TOLUWU – TORAJA, BERSATU KATA MENEMPUH MASA

  • Bagikan

Oleh: La Oddang To Sessungriu

Mattulada (1998) mengemukakan ; dengan tanpa menafikan periwayatan berdirinya kerajaan Luwu oleh ManurungngE dalam epos I La Galigo, tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat, pertama yang merupakan embrio kerajaan Luwu adalah mereka yang bermukim dipinggir sungai Malili pada pesisir ujung teluk Bone. Masyarakat yang terampil bercocok tanam serta menangkap ikan sekaligus berlayar menjelajahi samudera itu memiliki capaian peradaban dalam membangun suatu populasi menjadi kerajaan yang ditopang oleh budaya literasinya.

Pada era yang sama, terdapat pula masyarakat dalam populasi besar yang menghuni kawasan pedalaman sebelah barat teluk Bone, yakni pada lereng gunung Latimojong. Masyarakat itu memiliki keterampilan khusus dalam bercocok tanam, berburu dan beternak hewan kerbau.

Selain itu mereka memiliki peradabannya dalam hal budaya simbol yang berornamen, meliputi kehidupan sosial dan spiritualnya.

Kedua masyarakat yang menghuni topologi berbeda itu kemudian berinteraksi dengan baik untuk saling memenuhi kebutuhannya. Hingga kemudian, masyarakat pesisir disebelah timur itu disebut sebagai To Alau’E (orang-orang disebelah timur) dan masyarakat pedalaman disebelah barat disebut To RiajaE (orang-orang disebelah barat). Seiring waktu kedua sebutan itu berubah menjadi To Luwu’E dan TorajaE.

Hubungan keduanya berkembang dari masa ke masa, lebih dari sekadar saling bertukar barang kebutuhan masing-masing, melainkan terjadi kawin mawin sehingga melahirkan turunan bersama dengan tetap saling melestarikan kebudayaan masing-masing.
Lontara’ Akkarungeng Luwu (l.12) menguraikan, yakni pada paruh kedua abad XV, Datu Luwu XII bernama La Mallala’E I La Busatana Datu ri Saolebbi menikahi seorang puteri Sangalla’ bernama I Rajamanai’1, puteri La Dumama Puang Sangalla’. Pernikahan agung itu melahirkan Sanggaria To Laba Datu Luwu XIV dan I TenrirawE. Sebelumnya, La Mallala’E I La Busatana Datu ri Saolebbi menikah pula dengan sepupu sekalinya bernama MancungngE Sanggarilau, melahirkan La Dewaraja To SEngereng Datu KElali Petta MatinroE ri Bajo Datu Luwu XIII dan WE Tadampali Arung Masala Uli’E.

Setelah La Mallala’E I La Busatana Datu ri Saolebbi Datu Luwu XII wafat, Dewan Adat Kedatuan Luwu yang ketika itu disebut Pangadereng MacowaE2 menobatkan La Dewaraja To

SEngereng selaku Datu Luwu XIII. Sebelum dinobatkan, La Dewaraja To SEngereng menikah dengan WE Tenri Awiri, melahirkan To Appaiyyo Datui Balusu.
Sekian lama menjadi Datu Luwu, La Dewaraja To SEngereng yang bergelar pula sebagai
Datu KElali’, merupakan penguasa Luwu yang paling aktif melakukan ekspansi keluar wilayah. Penyerbuannya ke kerajaan Sidenreng dan perang mempertahankan wilayah Cenrana pada kerajaan Bone adalah kronik yang dituliskan pada hampir semua naskah lontara’ pada kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Hingga pada suatu ketika, beliau wafat dan ditunjuklah saudara seibunya, yaitu Sanggaria To Laba sebagai Datu Luwu XIV. Pada masa inilah, darah keturunan Sangalla’ dari kawasan Toraja turut berada dalam diri seorang Datu Luwu hingga pada Datu selanjutnya sampai pada hari ini.
Setelah menduduki tahta selaku Datu Luwu XIV, Sanggaria To Laba yang ditulis pada
Lontara Akkarungeng Bone sebagai Datu Sakkariari, meneruskan perjuangan saudaranya untuk merebut kembali Cenrana dari penguasaan kerajaan Bone. Namun serangan itu kembali gagal disebabkan kuatnya aliansi pertahanan kerajaan Bone yang dibantu oleh pasukan Gowa yang dipimpin oleh rajanyanya sendiri, yaitu ; I Manuntungi Daeng MatanrE KaraEng Tupa’risi Kallongna Somba Gowa IX. Lontara’ Akkarungeng Luwu (l.15) menuliskan bahwa sejak itu kerajaan Luwu dibawah dominasi kerajaan Gowa sehingga harus mengantar sebbukati (upeti) setiap tahun ke Makassar. Kondisi tersebut berlangsung hingga era Datu Luwu XVII, yakni La Patiware’ Daeng Parabbung Sultan Muhammad Waliyul Muthoharuddin.

