Perambahan Hutan Lindung Tanamalia di Lutim Mengancam Ekosistem dan Ketersediaan Air

  • Bagikan

Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Larona, Pasi Nikmad Ali.

PALOPOPOS CO.ID, LUWU TIMUR-- Aksi pembalakan liar di hutan lindung Blok Tanamalia, tepatnya di Kawasan PPKH (Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan) PT Vale Indonesia, semakin marak. Jika terus terjadi, aksi ini akan merusak ekosistem hutan hingga mengganggu fungsi hutan lindung untuk ketersediaan air dan menjaga kualitas tanah.

Aksi pembalakan hutan di kawasan itu semakin marak. Sebuah video baru-baru ini menunjukkan sekelompok orang menebang pohon, memotong batangnya, lalu batang-batang pohon diduga itu dipakai untuk tiang tanaman merica, di kebun yang mereka buka di kawasan di hutan lindung itu.

Video aksi pembalakan hutan itu juga sudah sampai di depan mata Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Larona, Pasi Nikmad Ali. Dia mengakui, perambahan banyak dilakukan oleh warga yang membuka kebun lada, dan tentu saja itu ilegal.

“Ini jelas pelanggaran hukum, dan jelas akan ada sanksinya. Kita sudah berkali-kali menyampaikan itu,” ujar Pasi, Selasa 24 Juni 2025.

Menurut Pasi, Blok Tanamalia sendiri berada dalam wilayah konsesi seluas sekitar 70 ribu hektare yang dipegang oleh PT Vale Indonesia.

Ironisnya, sudah banyak wilayah konsesi tersebut yang dirambah pelaku untuk perkebunan merica.

Pasi menyebut, persoalan ini harus dibereskan dengan penindakan oleh Balai Gakkum (Penegakan Hukum) Kehutanan Sulawesi.

"PT Vale Indonesia selaku pemegang konsesi harus ikut mengambil peran aktif, untuk membentuk tim perlindungan dan pengamanan hutan di wilayah konsesinya. Itu sudah kami surati secara resmi,” katanya.

Menurut Pasi, pihaknya selaku Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Larona tidak bisa optimal mengawasi perambahan hutan tersebut. "Kita patroli, tapi terbatas. Karena cuma empat orang personel polisi hutan, dengan total wilayah kerja seluas 127 ribu hektare Kawasan Larona," terangnya.

Pasi mengaku telah berupaya semaksimal mungkin untuk menekan laju perambahan, termasuk dengan melakukan patroli rutin mingguan, memasang papan imbauan, hingga menyurati aparat desa.

“Kami ini sebagai fasilitator, jika ada perambahan, tugas kami melaporkan ke Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” ujar Pasi.

Dampak ekologis dari perambahan hutan ini, mulai dari penurunan kualitas tanah hingga hilangnya ketersediaan air akibat berkurangnya vegetasi hutan yang berfungsi sebagai menyerap air dan menyangga keseimbangan ekosistem.

“Kami selalu sampaikan ke masyarakat, jangan menebang hutan. Kita juga memasang plat-plat berisi peringatan di sejumlah titik hingga menyurati kepala desa ” katanya.

Dugaan Jual Beli Lahan Ilegal

Perambahan hutan lindung di Tanamalia juga diperparah oleh indikasi adanya jual beli lahan ilegal. Beberapa warga yang melakukan perambahan mengklaim memiliki sertifikat atau Surat Keterangan Tanah (SKT), meski lahan tersebut berada di kawasan hutan lindung.
KPH Larona telah menyampaikan ke pemerintah desa untuk mencabut dokumen kepemilikan semacam itu karena tentu saja tidak punya dasar hukum. Bahkan, pemiliknya bisa mendapat sanksi pidana jika bersikeras.

“Saya sudah sampaikan ke kepala desa di Loeha, agar mendata warganya yang melakukan perambahan lahan. Karena adanya informasi bahwa banyak orang luar yang ikut melakukan perambahan,” jelas Pasi.

Pasi pun menekankan bahwa tanggung jawab terbesar atas perlindungan kawasan berada di tangan pemegang izin, dalam hal ini PT Vale. Menurut dia, PT Vale, harus bergerak untuk berkoordinasi dengan Balai Gakkum untuk meminta penindakan hukum.

Sementara dari sisi pemerintah, sinergi antara KPH, pemdes, dan aparat penegak hukum harus diperkuat untuk memberikan efek jera yang nyata. (*/akmal)

  • Bagikan

Exit mobile version