Terjebak Politik Primordial dan Kualitas Human Capital yang Rendah

  • Bagikan

PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Jika Papua merasa teranak-tirikan, Maluku Utara sekadar dibuai janji tak terwujud, dan Maluku diperlakukan bak kekasih gelap, maka lain pula problematika kebangsaan yang melilit Nusa Tenggara Timur (NTT).

Provinsi yang berbatasan langsung dengan Timor Leste dan Australia itu, ternyata masih dililit bayang-bayang politik primordial.

Hal tersebut mengemuka pada Focus Group Discussion (FGD) seri V yang digelar secara daring oleh Kaukus Timur Indonesia, Jumat sore, 28 Juli 2023. FGD yang disiarkan melalui kanal youtube Upi Show dan dipandu jurnalis senior yang juga inisiator terbentuknya Kaukus Timur, menghadirkan Rektor Universitas Aryasatya Deo Muri (Unadri) Kupang, Paul Bataona, dan Penjabat Walikota Kupang, George Hajdo, serta praktisi media NTT, Jhon Seo.

Dalam pemaparannya, Paul mengungkapkan, persoalan utama yang menghantui kiprah NTT dalam peta perpolitikan nasional adalah primordialisme yang masih sangat kentaL. Dan itu, kata Paul, sejatinya tidak hanya mewabah di NTT melainkan hampir menyebar merata di kawasan timur Indonesia. “Padahal, jika politik primordial ini bisa kita atasi, maka kita pasti bisa tampil di pentas nasional,” ujarnya optimis.

Kenapa bisa demikian, menurut Paul, karena secara kewilayahan, NTT sama seperti mayoritas wilayah lainnya di kawasan timur Indonesia, sejatinya memiliki sumber daya alam yang melimpah.

“Karena kita punya power dan potensi yang luar biasa. Kita kaya aset. Tapi, tenggelam oleh ego-ego sektoral, oleh perjuangan individu yang membuat perjuangan kita tidak kompak. Semuanya sia-sia karena tenggelam oleh politik primordial yang menggurita,” kritik Paul.

NTT, kata dia, sudah telanjur terpolarisasi dalam bayang-bayang primordialisme.

“Itu juga karena sejak awal kita sudah didemarkasi sebagai Indonesia timur. Kita pun ikut-ikutan melihat seseorang itu dari mana asalnya, atau apa agamanya. Kita akhirnya kurang kompak. Tidak saling support. Di tingkat nasional misalnya, masing-masing berjuang sendiri. Inilah masalah terbesar kita (di NTT),” sebut Paul.

Karena itu, melalui FGD Kaukus Timur, dia berharap semua stakeholders terkait mau berbesar hati untuk mau dan berani membangun habit saling support. Minimal saling support di dalam kepemimpinan politik.

“Sehingga, dari level kecil tidak boleh lagi kita untuk saling menjatuhkan, melainkan saling mendukung. Terlepas dari perbedaan-perbedaan pandangan dan politik. Karena hanya dengan begitu, kita bisa membawa aspirasi Indonesia timur ke level nasional,” sebutnya.

Selain itu, sambung Paul, yang mendesak untuk segera diwujudkan adalah membangun human kapital secara sungguh-sungguh. “Kita harus bangun modal manusianya. Di dunia akademisi, itu selalu kita dorong. Human capital ini bisa menjadi modal luar biasa dan dengan itu, kita bisa dilihat oleh teman-teman kita dari barat bahkan dunia internasional,” ujarnya.

Menurut Paul, sejauh ini, pembangunan sumber daya manusia di timur Indonesia, pergerakannya amat pelan.

Cenderung tertatih-tatih. Hal itu, kata dia, dipengaruhi oleh sinergitas antarlembaga dan komponen masyarakat yang belum terbangun dengan baik. Semua masih jalan sendiri-sendiri.

“Ego sektoral masih mendominasi. Itulah yang membuat pembangunan human capital ini tertatih-tatih. Apa yang terjadi di NTT, Maluku, Papua, bahkan Kalimantan, pembangunan human capitalnya pergerakannya mulai pelan. Hanya Sulawesi saja yang berkembang relatif cepat dan bisa berkompetisi dengan Jawa,” nilai Paul.

