IPMIL Raya UMI Desak Pemda di Tana Luwu, Beri Perhatian Khusus Terhadap Bencana Banjir

  • Bagikan

PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, MAKASSAR-- Ketua IPMIL Raya UMI Makassar, Adnan Prawansyah prihatin terhadap bencana alam banjir yang melanda sejumlah wilayah di Tana Luwu.

Ia mendesak Pemerintah Daerah (Pemda) di Tana Luwu agar memberikan perhatian khusus terhadap bencana banjir yang menjadi fenomena tahunan dan belum selesai hingga hari ini.

Melalui rilis, Adnan menjelaskan, Tana Luwu atau Luwu Raya yang sering dijuluki Bumi Sawerigading, adalah bagian dari warisan bersejarah yang kaya dari Kerajaan Luwu di Provinsi Sulawesi Selatan.
Secara administratif, wilayah ini terbagi menjadi empat kabupaten dan satu kota, masing-masing dengan pusat administrasi yang penting. Yakni Luwu dengan Ibu Kota Belopa, Kota Palopo, Kabupaten Luwu Utara dengan Ibu Kota Masamba, Kabupaten Luwu Timur dengan Ibu Kota Malili, dan Kabupaten Luwu Tengah atau Walenrang Lamasi (Walmas) yang sedang dalam proses pembentukan, dengan (calon) Ibu Kota di Walenrang.

Terletak secara strategis di bagian selatan Sulawesi, Tana Luwu menghadap ke Teluk Bone di sebelah timur dan berbatasan dengan Kabupaten Poso di Sulawesi Tengah di sebelah utara. Wilayahnya yang luas, mencapai sekitar 17.791 km², didiami oleh lebih dari 700.000 jiwa. Keberagaman geografisnya memberikan potensi ekonomi yang luas, terutama dalam sektor pertanian, peternakan dan perikanan.

Pertanian, peternakan dan perikanan, tiga hal yang menjadi penopang utama ekonomi, dengan tanah yang subur yang menghasilkan berbagai komoditas unggulan seperti kakao, kopi, padi, merica, cengkeh, udang, rumput laut, dan biji nikel. Dengan potensi alam yang melimpah seperti itu , wilayah ini telah menjadi kontributor signifikan terhadap perekonomian regional. Dengan prospek ekonomi yang menjanjikan untuk masa depan daerah Tana Luwu.

Harusnya begitu. Namun realitas sosial yang kemudian terjadi hari ini di Tana Luwu tidak demikian.
Bencana banjir di beberapa titik di Tana Luwu selalu menjadi hantu bagi masyarakat yang terdampak.
Belum lagi persoalan kebijakan regulasi yang seolah belum memihak kepada masyarakat.

Menilik bagaimana kondisi hari ini Tana Luwu. Sungai Pongkeru yg berada di Luwu Timur pada Januari kemarin merendam hampir 80 rumah warga diakibatkan karena meluapnya air di aliran Sungai Pongkeru.

Tidak hanya itu, di Luwu Utara sebelumnya diberitakan, sebanyak tujuh kecamatan di Luwu Utara terendam banjir, diantaranya Kecamatan Sabbang Selatan, Sabbang, Malangke, Malangke Barat, Baebunta Selatan, Sukamaju Selatan, dan Kecamatan Mappideceng.

Dari tujuh kecamatan itu terdapat 35 desa dan 58.614 warga yang terdampak. Banjir terjadi diakibatkan meluapnya Sungai Rongkong, Masamba dan Sungai Baliase.

Dan bahkan banjir yang juga melanda Kabupaten Luwu khususnya di Walmas, yang dipicu hujan lebat selama 10 jam hingga membuat tanggul sungai jebol serta meluapnya air merendam akses jalan dan pemukiman warga di dua dusun di Desa To'lemo dan dan satu dusun di Desa Bululondong di Kecamatan Lamasi.

''Berbicara terkait bencana alam tentu kita tak pernah tahu kapan datangnya hal ini. Namun bukan berarti pemerintah setempat tak bisa mengantisipasi hal tersebut dan juga meminalisir dampak kerusakannya,'' jelasnya.

Adnan juga mengatakan bahwa pemerintah setempat yang berada dalam beberapa wilayah terdampak di Tana Luwu gagal dalam melakukan langkah-langkah preventif ataupun pencegahan dengan melihat kondisi hari ini di Tana Luwu. Dan juga kurangnya perhatian khusus bagi pemerintah dengan menilik hal ini.

Pun juga persoalan kantong kresek merah yang dibagikan setiap moment bencana alam. Adnan rasa itu bukanlah sebuah solutif bagi masyarakat yang terdampak tapi lebih dari itu bagaimana pemerintah mampu memberikan rasa aman kepada para petani, nelayan, dan peternak ketika mereka menunggu momen-momen panen.

Sebab banyaknya masyarakat mengalami gagal panen, sebab diakibatkan akan fenomena banjir, dan lainnya, dikarenakan gagalnya pemerintah setempat dalam melakukan langkah preventif untuk mencegah banjir. Sehingga yang merasakan dampaknya, masyarakat yang berkarir dalam sektor pertanian peternakan dan perikanan.

Lalu yang menjadi pertanyaan besar hari ini apakah pemerintah menganggap serius fenomena alam yang terus menghantui pikiran para petani, nelayan, dan peternak dalam melakukan penanganan terhadap fenomena ini?

Kalaupun memang dianggap serius dan yang menjadi jawaban adalah perbaikan tanggul jebol tiap tahunnya.

''Saya pikir itu bukan hal yang solutif bagi fenomena yang seakan menjadi kutukan untuk warga Tana Luwu. Apalagi kantong kresek merah yang berisikan beberapa komoditas, hal semacam ini membuat masyarakat pasif dan tidak terpantik kesadarannya bahwa selama puluhan tahun kita menjadi masyarakat yang termarjinalkan oleh kondisi struktur kekuasaan yang ada di Tana Luwu. Semoga hal ini bisa menjadi perhatian khusus bagi pemerintah setempat,'' jelas Adnan. (rls/ikh)

  • Bagikan