Oleh : Nurdin (Dosen UIN Palopo)
Beberapa tahun lalu, di suatu malam. Saya duduk bersama dengan personel Pemadam Kebakaran (Damkar), yang lagi jaga malam di kantornya. Jumlahnya ada sepuluh atau dua belas orang, saya lupa persisnya. Kami ngobrol sambil ngopi bareng.
Kita ngopinya pas di samping kantor Damkar. Di situ ada balai-balai terbuat dari kayu, masih satu area dengan kantornya. Mungkin, dipersiapkan sebagai tempat personel yang jaga. Mereka ada yang tetap menggunakan sepatu, meski duduk bersila.
Lebih kurang lima belas menit ngobrol, tentu kopi belum habis. Karena kebetulan saya bukan peminum kopi, tetapi penikmat kopi. Tanpa komando, tiba-tiba mereka berhamburan, berlari, sampai ada yang naik ke atas meja.
Tidak peduli gelas-gelas kopi yang ada di atas meja, tumpah, akibat seorang di antaranya menginjak meja panjang itu. Saya yang bingung, berusaha mencari tahu. Ada apa? Tetapi tidak ada satupun yang menjawab, pertanyaan itu.
Begitu cekatan mereka menggunakan Alat Pelindung Diri (APD), tidak ada suara, dan sekejap telah hilang dari pandangan. Pergi dengan mobil dinas pemadam kebakaran. Ada apa? Kembali saya bertanya pada seorang yang tidak ikut berangkat.
Bapak yang tubuhnya agak besar itu, menarik nafas panjang menjawab, "Ada kebakaran pak" Saya coba memperjelas "Kok tidak ada peringatan atau apalah" Bapak itu menjawab "Ada pak, tapi mungkin bapak tidak dengar" Tersinggung juga, karena saya belum tuli.
Kekaguman saya karena kecepatannya, hanya butuh waktu kurang tujuh menit dari memakai APD sampai mereka tidak lagi terlihat. Dan hebatnya lagi, dia tidak peduli dengan apa yang ada disekitarnya termasuk kopi yang ada di atas meja. "Itu karena panggilan tugas" ujar bapak tadi.
Boleh jadi, ini yang tertanam dalam diri para petugas Damkar. Responsif, cekatan, dan hadir tepat waktu. Mereka tidak mau tahu, apakah benar-benar terjadi kebakaran ataukah hanya telepon orang iseng, yang mengerjai para petugas Damkar.
Tidak heran, kalau hari ini Damkar menjadi idola di tengah masyarakat karena mereka cepat tanggap dan empati. Bukan lagi hanya persoalan kebakaran, tetapi mengambil rapor anak sekolah sampai dilapori KDRT yang terjadi di Bekasi, Jawa Barat.
Dengan melihat realita yang ada khususnya pelayanan publik, tidak ada salahnya berdiskusi dengan teman-teman Damkar. Bagaimana mereka se-responsif itu dalam menerima panggilan masyarakat, handal, dan humanis. Meski tahu itu bukan tugasnya, tetapi selalu ada jika masyarakat membutuhkannya.
"Pantang Pulang Sebelum Padam" slogan Damkar yang tidak pernah berubah-ubah, tidak ada yang baru, dari dulu seperti itu. Bagi Damkar, sepertinya slogan itu tidak melulu persoalan api apalagi dikatakan hiasan pelengkap kantor, tetapi "Masyarakat butuh, saya hadir"
Mungkin, pemahaman itulah sehingga mereka respon cepat, tidak mengeluh, dan pulang saat benar-benar api persoalan sudah padam. Damkar tidak butuh validasi, tidak ada foto apalagi video. Mereka fokus pada tugas dan tanggung jawabnya.
Tidak juga punya niat mengambil alih tugas orang lain, hanya karena permintaan dan keinginan masyarakat yang memercayainya. Seperti kata penjual risoles yang ada di lapangan Pancasila, "Jual lah apa yang diinginkan orang, bukan apa yang kamu inginkan"(*)