KAKAO BERKELANJUTAN

  • Bagikan

Oleh: Dr. Idawati, SP.,M.Si

(Peneliti sekaligus pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Andi Djemma)

Dr Idawati, SP, M.Si, peneliti sekaligus pengajar pada Fakultas Pertanian Unanda Palopo , kembali mengulas tentang Kakao yang telah mengantarkannya menjadi doktor di IPB, dan saat ini kembali mengikuti Postdoctoral Pada Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaiun Daur Hidup Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) dibawah bimbingan Nugroho Adi Sasongko, ST,M.Sc, Ph.D,IPU sekaligus sebagai kepala pusat riset ini, dan masih meneliti kakao yang ada di Kabupaten luwu Utara.

Pilar pembangunan kakao berkelanjutan menurut beberapa ahli ada tiga hal, yang terdiri dari ekonomi, lingkungan dan sosial. Jika kita meninjau pilar ini khususnya komoditi kakao yang ada di Luwu Utara apakah masih memungkinkan untuk terwujud?? Mari kita sama-sama meninjaunya:

Pilar Ekonomi
Perkembangan usaha tani sebagai salah satu indikator ekonomi dalam mewujudkan keberlanjutan usaha dapat kita melihat dari beberapa faktor. Indikator keberlanjutan pada perkembangan usaha tani diukur dengan melihat terjadinya peningkatan atau penurunan jumlah rata-rata produksi/Ha/hasil panen setiap dua kali musim panen raya dalam setahun khususnya di Kabupaten Luwu Utara dengan indikator produksi semakin rendah. Penurunan produksi ini diakibatkan oleh serangan hama dan penyakit pada tanaman kakao paling dominan disebabkan oleh dampak perubahan iklim dan perlakuan petani yang tidak secara rutin mengikuti anjuran GAP dalam merawat usaha taninya. Penurunan produksi akibat dampak perubahan iklim yang menyebabkan musim hujan dan kemarau yang sulit diprediksi, pola pertanian dengan penggunaaan pestisida dan pupuk organik menyebabkan musuh alami semakin hilang dan hama penyakit semakin meningkat, tanah semakin kehilangan unsur haranya.
Indikator berikutnya adalah banyaknya petani yang melakukan alih fungsi lahan dan alternatif pengembangan usaha atau komoditi yang lain. “Alih fungsi lahan menjadi pilihan mayoritas petani kakao pada wilayah ini, saat terjadi permasalahan pada usaha taninya karena tersedianya beberapa komoditi unggulan”. Alternatif pengembangan usaha lainnya adalah jangka pendek atau tanaman musiman seperti jagung, tumpang sari tanaman kakao dengan tanaman nilam, pepaya, atau beralih pada tanaman tahunan seperti buah-buahan, cengkeh, pala, lada dan kelapa sawit. Pilihan alternatif berikutnya bagi petani adalah bekerja sebagai buruh tenaga kerja pada pabrik perusahaan kakao yang ada di wilayah ini atau keluar dari wilayah untuk membuka lahan baru dan mengusahakan tanaman kakao atau tanaman yang lain. Permasalahan ini, menjadi beberapa pilihan petani untuk memenuhi dan melanjutkan kebutuhan keluarga yang semakin mendesak. Indikator selanjutnya pada perkembangan usaha tani adalah penurunan keuntungan yang diperoleh, harga jual di tingkat petani, jumlah tenaga kerja yang digunakan dan peningkatan luas lahan yang dimiliki oleh petani dalam kurun waktu dua tahun terakhir adalah sangat rendah.

