Ruang Sipil Menyempit di UU KUHP, Rentan Praktik Kriminalisasi

  • Bagikan
Demo menolak pengesahan RKHUP di kompleks DPR, Jakarta. (Dery Ridwansah/JawaPos.com)

PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, JAKARTA-- Reaksi terus bermunculan usai pengesahan RKUHP. Respon negatif bermunculan. Salah satunya potensi meningkatnya ancaman terhadap ruang sipil. Kekhawatiran itu muncul dari analisis pemberitaan dalam kurun 2020–2021.

Sepanjang rentang waktu tersebut, ancaman terhadap penyempitan ruang sipil cenderung meningkat. ”Ditambah dengan disahkannya KUHP dengan sejumlah pasal kontroversialnya,” ungkap Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo di Jakarta, 7 Desember 2022.

Kunto menegaskan, KUHP tersebut berpotensi membelenggu kebebasan berpendapat. Sehingga berakibat sistem demokrasi di Indonesia semakin mundur. Dia mengatakan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi.

Namun, kebebasan menyampaikan pendapat malah dibelenggu.

Dengan produk hukum yang lama saja, lanjut Kunto, banyak masyarakat yang merasa dikriminalisasi. Dia khawatir, dengan KUHP tersebut, upaya kriminalisasi justru semakin banyak. Dari pengamatannya selama dua tahun terakhir, praktik kriminalisasi banyak muncul pada persoalan tambang dan kemasyarakatan.

Dalam forum yang sama, pegiat HAM Sekolah Tinggi Hukum Jentera Asfinawati mengkhawatirkan setelah keluarnya KUHP tersebut, Indonesia menjadi semakin seperti masa Orde Baru (Orba). ”Zaman Orba dan sekarang tidak ada bedanya,” cetus dia.

Asfinawati mencontohkan aksi buruh selama masa Presiden Joko Widodo. Hanya satu kali yang bisa digelar di depan istana. Sisanya, sampai saat ini hanya mentok di Patung Kuda yang berjarak hampir 1 km dari istana.

KUHP tersebut, kata Asfinawati, juga membuat kerja jurnalis menjadi terancam. Tiga tahun lagi, ketika aturan KUHP efektif berjalan, jurnalis bisa terkena pasal pidana karena pemberitaannya. Ada pasal yang menyebutkan, apabila informasi belum pasti, berlebih-lebihan, menyebabkan kerusuhan, bisa terkena pidana.

Asfinawati menegaskan, di dalam UUD 1945 disebutkan, Indonesia berdasarkan kedaulatan rakyat. Jadi, sebelum urusan pemerintah, kedaulatan rakyat harus diutamakan.

Secara terpisah, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto menyatakan bahwa tugas DPR sudah selesai dengan disahkannya RKUHP menjadi KUHP. Bola panas kini dia serahkan ke pemerintah.

DPR meminta masyarakat yang menolak KUHP untuk mengkaji, meneliti, dan membaca satu per satu pasal atau ketentuan di dalamnya. Bambang Pacul, sapaan akrab Bambang Wuryanto, mengatakan, pihaknya tidak pernah menyatakan bahwa RKUHP merupakan pekerjaan yang sempurna. Karena itu adalah produk dari manusia. ”Jadi, tidak akan pernah sempurna,” terangnya.

Jika ada yang menemukan kekurangan yang mengganggu, tidak sepakat dengan pasal yang ada, menurut Bambang, mereka bisa menempuh jalur hukum. Yakni datang ke MK untuk mengajukan uji materi. ”Tidak perlu demo, tempuh jalur hukum saja,” tuturnya.

Bambang menambahkan, RKUHP yang sudah disahkan itu akan menjadi rujukan dalam penegakan hukum.

Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Yasonna H. Laoly menegaskan bahwa pengesahan RKUHP merupakan momen bersejarah dalam penyelenggaraan hukum pidana di Indonesia. Setelah bertahun-tahun menggunakan KUHP produk Belanda, saat ini Indonesia telah memiliki KUHP sendiri.

”Kita patut berbangga karena berhasil memiliki KUHP sendiri, bukan buatan negara lain. Jika dihitung dari mulai berlakunya KUHP Belanda di Indonesia tahun 1918, sudah 104 tahun sampai saat ini. Indonesia sendiri telah merumuskan pembaruan hukum pidana sejak 1963,” ungkapnya dalam keterangan tertulis kemarin.

Menurut Yasonna, produk Belanda tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi dan kebutuhan hukum pidana di Indonesia. Hal itu menjadi salah satu urgensi pengesahan RKUHP. Dia pun menegaskan bahwa KUHP yang baru disahkan telah melalui pembahasan secara transparan, teliti, dan partisipatif.

Yasonna mengakui bahwa perjalanan penyusunan RKUHP tidak selalu mulus. Pemerintah dan DPR sempat dihadapkan dengan pasal-pasal yang dianggap kontroversial. Misalnya pasal penghinaan presiden, pidana kumpul kebo, pidana santet, vandalisme, hingga penyebaran ajaran komunis. Namun, lanjut dia, pasal-pasal dimaksud telah melalui kajian berulang secara mendalam. (jp/pp)

  • Bagikan