MEMAKNAI HARI PERLAWANAN RAKYAT LUWU

  • Bagikan

* Oleh Dr. Abdul Talib Mustafa, M.Si (Waketum BPP KKLR)

Peristiwa 23 januari 1946 yang karena heroiknya pada masa itu kemudian dicatat dan dilestarikan untuk diperingati setiap tahun sebagai hari perlawanan Rakyat Luwu. Peringatan
hari bersejarah tersebut bagi masyarakat Luwu dijadikan sebagai momentum tersendiri yang
perayaannya dilaksanakan secara bergilir pada empat daerah, yakni Palopo, Luwu Timur, Luwu dan Luwu Utara.

Peringatan hari perlawanan Rakyat Luwu tersebut telah sampai pada rentang waktu 77 tahun, cukup lama. Namun tetap terabadikan di dalam sanubari dan perjalanan hidup
generasi baru yang sesungguhnya sama sekali tidak terlibat di dalam peristiwa bersejarah ini. Hal tersebut menunjukkan jika perjuangan Rakyat Luwu di masa lalu, memiliki dimensi yang melampaui batas ruang dan waktu. Karena itu, hari perlawanan Rakyat Luwu dapat diberi makna dalam persfektif masa lalu, masa sekarang serta persfektif masa depan.

Makna Sejarah

Apa yang dilakukan oleh Datu Luwu, para pejuang serta Rakyat Luwu, yang puncaknya terjadi pada 23 Januari 1946 merupakan sebuah tonggak sejarah yang maha penting. Harus dinyatakan demikian mengingat peristiwa tersebut membawa misi sejarah yang tidak hanya menjadi misi Rakyat Luwu sendiri, melainkan peristiwa itu membawa misi kebangsaan, yakni
mempertaruhkan kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.

Catatan sejarah nasional menyatakan bahwa pasca proklamasi kemerdekaan RI, ternyata keinginan untuk terus menjajah Indonesia oleh antek asing, belum juga padam. Invasi masih terus dilakukan di tempat-tempat tertentu seperti di Yogyakarta, Makassar dan juga di Kota Palopo.

Kota Palopo yang terlanjur berbalur semangat nasionalisme tentu tidak ingin tinggal diam melihat gelagat invasi itu. Andi Djemma sebagai Datu Luwu serta para pemuda pejuang Luwu baik yang tergabung dalam Barisan Soekarno Muda maupun organisasi pejuang lainnya kemudian mengorganisir diri dan Rakyat Luwu terutama yang bermukim di Palopo untuk melakukan gerakan aksi – kontra invasi.

Gerakan ini sesungguhnya mulai tampak jauh sebelum 23 Januari 1946, dan puncaknya terjadi ketika kota Palopo bernar-benar terbakar api. Ini adalah api yang nyata dan sekaligus
menunjukkan api yang membara dalam sanubari para perjuang Luwu ketika itu. Tentu peristiwa ini menelan korban baik jiwa, raga maupun harta benda Rakyat Luwu.

Namun pengorbanan tersebut tak pernah dihitung oleh Rakyat Luwu. Karena dibalik peristiwa itu terkandung nilai yang jauh lebih berharga. Peristiwa perlawanan Rakyat Luwu, menunjukkan bagaimana Andi Djemma dan Rakyat Luwu yang berdiri di belakangnya tetap
konsisten pada dukungan atas Indonesia Merdeka. Dengan kata lain bahwa peristiwa 23 Januari 1946 di Kota Palopo, merupakan refleksi dari sikap dan jati diri Pemimpin dan Rakyat Luwu dengan sikap tegak lurus atas apa yang telah diikrarkannya, yakni berdiri di belakang Republik Indonesia yang ketika itu masih tertatih tatih untuk bisa berdiri sebagai negara merdeka.

Makna Kekinian

Kini wilayah Luwu yang satu itu sudah berkembang karena modernisasi pemerintahan. Ada Luwu, Kota Palopo, Luwu Utara dan Luwu Timur. Masing-masing pemimpin daerah dan
masyarakatnya bergerak untuk kemakmurannya. Pada batas-batas tertentu polarisasi daerah ini menunjukkan pergerakannya sendiri. Malah sering mengesankan ada kompetisi di antara daerah-daerah itu.

Tak terhindar kemudian jika diantara daerah-daerah ini tampak kelebihannya di satu sisi, kemudian kekurangannya di sisi yang lain. Ada daerah yang berkemajuan pada suatu sektor, tetapi keteter di sektor yang lain. Demikian sebaliknya, ada daerah yang tertinggal pada satu bidang kehidupan, namun berkemajuan pada bidang kehidupan lainnya. Tergambar jika Luwu yang dulu bersatu ini, kini tumbuh dan bergerak pada empat arus administrasi
pemerintahan yang berbeda.