Permasalahan ini tidak menyurutkan langkah oleh beberapa pihak swasta sepeti PT. Mars, PT Koltiva, CV.Olam, Rain Forest Alliance, World Agroforestry (ICRAF), Perguruan tinggi, seperti IPB, Unhas, Unanda, dan tim peneliti dari beberapa negara asing terus fokus untuk menemukan solusi dan telah berkolaborasi dengan pihak pemda melalui Pokja kakao berkelanjutan guna merumuskan roadmap kakao berkelanjutan. Pokja kakao ini berkolaborasi dan telah bekerja selama 2 tahun dan terus berlanjut hingga 3 tahun berikutnya. Semoga dengan adanya pokja ini dapat menjadi salah satu wadah agar kakao berkelanjutan ini khususnya di Kabupaten Luwu Utara dapat menemukan bebepapa solusi.
Salah satu solusi yang dapat menjadi perhatian setelah beberapa usaha yang dilakukan adalah hilirisasi produk kakao. Perkembangan usaha tani dapat kita melihat dari sistem agribisnis bahwa tujuan dari suatu usaha adalah keuntungan yang dimulai dari hulu sampi hilir yakni penyediaan sarana prasarana, budidaya, pengolahan hasil dan pemasaran. Hilirisasi khususnya dari pengolahan hasil masih sangat kurang, karena mayoritas petani hanya sampai pada tahap pasca panen dengan penjualan biji basah atau biji kering. Seharusya petani mulai mencoba mengolah biji kakao menjadi produk akhir seperti yang telah dilakukan oleh Chalodo Chocolate yang ada di Kota Masamba, Kabupaten Luwu Utara. Jika chalodo-chalodo semakin bertambah kita dapat berasumsi bahwa, bukan lahan yang yang harus kita perluas untuk meningkatkan pendapatan petani tetapi bagaimana agar produksi yang kurang tetapi kualitasnya semakin meningkat dan dapat diolah menjadi produk akhir (siap komsumsi) agar petani dapat menerima nilai tambah dari hasil usaha taninya. Pengolahan biji kakao menjadi produk akhir seperti yang dilakukan chalodo dapat ditularkan ke petani lain dan keluarganya, sehingga usaha ini dapat bertambah dan menjadi mtovasi bagi petani untuk mengolah kembali kebun kakao dengan meningkatkan produksinya dan semakin berkualitas serta nilai tambah melalui produk akhir yang semakin meningkat.

