Kalla Group Bangun Smelter Nikel di Bua, Nilai Investasi Capai Rp10 Triliun

  • Bagikan
GARDU INDUK PLTA POSO DI LATUPPA. Aliran listrik ini dibangun PT Bukaka Teknik, salah satu anak perusahaan Kalla Grup sepanjang 208 kilometer (km) dengan tegangan 275 kilovolt (kV). Listrik dari gardu ini akan mendukung pengoperasian smelter nikel PT BMS di Desa Karang-karangan, Kec. Bua, Kab.Luwu. IDRIS PRASETIAWAN/PALOPO POS
  • Target Beroperasi 2023

PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID BUA -- Pembangunan pabrik peleburan (smelter) nikel Kalla Group melalui salah satu unit bisnisnya, PT Bumi Mineral Sulawesi (BMS) terus dipacu.

Smelter yang dibangun dengan investasi senilai Rp10 triliun ini berlokasi di Desa Karang-karangan, Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu.

Smelter dengan kapasitas 60.000 ton ini ditargetkan mulai beroperasi pada 2023. Selain kebutuhan dalam negeri, smelter ini juga akan memasok kebutuhan nikel secara global.

“Hal yang paling penting ialah bagaimana kehadiran smelter ini mampu meningkatkan perekonomian masyarakat. Apalagi selama proses pengerjaannya, BMS mempekerjakan karyawan lokal sebanyak 85 persen yang tentunya berpengalaman serta memiliki pendidikan dan keahlian sesuai bidang yang dibutuhkan,” kata Founder Kalla Group, HM Jusuf Kalla saat meninjau pembangunan smelter tersebut pada Rabu (18/3/2022) lalu.

Kunjungan mantan Wakil Presiden Republik Indonesia itu didampingi langsung oleh President Director Kalla Group, Solihin Jusuf Kalla.

Pembangunan smelter terdiri atas beberapa tahap yang dimulai sejak Maret 2022. Khusus untuk pabrik pertama, target pengoperasiannya sudah bisa dijalankan tahun depan. Adapun Jumlah smelter yang dibangun sebanyak 14 tungku hingga 2030 di atas lahan seluas 141 hektar.

Sementara itu, President Director Kalla Group, Solihin Jusuf Kalla sangat mengapresiasi dukungan Pemerintah Kabupaten Luwu terhadap pembangunan smelter tersebut. Sejauh ini proses perizinan hingga pembangunan berjalanan dengan sangat lancar dan sesuai perencanaan.

“Kami juga berharap dukungan dari masyarakat sekitar selama proses pembangunan smelter ini. Semoga kehadiran dari salah satu unit bisnis kami ini dapat membawa manfaat bagi kita semua,” ungkap Solihin.

Sebagai referensi, PT BMS merupakan salah satu unit bisnis dari Kalla Group di bidang mineral. BMS menargetkan menjadi pesaing utama dalam pengelolaan sumber daya nikel, utamanya bahan dasar baterai, dimana saat ini rata-rata investasi smelter yang ada di Indonesia merupakan investasi asing.

SULAWESI, Episentrum Nikel Indonesia

SULAWESI menjadi episentrum nikel di Indonesia. Berdasarkan pemetaan Badan Geologi pada Juli 2020, Indonesia memiliki sumber daya bijih nikel sebesar 11.887 juta ton (tereka 5.094 juta ton, terunjuk 5.094 juta ton, terukur 2.626 ton, hipotetik 228 juta ton) dan cadangan bijih sebesar 4.346 juta ton (terbukti 3.360 juta ton dan terikira 986 juta ton). Sedangkan untuk total sumber daya logam mencapai 174 juta ton dan 68 juta ton cadangan logam.

“Area Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara punya potensi yang terbesar di Indonesia sampai dengan saat ini,” kata Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono, dalam webinar Masa Depan Hilirisasi Nikel Indonesia, Jumat (16/10/2020).

Eko mengungkapkan, hingga kini kegiatan eksplorasi nikel terus berjalan agar Indonesia bisa lebih mandiri dalam produksi nikel. Melalui proses hilirisasi, nikel diharapkan bisa menambah nilai tambah bagi negara.

“Kami di Badan Geologi juga giat ekplorasi (nikel) ini untuk rekomendasi wilayah baru laporkan ke Ditjen Minerba sebagai Wilayah Usaha Pertambangan. Potensi logam ikutan pada endapan nikel laterit perlu evaluasi dan identifikasi untuk bisa memanfaatkan nikel dengan lebih baik,” ujar Eko.