Sanggaria To Laba Datu Luwu XIV menikah dengan WE Tenritanrai, melahirkan seorang
anak bernama WE DenrawaliE Opunna RawE. Puteri inilah yang kemudian diperjodohkan dengan
sepupu sekalinya, yaitu ; To Appaiyyo Datui Balusu, putera La Dewaraja To SEngereng Datu Luwu XIII.
Pada masa pemerintahannya, hubungan antar Luwu dan Toraja semakin dekat. Seperti diketahui,
prosesi adat “mappasekko pajung maEjaE”4
, bermula pada era pemerintahan kakaknya, yakni La
DEwaraja To SEngereng. Beliau melanjutkan prosesi tersebut, dimana Puang Sangalla’ bertindak
selaku pemasang jubah kebesaran Datu Luwu dalam ritual agung itu. Kedudukan Puang Sangalla’
dipandang “malebbi” (mulia) di Ware’5
selaku “passEajingeng” (kerabat dekat) sehingga kepadanya
disematkan hak istimewa sebagai satu-satunya raja diluar Luwu yang diperkenankan menegakkan
tombak pusakanya dalam komplek Istana LangkanaE. Pada masa itu pulalah, persebaran masyarakat
dari kawasan Toraja membentuk diaspora di Luwu. Antaralain yang dikemukakan disini adalah

rumpun keluarga Puang Sangalla’ membuka pemukiman bernama Jambu dalam wilayah kerajaan
Luwu. Sebagian yang lainnya membuka kawasan dan tokoh-tokohnya menjadi orang-orang
terkemuka di pusat pemerintahan kerajaan Luwu, sebagaimana Marinding, Bua, Ponrang,
BassEsangtEmpE dan lainnya. Hingga kemudian, Datu Luwu yang berdarah Sangalla’ itu wafat,
digantikan oleh kemenakannya sekaligus anak menantunya, yaitu To Appaiyyo Datui Balusu selaku
Datu Luwu XV.
Pernikahan antara To Appaiyyo Datui Balusu Datu Luwu XV, melahirkan seorang puteri
bernama WE TenrirawE. Puteri inilah yang kemudian dinobatkan sebagai Datu Luwu XVI, setelah
ayahandanya wafat. WE TenrirawE Datu Luwu XVI dicatat dalam Lontara Akkarungeng Luwu sebagai
ratu yang cerdas dan inovatif. Pada era kekuasaan kekuasaannya, beliau dibantu oleh seorang
cendekiawan bernama La Meggu dalam rangka merestorasi fungsi dan struktur Dewan Adat yang
membantunya menjalankan pemerintahan.
WE TenrirawE Datu Luwu XVI menikah dengan La Tenritiwi Ribajo Opu To Pawawoi Datu
ri Balubu, melahirkan La Patiware’ “patiarase’” Daeng Parabbung Sultan Muhammad Waliyul
Muthoharuddin Datu Luwu XVII. Putera inilah yang kemudian menjadi raja pertama di Sulawesi
Selatan yang memeluk agama Islam. Pernikahannya dengan I Cini’ Daeng Situju KaraEng ri Balla’
Bugisi, puteri raja Gowa I Taji’barani Daeng Marompa KaraEng Tunibatta Somba Gowa 11,
melepaskan dominasi kerajaan Gowa terhadap kerajaan Luwu. Datu Luwu yang memiliki darah
turunan dari Puang Sangalla’ di Toraja ini merupakan perintis hubungan genelogi antar kerajaankerajaan berpengaruh di Sulawesi Selatan dan Barat.
Zaman bergulir seiring waktu, generasi ke-7 La Patiware’ DaEng Parabbung Petta
MatinroE ri Ware’ Pattimang Datu Luwu XVII, yaitu La Tenripeppang DaEng Paliweng Petta MatinroE
ri Sabbamparu Datu Luwu XXVIII, menggiatkan perhubungan dekat antara Luwu dan Toraja.
Sribaginda sempat menikah di Sangalla dan melahirkan keturunannya yang menebar hingga di
Nanggala, sehingga dikenal di Toraja dengan gelar lainnya sebagai Datu Bakka’. Lontara’
Akkarungeng Luwu (l.22) menuliskan nama beliau dengan gelar sultannya, yakni Sultan Abdullah
yang kemudian dituliskan kiprahnya, antara lain : “yinaE Datu Luwu // maEga wijanna ri Toraja”
(inilah Datu Luwu // yang banyak keturunannya di Toraja).
Memasuki gerbang abad XX, yakni dalam tahun 1905 yang dikenal sebagai era Pax
Nederlandica6
, kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan dan Barat satu demi satu mengalami