Pilar Lingkungan
Usaha tani kakao yang berkelanjutan dari aspek kelestarian lingkungan sangat penting dalam situasi pasar ekspor saat ini, yang semakin menuntut komoditas yang diproduksi dengan lebih memperhatikan unsur perlindungan sosial dan lingkungan. Indikator kelestarian lingkungan paling dominan pada ketersediaan air dalam mencukupi kebutuhan usaha tani kakao dan pada indikator tingkat serangan hama penyakit pada tanaman kakao di Kabupaten Luwu Utara. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan petani pada serangan hama dan pengelolaan air masih menjadi masalah utama selain indikator ancaman banjir dan kekeringan saat terjadi perubahan iklim ekstrim La Nina dan El Nino. Indikator kelestarian lingkungan pada serangan hama dan penyakit pada tanaman kakao masih merupakan masalah paling dominan di Kabupaten Luwu Utara. Permasalahan ini masih terus menjadi tugas dari semua pihak dengan lebih memperbaiki dan meningkatkan teknologi budi daya tanaman kakao serta faktor pendukung peningkatan produksi tanaman. Petani terus melakukan upaya perawatan sesuai kalender budi daya kakao adaptif iiklim sebagai bagian dari GAP dalam mewujudkan usaha tani kakao yang berkelanjutan.
Peningkatan serangan hama dan penyakit dapat terjadi ketika curah hujan tinggi, dan dapat menjadi pemicu munculnya berbagai hama tanaman. Pada saat curah hujan tinggi dan kondisi tanaman menjadi semakin lembab, maka akan menjadi media berkembang dan tumbuhnya berbagai penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan jamur pada komoditas tanaman perkebunan ini. Saat curah hujan tinggi dan berlangsung pada waktu yang lama, maka akan terjadi permasalahan pada hasil panen petani kakao. Selain itu, perawatan tanaman kakao yang tidak menerapkan P3SP secara rutin dengan kondisi curah hujan yang merata dan seimbang sepanjang tahun maka akan terjadi serangan hama yang tinggi, pertumbuhan vegetatif tanaman menjadi kurang baik karena perkembangan generatifnya terganggu, proses pembungaan menjadi tidak sempurna karena kurangnya sinar matahari, dan terjadi pola fluktuasi intensitas dan besaran jumlah curah hujan yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbungan tanaman kakao semakin terganggu saat terjadi peralihan dua musim penghujan dan kemarau dalam waktu yang lama.
Ancaman banjir dan kekeringan yang disebabkan oleh besaran curah hujan yang sulit ditolerir yang merupakan salah satu unsur iklim yang besar perannya terhadap kejadian longsor dan erosi. Air hujan yang menjadi air limpasan permukaan adalah unsur utama penyebab terjadinya erosi. Hujan dengan curahan dan intensitas yang tinggi, misalnya 50 mm dalam waktu singkat (<1 jam), lebih berpotensi menyebabkan erosi dibanding hujan dengan curahan yang sama namun dalam waktu yang lebih lama (>1 jam). Intensitas hujan menentukan besar kecilnya erosi.
Ancaman banjir ini sudah terjadi terjadi di Luwu Utara yang telah menelan korban dan menghancurkan beberapa tempat tinggal dan lahan kakao dan usaha tani yang lain yang menjadi contoh bahwa faktor ini memang sangat perlu menjadi perhatian oleh semua pihak. Beberapa hasi penelitian salah satunya dari hasil disertasi (Idawati, 2019) di IPB bahwa mewujudkan usaha tani kakao berkelanjutan dari pilar lingkungan yang dipengaruhi oleh kapasatis adaptasi petani sangat rendah. Hal ini mebuktikan bahwa pilar ini menjadi ancaman dan telah terjadi dengan adanya banijr bandang pada Tahun 2021.
Beberapa pakar dan melalui pokja kakao berkelanjutan juga telah merumuskan hal termasuk dengan adanya pembangunan bendungan Baliase dan Rongkong menjadikan usaha tani kakao akan terdampak dan kemungkinan besar akan beralih fungsi menjadi lahan sawah. Salah satu solusi yang dilakukan oleh pemerintah adalah perhutani sosial, namun perlu beberapa syarat dan prosedur agar tidak terjadi dampak negative berikutnya. Selain itu saat ini melalui lembaga swasta yang sebut AKTIV mensosialisasikan agroforestry kakao di Kabupaten Luwu Utara. Hal ini didukung oleh hasil analisis leverage yang menunjukkan terdapat lima faktor pengungkit utama pada dimensi ekologi yang berpengaruh terhadap tingkat keberlanjutan usaha tani agroforestry yaitu: 1) produktivitas lahan; 2) pemupukan lahan; 3) tingkat serangan hama penyakit tanaman; 4) ketersediaan teknologi pembuatan pupuk organik dan 5) penggunaan pestisida. Hal ini sangat penting karena lingkungan usaha tani kakao merupakan suatu ekosistem yang memiliki aliran energi dan siklus hidup yang tidak boleh terputus untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Komponen ekosistem yaitu komponen biotik dan abiotik adalah yang paling merasakan dampak perubahan ekosistem itu sendiri. Petani berperan penting dalam menentukan keseimbangan ekosistem dengan menerapkan sistem pertanian yang berbasis lingkungan seperti agroforestry dengan mengembangkan model yang menyeimbangkan peningkatan produktivitas dengan sistem (production-protection). Hal ini dapat mewujudkan peningkatan pendapatan bagi petani dalam pembangunan sektor kakao yang berkelanjutan, secara produktivitas, perlindungan sosial dan lingkungan melalui keterlibatan stakeholder.