Dalam konteks yang demikian itu, peringatan Hari Perlawanan Rakyat Luwu menjadi penting dan relevan untuk situasi masa kini. Moment sejarah tersebut masih mengingatkan
seluruh perangkat pemerintahan dan masyarakat Luwu jika itu milik moyang mereka. Bukan hanya milik orang Luwu di Palopo, atau Wija To Luwu di Luwu, demikian juga bukan hanya warisan Wija To Luwu di Luwu Utara dan orang Luwu Timur saja. Dalam ungkapan lain bahwa peristiwa perlawanan Rakyat Luwu adalah warisan sejarah universal Wija To Luwu, dimana saja mereka berada.

Kepemilikan bersama atas warisan sejarah itu terejawantahkan pada upacara 23 Januari setiap tahun yang dilakukan secara bergantian itu. Semua pemerintah daerah dan masyarakatnya mendapat kesempatan yang sama secara bergilir. Lalu pada upacara
peringatan tersebut semua pemerintah daerah dan tokoh masyarakatnya diharap hadir, bergabung bersama dalam lautan manusia Wija To Luwu.
Dengan demikian hari peringatan Perlawanan Rakyat Luwu dapat dipandang sebagai hari penyatuan kembali Wija To Luwu. Hari dimana sesama Wija To Luwu duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Juga dapat dipandang sebagai hari berkumpulnya para Wija yang
mewarisi sejarah yang sama. Karena itu, ada baiknya pada setiap peringatan Hari Perlawanan Rakyat Luwu, ditumbuhkan rasa se nasib dan sepenanggungan, serta rasa sekemajuan dan sekeberadaban sesama Wija To Luwu.

Makna Ke Depan

Peringatan hari perlawanan Rakyat Luwu dari tahun ke tahun dapat dinyatakan selalu berhasil. Mengumpulkan banyak orang dengan upacara dan kegiatan yang meriah. Juga sering diselingi dengan kegiatan seni dan budaya yang mengesankan. Pada satu etafe upacara rutin tersebut sudah mencapai sasaran para pencetusnya, yakni menciptakan sarana berkumpulnya Wija To Luwu mengenang peristiwa heroik pendahulu mereka.

Akan lebih baik jika ke depan peringatan Hari Perlawanan Rakyat Luwu ini diberi muatan yang menjangkau kepentingan bersama Wija To Luwu ke masa yang akan datang. Upacara peringatan 23 Januari akan lebih bermakna ketika para Wija To Luwu bersimpuh bersama
menilai kembali apa yang telah dilakukan di waktu yang lalu. Kemudian membincangkan apa yang harus dilakukan bersama pada hari-hari berikutnya.

Sebaiknya para Wija To Luwu menanamkan sebuah kesadaran baru, jika di sebelah kepentingannya sendiri-sendiri, terdapat kepentingan bersama yang hanya bisa digapai dengan cara bersama pula. Kepentingan bersama itu tidak hanya sekedar membentuk
wilayah bersama yang disebut provinsi. Kepentingan bersama tersebut tidak sekedar mencita-citakan adanya Gubernur yang sama atau DPRD yang sama dalam wilayah Luwu Raya.

Melainkan kepentingan bersama tersebut lebih dari itu. Wija To Luwu sebaiknya bersilah bersama di hari Peringatan Perlawanan Rakyat Luwu untuk membincangkan perlawanan
mereka terhadap ketertinggalan, perlawanan bagi kebodohan sebagian saudara-saudara mereka, perlawanan atas kemiskinan yang masih melanda bagian tertentu atas bumi yang
diwariskan oleh Sawerigading, serta perlawanan atas berbagai bengkalai negeri yang tidak dapat diselesaikan secara sendiri-sendiri.

Karena itu, peringatan Hari Perlawanan Rakyat Luwu sepertinya menjadi desain sejarah para pejuang di masa lalu, bahwa mereka ingin meninggalkan sebuah episode sejarah yang akan menjadi tempat berkumpulnya para Wija To Luwu - para pelanjut pelaku sejarah itu. Dalam perkumpulan tersebut hendak direnungkan jasa-jasa para pahlawan, menjadi tempat
membagi suka dan duka, serta menjadi sarana bagi anak cucu Batara Guru, untuk melakukan urun rembug atas nasib yang menimpa negeri mereka, agar lebih berjaya seperti yang ditorehkan dalam catatan sejarah tentang kebesaran Luwu di masa lalu. (*)

  • Bagikan