggota DPRD Palopo Periode 2014-2019, H Budiman ST

PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID – Pemotongan pendapatan atau gaji para PNS Pemerintah Kota Palopo yang diklaim sebagai bentuk Zakat, Infaq dan Sadaqah (ZIS) dan pada akhirnya akan dikelola Badan Amil Zakat Kota Palopo, mendapat attension dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kota Palopo.

Partai berlambang Kab’ah ini menyoroti potongan yang nilainya disebutkan sebesar 2,5%, dan berlaku bagi seluruh PNS Kota Palopo yang beragama Islam, sebab membuat galau para PNS terseBut.

“Kami menangkap adanya kegalauan di kalangan PNS yang pendapatannya dipotong. Di pesta pernikahan, di acara kematian, di acara arisan keluarga, di warung-warung kopi, bahkan seusai salat jamaah di masjid, pemotongan ini biasa kami dengar diperbincangkan. Dan tidak sedikit yang mengeluhkan gajinya akan habis terpotong. Karena memang sebelumnya sudah jauh lebih dulu memiliki potongan di bank. Tentu sebagai salah satu alat politik di daerah, kami sangat mengattensi fenomena ini, sebagai salah satu bentuk kontrol dan kepedulian terhadap dinamika di Kota Palopo,” sebut Sekertaris PPP Kota Palopo yang juga Anggota DPRD Palopo Periode 2014-2019, H Budiman ST.

Menurutnya ada beberapa substansi yang menjadi inti perbincangan public atas pemotongan ini. Pertama penggunaan kata “zakat” yang menurut syariat Islam ada haul dan nishabnya.

Pada konteks ini, ada beragam pendapat di kalangan PNS. Ada kelompok yang berpendapat bahwa bagaimana mungkin mereka wajib mengeluarkan zakat penghasilan jika gajinya saja, meskipun tanpa dipotong bank, belum cukup untuk memenuhi nishab zakat penghasilan.

Ada pula yang berpendapat yang menyebut meskipun gajinya sudah berada di atas angka 6 jutaan, tapi karena sudah dipotong oleh bank, jumlah pendapatan yang bisa mereka bawa pulang sebagai nafkah keluarga rutin setiap bulannya.

Menurut kelompok ini, tidak lagi memenuhi nishab zakat penghasilan.

Budiman mengingatkan sebagaimana informasi dari laman resmi Baznas, seseorang dikatakan sudah wajib menunaikan zakat penghasilan apabila penghasilannya telah mencapai nishab zakat pendapatan sebesar 85 gram emas per tahun atau jika dalam per bulan pendapatannya Rp 6.607.748, (Enam juta enam ratus tujuh ribu tujuh ratus empat puluh delapan rupiah) per bulan.

Hal ini dikuatkan dalam SK BAZNAS Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Nisab Zakat Pendapatan dan Jasa.
“Dalam laman resmi https://baznas.go.id/zakatpenghasilan tersebut, jelas ditulis bahwa mengeluarkan zakat penghasilan sebesar 2.5% menjadi wajib jika penghasilan setiap bulannya telah melebihi nilai nishab bulanan” tegas Budiman.

“Jadi kami menangkap persoalan pertama disini adalah soal terpenuhi atau tidaknya nishab zakat penghasilan. Ini karena dikatakan sebagai zakat dan ada angka 2,5% yang disebut. Dan zakat dalam syariat Islam sudah diatur,” urai Budiman seraya mengingatkan bahwa tentang haul zakat, jika didasarkan pada Hadist Riwayat Ibnu Majah No 1792 dan Hadist Riwayat Abu Daud No 1571 jelas disebutkan bahwa Rasullah Sallalahualaihiwasallam pernah bersabda bahwa tidak ada zakat pada harta sampai harta itu berlalu setahun lamanya.

Ia menambahkan bahwa adalah Dr Yusuf Al Qaradawi-lah sebagai tokoh Islam yang mempopulerkan zakat profesi atau pendapatan ini dan itupun di Amerika yang menerapkan zakat penghasilan secara bulanan dengan tujuan memberi kemudahan, bagi warga Islam Amerika yang berpendapatan tinggi membayar zakatnya. Konteks ini tentu jauh berbeda dengan kondisi para PNS Kota Palopo.

Untuk aspek ini Budiman menyarankan, perlu ada duduk bersama antara para PNS dan Baznas Kota Palopo, tokoh tokoh agama, serta organisasi keagamaan Islam lain seperti Nahdatul Ulama, Majelis Ulama Indonesia dan Muhammadiyah, serta elemen lain yang sekiranya terkait untuk membahas dan membicarakan hal ini. Tapi syaratnya dilakukan secara terbuka dan partisipatif terutama bagi seluruh PNS, sebab pendapatan mereka lah yang dipotong.