Pilar sosial
Keberlanjutan usaha tani pada hubungan sosial petani dari Indikator paling dominan adalah toleransi antar warga masyarakat dengan aturan adat istiadat pada lingkungan sosial petani. Hubungan ini terjadi karena tingkat interaksi antara petani dengan petani lainnya, antar warga yang lain yang tinggi. Interaksi yang tinggi dengan intensitas pertemuan petani yang rutin, baik pada lahan usaha taninya maupun pada saat melakukan ibadah, saat mengikuti pertemuan kelompok tani, gapoktan, dan antar warga masyarakat. Selain itu, tingkat keragaman suku, agama juga masih sangat rendah dan keaktifan mengikuti kegiatan gorong royong masih sangat tinggi. Rutinitas komunikasi diantara petani yang tinggi baik bertatap muka maupun dalam media sosial. Hidup rukun para petani terjaga dengan aktivitas ibu rumah tangga di wilayah ini pada acara- acara pesta perkawinan, aqiqahan masih sangat tinggi. Terjadinya konflik yang menjauhkan dengan pertentangan dan persaingan yang besar masih sangat rendah pada wilayah ini meskipun patologi sosial semakin tinggi tetapi kehidupan masyarakat tetap rukun. Petani di wilayah ini, diharapkan tidak terjadi pengikisan modal sosial yang akan menurunkan kapasitas kolektif petani, yang akan menurunkan kinerja kegiatan pertanian. Petani kakao di kabupaten ini, masih memiliki sumber utama pemupukan modal sosial berupa faktor sosial dan budaya, serta pengalaman masyarakat dalam berinteraksi dengan pihak lain, dan faktor-faktor fisik dan ekonomi.
Kepercayaan petani pada pihak penyuluh perusahaan/swasta dan petugas penyuluh pemerintah, demikian pula dengan petugas air dan informasi curah hujan, masih sangat tinggi. Kemampuan penyuluh (fasilitator), intensitas pertemuan dengan petani responden, materi, metode dan fasilitas yang mendukung kinerja petugas penyuluh yang memungkinkan tujuannya tercapai. Hal ini terjadi karena program perusahaan sementara berjalan di wilayah ini dan mampu memotivasi petani dalam meningkatkan produksinya. Program-program kemitraan masih aktif pada wilayah ini seperti transfer teknologi menggunakan demplot yang didampingi oleh fasilitator dan cocoa doctor di lapangan. Mayoritas petani responden melakukan peremajaan tanaman dengan klon unggul adaptif pada kondisi lahan cenderung berair (resapan air tanah yang tinggi) dengan klon unggul M45 atau MCC 02 dan pada lahan cenderung kering dengan klon unggul BR25 atau S1/S2.
Program dan kehadiran mitra yang lebih aktif dan lebih banyak pada wilayah ini dalam mendampingi petani kakao sehingga lebih adaptif dan menumbuhkan kesadaran serta penerapan keterampilan yang relevan. Adanya perbedaan dari kesadaran yang didasarkan pada kemampuan akses informasi, penerapan berbagai strategi dalam perubahan tingkat pengetahuan dan keterampilan. Perubahan tersebut, dibutuhkan upaya adaptif pada layanan penyuluhan, pemahaman petani pada kesiapan manajemen risiko dari perubahan kondisi iklim yang berfluktuasi, teknik produksi yang lebih baik, dan pelatihan penerapan berbagai teknologi secara efektif dan efisien. Hal ini sebagai upaya strategi berbagai adopsi dalam menghadapi fenomena perubahan iklim lokal.
Kemampuan sosial budaya dari Kabupaten ini masih sangat tinggi, sehingga memungkinkan pengembangan peningkatan kemampuan adaptif petani secara bersama dalam keaktifan kelembagaan petani. Petani masih memiliki kekuatan modal sosial yang tinggi yang dapat menjadi pemicu kekuatan lembaga petani menjadi lebih mudah dikoordinir dan dikembangkan. Peningkatan kapasitas petani dibutuhkan kemampuan akses terhadap modal usaha untuk adopsi inovasi transfer teknologi, kemampuan kelembagaan, kemitraan, dan modal sosial. Kekuatan modal sosial sebagai komunitas atau kelompok dalam menjalin rasa kepercayaan pada rekan petani, penyuluh dan pada stakeholer yang terlibat dan memiliki toleransi antar warga dan menjunjung tinggi aturan adat istiadat dalam pengelolaan lingkungan yang adaptif dalam mendukung usaha tani kakao yang berkelanjutan. Faktor sosial dan budaya ditunjukkan dengan nilai budaya, kepercayaan, agama, tradisi, dan keberadaan norma, hubungan kekeluargaan, kekerabatan dalam bertetangga, serta hubungan sosial dan ekonomi.

  • Bagikan