MUI Tegas! Desak Pemerintah Hadir dan Proses Hukum Panji Gumilang Ponpes Al Zaytun, Ini Alasannya

  • Bagikan
Panji Gumilang-Istimewa-

PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, JAKARTA-- Ketua Majelis Ulama (MUI) bidang da'wa, KH Cholil Nafis meminta pemerintah dan aparat penegak hukum mengusut penyimpangan agama di Pondok Pasantren Al Zaytun Indramayu Jawa Barat.

Menurut Nafis, Panji Gumilang selaku pimpinan Al Zaytun harus diproses hukum agar tidak membuat gaduh di masyarakat dengan sejumlah statemennya yang dinilai menyimpang dari ajaran Islam.

"Jangan berlama-lama, pemerintah segera hadir dan proses hukum Panji Gumilang dan Az-Zaytun agar suasana kembali tenang dan berhenti mengajarkan agama yang menyimpang. Umat dan ormas sudah resah dengan kegaduhan yang dibuatnya," kata Nafis lewat keterangan tertulis, dikutip Rabu 21 Juni 2023.

Nafis juga mendukung Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang tengah membentuk tim investigasi mengusut penyimpangan agama di Al Zaytun.

"Saya dukung Pak @ridwankamil hadir menyelesaikan masalah Pesantren Al-Zaytun dan Panji Gumilang yang statemennya bikin resah dan gaduh. Aspirasi umat hampir sama semua segera diinvestigasi dan ditindak penyimpangannya.Jaga agama dan anak bangsa," ujar Cholil Nafis.

NU Jabar Fatwa Haram Belajar di Ponpes Al Zaytun:

Sebelumnya, Nahdatul Ulama (NU) Jawa Barat juga secara resmi mengeluarkan fatwa haram mondok di Pondok Pesantren Al-Zaytun di Indramayu.

Keputusan fatwa itu dikeluarkan oleh Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah NU Jawa Barat di Pondok Pesantren Hidayatuttholibin Kabupaten Indramayu pada Kamis 16 Juni 2023.

Hasil Bahtsul Masail resmi menyepakati bahwa Ma'had Al-Zaytun menyimpang dari ajaran Ahlussunnah wal Jamaah.

Setidaknya ada beberapa kontroversi yang menyebabkan NU Jawa Barat mengeluarkan fatwa haram mondok di Ponpes Al-Zaytun.

Seperti dilansir dari NU Online, diantaranya, pimpinan Ponpes Al-Zaytun telah menafsirkan al-Quran secara serampangan.

Istidlal (pengambilan dalil) pihak al Zaytun tidak memenuhi metodologi penafsiran ayat secara ilmiah, baik secara dalil yang digunakan ataupun madlul (makna yang dikehendaki).

NU Jabar menyebut Istidlal pihak al Zaytun dalam pelaksanaan shalat berjarak yang berdasarkan kepada QS Al Mujadalah ayat 11 dapat dikategorikan menyimpang dari ajaran Aswaja.

LBMNU berpandangan bahwa penyimpangan istidlal al Zaytun dalam konteks ini karena beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, makna “Tafassahu” dalam ayat bukan memerintahkan untuk menjaga jarak dalam barisan shalat, namun merenggangkan tempat untuk mempersilahkan orang lain menempati majlis agar kebagian tempat duduk.

Kedua, bertentangan dengan hadits shahih yang secara tegas menganjurkan merapatkan barisan shalat.

Ketiga, bertentangan dengan ijma ulama perihal anjuran merapatkan barisan shalat.

Kemudian, dalih ikut kepada madzhab Bung Karno yang diungkapkan oleh Panji Gumilang terkait penempatan posisi perempuan dan non muslim di antara jamaah shalat yang mayoritas laki-laki sudah sesuai dengan tuntunan beribadah Aswaja.

"Tidak sesuai dengan tuntunan beribadah Aswaja dan statemen Bapak Panji Gumilang perihal di atas hukumnya haram," tulis pernyataan NU Jabar.

Dilanjutkan, bahwa ketidaksesuaian tersebut dijelaskan dengan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, menyandarkan argumen fiqh tidak kepada ahli fiqh yang kredibel.
Kedua, menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat bahwa formasi barisan shalat seperti di atas merupakan hal yang disyariatkan (Syar’u ma lam yusyro’).

Lalu, pertanyaan selanjutnya mengenai hukum menyanyikan “Havenu shalom alachem”, mengingat secara historis lirik tersebut kental dengan agama Yahudi, baik dari segi kemunculan dan penggunaannya.

Hasil keputusan LBMNU Jawa Barat menegaskan, hukum menyanyikan lagu tersebut haram, karena Pertama, menyerupai dan mensyiarkan tradisi agama lain.

Kedua, mengajarkan doktrin yang dapat berpotensi hilangnya konstitusi syariat perihal fiqih “Mengucapkan salam” kepada non muslim.

Selain itu, jawaban selanjutnya dari pertanyaan mengenai pandangan fikih terkait pemerintah yang terkesan membiarkan polemik al Al Zaytun yakni mempertimbangkan tugas dan kewajiban pemerintah sebagai berikut:

Pertama, menjaga masyarakat dari segala bentuk penyimpangan, baik agama, budaya dan norma yang berlaku. Kedua, menjaga konstitusi syariat.

Ketiga, melakukan tindakan tegas terhadap segala bentuk kemunkaran sesuai tahapannya Maka, pemerintah tidak dibenarkan melakukan pembiaran terhadap segala bentuk penyimpangan Ma‟had al Zaytun.

Terakhir, dari semua polemik yang muncul, hukum memondokkan anak ke pesantren al Zaytun adalah haram karena:

Pertama, membiarkan anak didik berada di lingkungan yang buruk (pelaku penyimpangan)

Kedua, memilihkan guru yang salah bagi pendidikan anak.

Ketiga, memperbanyak jumlah keanggotaan kelompok menyimpang. Karena kewajiban orang tua adalah memilihkan pesantren yang jelas sanad keilmuan serta masyhur kompetensinya di bidang ilmu agama.

Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Barat KH Juhadi Muhammad juga memberikan rekomendasi kepada Pemerintah terkait Polemik Ma'had Al-Zaytun.

Pertama: Pemerintah agar segera menindak tegas Ma‟had al Zaytun dan tokohnya atas segala penyimpangan yang telah terbukti berdasarkan kajian ilmiah Bahtsul Masail PW LBMNU Jabar.

Kedua: Kepada para stakeholder agar memproteksi masyarakat dari bahaya penyimpangan Ma‟had al Zaytun.

Ketiga, masyarakat agar tetap tenang dan menyerahkan penindakan atas polemik yang terjadi kepada pihak yang berwenang. (*/fin/pp)

  • Bagikan