“Atau jika tidak, organisasi-organisasi keagamaan serta tokoh-tokoh agama juga harus tampil dan mengedukasi public tentang ZIS dalam perspektif aqidah dan syariat Islam. Ini kan gaji para PNS yang dipotong. Artinya ini duit mereka. Jadi menurut saya, mereka berhak dan sangat wajar jika mendapat kejelasan soal haul dan nishab atas zakat penghasilan ini dari perspektif agama. Kenapa harus perspektif agama?Yah karena ini kata zakat yang digunakan, dan zakat dalam Islam sudah diatur jelas. Dalam koteks ini, syariat Islamlah yang harus ditempatkan sebagai aturan tertinggi dan dan utama untuk ditegakkan, kemudian regulasi duniawi lainnya. Karena ini zakat” tegas Budiman berulang kali, seraya menyarankan perlunya upaya-upaya bijak yang menempatkan aqidah dan syariat agama Islam sebagai yang utama dalam konteks ini.

Ia mengingatkan hal tersebut penting dilakukan sebelum kebijakan ini lebih jauh dan lebih merisaukan para PNS Kota Palopo. Sebab bukan tidak mungkin jika terus bergulir dan menggelinding tanpa sebuah upaya penyelesaian, fenomena ini akan menimbulkan persoalan social lain. Apalagi jika pada akhirnya menimbulkan un-trust atau ketidakpercayaan bahkan antipati social lain.

“Dan itu sangat potensial terjadi, jika hal semacam ini terus berlanjut tanpa sebuah solusi” tegasnya mengingatkan.

Persoalan kedua yang ia tangkap dari pemotongan 2.5% ini di kalangan PNS, adalah transparansi dan keterbukaan atas penggunaan dana. Wacana ini menurutnya berkembang pada kelompok PNS yang sepakat dengan pemotongan 2.5% tersebut. “Kan saya amati ada dua kelompok pendapat. Ada yang mengaku galau, tapi ada pula yang setuju tapi dengan syarat dan menuntut transparansi serta akuntabilitas penggunaan dana,” kata Budiman.

Anggota DPRD Kota Palopo periode 2013-2018 ini menyebut, transparansi dan akuntabilitas yang ia maksud dan ia tangkap dari dinamika pemotongan ini di kalangan PNS adalah, keinginan para PNS mendapatkan informasi atas seluruh uang masuk dan daftar rencana maupun belanja yang dilakukan dengan menggunakan dana hasil pemotongan 2.5% tersebut, melalui publikasi setiap bulan, atau setiap kali uang masuk. Baik melalui media cetak atau media social lain.

Menurut Budiman, ini wajar, sebab memang menggunakan duit para PNS, bukan duit daerah. Itu juga sekaligus sebagai bentuk pengawasan dan control social terhadap pengelola dana zakat, yang bersumber dari pemotongan 2.5%. “Ada kelompok yang pendapatnya seperti ini. Mereka setuju, tapi setiap bulan, atau setiap kali masuk hasil pengumpulan dana 2.5% itu, penggunaan dan penerima manfaatnya dipublish secara luas. Terutama bagi kalangan PNS, sebagai pemberi amanah. Kelompok ini berharap dan ingin memastikan bahwa penggunaan dana 2,5% mereka benar-benar disalurkan ke yang berhak. Bukan dan tidak untuk membiayai hal yang sifatnya lebih banyak pada aspek operasional atas lembaga pengelolanya. Karena bukan itu yang menjadi nawaitu atau niat mereka, ketika setuju dengan pemotongan 2,5% itu,” beber Budiman.

Oleh karena itu Budiman menyarankan agar fenomena ini sebelum lebih jauh diterapkan, agar dibicarakan dan didiskusikan lebih dalam lagi, secara terbuka dan transparan serta partisipatif dengan semua pemangku kepentingan terkait. Termasuk kesediaan pengelola zakat dalam memenuhi harapan dan keinginan para PNS pemberi amanah 2,5% tersebut setiap bulannya.

“Ini menjadi catatan penting. Karena jika tidak, lingkungan sosial biasanya akan merespon secara kurang bijak, jika persoalan ini tidak ditanggapi dan tidak diselesaikan namun justru bergulir liar pada ruang atau media social, yang justru akan menjadi polemic di mayarakat. Kepercayaan dan sanksi social public biasanya akan muncul sebagai respon atas masalah yang tidak terselesaikan. Islam sudah sempurna. Tidak lebih dan tidak kurang. Mari kita ikuti dan tempatkan persoalan ini dalam kerangka akidah dan syariat agama kita. Kami sampaikan ini karena kami di Partai Persatuan Pembangunan peduli dengan dinamika Kota Palopo,” ujar Budiman seraya menutup wawancaranya, bersamaan dengan azan Salat Magrib.(idr)

  • Bagikan