kekalahan perang dengan kerajaan Belanda. Perlawanan La Pawawoi KaraEng SigEri ArumponE XXXI
berakhir pada perang terakhirnya di Awo (siwa) pada tanggal 18 Oktober 1905, kemudian diasingkan
ke Bandung. Setelah itu, tinggal kerajaan Luwu dan kawasan Tana Toraja yang belum ditaklukkan
oleh Belanda. Kedua kawasan tersebut sangat sulit ditaklukkan karena pertahanannya yang saling
menopang satu sama lainnya. Luwu adalah benteng pertahanan bagi Tana Toraja dari arah pesisir
timur dan Tana Toraja adalah benteng pertahanan bagi Luwu dari arah selatan dan barat. Perang
antara kerajaan Luwu dan Belanda mulai pecah pada tanggal 12 September 1905 yang berlangsung
pada dua front, yaitu Balandai’ dan PonjalaE. Datu Luwu Andi Kambo Petta MatinroE ri Bintangna
menyingkir keluar dari ibukota agar pasukan kerajaannya leluasa melakukan perlawanan. Perang
pada hari pertama itu mengakibatkan gugurnya Pahlawan Luwu Andi Tadda’ Opu To Sangaji
Pabbicara Luwu dengan To Ijo.
Pada tanggal 15 September 1905, Datu Luwu Andi Kambo’ Petta MatinroE ri Bintangna
terpaksa harus pulang ke Ware’ Palopo karena diultimatum oleh pihak Belanda untuk membumi
hanguskan ibukota tersebut jika Datu tidak bersedia kembali. Namun kembalinya Datu ke Istana
LangkanaE tidak berarti perlawanan rakyat Luwu berhenti. Perlawanan rakyat Luwu meletus dimanamana, antara lain di BaEbunta hingga daerah Wawo di Sulawesi Tenggara. Hingga kemudian dalam
berkecamuknya perang itu, Sribaginda Ratu Luwu ini dipaksa menandatangani Korte Verklaring pada
tanggal 19 September 1905. Selanjutnya, leluasalah Belanda melakukan ekspedisi penaklukannya ke
Toraja, menghadapi perlawanan Pong Tiku yang gigih itu.
Memasuki era Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945, tidak serta merta mendapat dukungan secara bulat oleh raja-raja di Sulawesi Selatan. Kerajaan
Luwu adalah yang terdepan mendukung proklamasi kemerdekaan itu yang dinyatakannya dengan
statement tertulis serta mengajak kerajaan-kerajaan kerabat terdekatnya untuk bersatu. Termasuk
dalam hal ini adalah kawasan Tana Toraja dan Kolaka. Hingga kemudian pada tanggal 20 Oktober
1945, Datu Luwu Andi JEmma Opu ToappamEnE Wara-WaraE didampingi Martin Guli berada di
Makale untuk mengorasikan dukungan integrasinya pada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada
hari yang bersejarah di Makale itu, Datu Luwu menunjuk Duma Andi Lolo sebagai wakil pemerintah
RI Luwu di Tana Toraja, seraya menyatakan semboyan yang terkenal ; “mEsa’kada diputuo, pantang
kada dipomatE”.
Bahwa hubungan kekerabatan Toluwu dan Toraja telah menempuh perjalanan masa ±
700 tahun, berpadu dalam hubungan persaudaraan. Ikatan emosional yang erat itu, telah teruji oleh
pergantian masa demi masa dalam kebersamaan menempuh kondisi susah maupun senang.
Solidaritas yang terjalin itu tak terpisahkan oleh perbedaan dialek maupun agama dan keyakinan

karena sesungguhnya darah lebih kental dari air. Orang Luwu dan Toraja telah dipertautkan oleh
darah kekerabatan, dibuktikan oleh sejarah. Hari ini, orang-orang Luwu yang tinggal menetap di
Tana Toraja menyebut diri sebagai orang Toraja. Demikian pula orang-orang Toraja yang tinggal
menetap di Tana Luwu, menyebut diri sebagai orang Luwu. Sesungguhnya inilah dua tanah yang
dihuni oleh satu badan !. Kurre’sumanga’, salama’ tapada salama’.

DAFTAR BACAAN
1. Abidin, A. Z., 1985. Wajo Abad XV – XVI, Alumni, Bandung;
2. Mattulada, H. A., 1988. Sejarah, Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Hasanuddin
University Press, Makassar;
3. Sessungriu, L. T., 2021. Lontara’ Akkarungeng Bone, Perpusnas Press, Jakarta;
4. Lontara’ Akkarungeng Luwu (koleksi Istana Kedatuan Luwu)

  • Bagikan