Berdasarkan rekomendasi Badan Geologi, Budi menjelaskan eksplorasi cebakan nikel lebih mudah diarahkan pada endapan mineral logam tipe laterit dibandingkan tipe primer karena potensinya lebih ekonomis.

“Sejauh ini cadangan di laterit itu jauh lebih besar daripada yang primer,” kata Eko.

Indonesia sendiri telah menempatkan diri sebagai produsen bijih nikel terbesar di dunia pada tahun 2019.

Dari 2,67 juta ton produksi nikel di seluruh dunia, Indonesia telah memproduksi 800 ribu ton, jauh mengungguli Filipina (420 ribu ton Ni), Rusia (270 ton Ni), dan Kaledonia Baru (220 ribun ton Ni).

Dikuasai Perusahaan China

Saat ini, pengelolaan komoditi nikel di Sulawesi dikuasai oleh perusahaan China. Ada tiga perusahaan besar yang menjadi pemain utama nikel ini yakni; Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO).

Berdasarkan data Kementerian ESDM, IMIP sudah menguasai 50 persen dari produksi hilir nikel di Indonesia pada 2018.

Porsi Vale menyusut jadi 22 persen dan Antam hanya 5 persen saja. Padahal, Vale masih menguasai produksi nikel dengan porsi 77 persen pada tahun 2014. Ketika itu, Antam memiliki pangsa pasar 19 persen dan perusahaan lainnya sebesar 3 persen.

Perusahaan nikel BUMN itu juga sudah dilewati oleh Virtue Dragon yang memegang porsi produksi nikel sebesar 11 persen, Harita Group 6 persen dan perusahaan lainnya sebesar 6 persen.

“Apa yang terjadi pada 2023, pasti komposisinya akan berubah drastis lagi. Luar biasa perkembangannya,” kata Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif.

Menurutnya, industri hilir nikel semakin kompetitif dan masih menjanjikan, baik untuk pengembangan industri berbasis stainless steel maupun untuk industri baterai. Sayangnya, hingga sekarang seluruh produk yang dihasilkan smelter di Indonesia masih dalam intermediate product atau produk setengah jadi.

Secara keseluruhan, lebih dari 90 persen produk smelter Indonesia masih berupa produk berbasis nikel pig iron (NPI).

“Perkembangan produksi smelter cukup signifikan, tetapi 99 persen atau semuanya 100 persen masih intermediate produk. 90 persen lebih adalah produk NPI,” jelas Irwandy.

Berdasarkan jenis kemurniannya, nikel yang produksi di Indonesia juga masih didominasi oleh nikel kelas dua yang menghasilkan NPI atau feronikel. Sedangkan porsi nikel kelas satu untuk menghasilkan nikel matte dan mixed hydroxide precipitate (MHP) masih mini.

Saat ini, kebutuhan nikel global juga masih didominasi untuk industri stainless steel sebesar 71 persen. Sedangkan untuk kebutuhan industri lainnya seperti baterai masih minim yakni 3 persen.

Dampak positif

Keberadaan hilirisasi nikel dinilai dapat memberikan dampak positif bagi perkonomian negara. Selain dapat meningkatkan nilai rantai pasok produksi, hilirisasi dapat menyelamatkan komoditas bijih nikel dari gejolak harga.

“Di hulu pertambangan itu praktis lebih mudah dilakukan dengan keuntungan yang lebih besar. Namun ketika tarik di hilir muncul istilah keekonomian bahwa nilai tambah keuntungan tidak seimbang dengan investasi (besar). Inilah sedang kita coba sehingga keseimbangan itu terjadi,” jelas Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Ridwan Djamaluddin.

Aspek keekonomian, sambung Ridwan, merupakan aspek krusial atas keputusan kebijakan hilirasasi nikel di Indonesia.

“Ketika keekonomian itu dikaitkan dengan pohon industrinya atau rantai pasok dari produk-produk hilir belum berjalan sesuai harapan,” ungkapnya.

Ridwan mengakui, perencanaan keberadaan kawasan industri nikel selama ini tumbuh berkat dorongan dari pelaku industri.

“Ini menyadari industri nikel itu penting,” tegasnya.(idr)

  • Bagikan