Dua hal yang menjadi sorotan Paul itu diamini aktivis media NTT, Jhon Seo, yang turut meramaikan FGD seri V kemarin.

Terkait politik primordial, misalnya, ketua Aliansi Media Siber Indonesia (AMSI) NTT ini menyebutkan, betul-betul sudah mengakar kuat. Akibatnya, dalam penempatan pejabat di daerah pun, sudah cenderung dan mengarah pada membangun dinasti.

“Apa yang terjadi di NTT saat ini, begitulah seperti yang dibilang Pak Rektor. Kalau seseorang jadi Gubernur lima tahun, maka orang-orangnya semua dibawa masuk. Mau itu tidak berkualitas dan tidak memiliki kecakapan intelektual sekalipun. Cilakanya, kalau kita dari media menyorotnya, kita pun dituding SARA,” keluh Jhon.

Karena itu, Jhon pun sepakat dengan Paul yang berharap penuh kiranya lewat wadah perjuangan Kaukus Timur, semua problem kebangsaan dapat diurai satu persatu, untuk selanjutnya disuarakan ke tingkat nasional.

“Semoga saja lewat Kaukus Timur, ke depan berbagai problematika kebangsaan ini, bisa diurai oleh pemerintah pusat,” harap Jhon.

Pada bagian lain, Penjabat Walikota Kupang George Hajdo mengakui bahwa dari segi human capital, NTT dan Kupang memang masih terkendala problem besar dan mendasar. Namun demikian, dia optimistis semuanya bisa teratasi sepanjang dihadapi dan disikapi dengan pikiran positif.

“Untuk bisa mengejar ketertinggalan, harus kita siapkan SDM kita sejak dini. Kita harus dan perlu kerja keras dan dengan cara pikir yang positif,” ujar George yang baru saja menerima kedatangan rombongan haji Kupang.
Akan sulit, lanjut penjabat Walikota Kupang itu, jika belum apa-apa sudah pesimistis.

“Agar bisa maju, kita harus memelihara pikiran positif. Kita harus bersatu dan saling rangkul. Setiap ada masalah, kita diskusikan lalu kita selesaikan. Kita eksekusi bersama,” tawar George.

Saat ini, kata dia, Pemko Kupang dengan memirroring kebijakan Pemprov NTT dibawa kendali Gubernur Viktor Laiskodat, tengah menyiapkan human capital sejak kecil.

“Dari PAUD, anak-anak kita sudah kita siapkan dan didik soal lima hal. Yaitu kedisiplinan, kebersihan, matematika, sains, dan Bahasa Inggris. Bukan apa-apa, anak-anak kita saat mau masuk S2, rata-rata terkendala oleh kemampuan Bahasa Inggris yang terbatas,” ungkap George.

Karena itu pula, dia berharap pemerintah pusat memberikan perhatian lebih pada pembangunan SDM ke Indonesia timur. Dengan kebijakan ekstra terkait pembangunan human capital di Indonesia timur, maka daerah ini bisa berkembang lebih cepat. Minimal bisa mengimbangi di barat Indonesia,” tandasnya.

Fokus Kaukus Timur

Sebelumnya, Presidium Kaukus Timur Indonesia, Uslimin Usle di awal FGD menjelaskan kaukus hadir untuk mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan politik dan keadilan kawasan. Bahwa Indonesia Raya itu terdiri atas 38 provinsi dan dari Sabang sampai Merauke. Karena itu, kesenjangan antar-kawasan harus segera diatasi demi menjaga integritas bangsa.

Dalam penataan pembangunan dan kontestasi politik serta pendistribusian kekuasaan, tokoh dan figur dari timur Indonesia harus mendapat tempat dan perhatian yang proporsional.
Dalam distribusi kekuasaan, kaukus juga memandang perlu pemerintah pusat untuk memberdayakan tokoh daerah.

Pada proses dan penunjukan pejabat Gubernur atau Bupati/Walikota, pada September-Oktober 2023, pemerintah pusat wajib memberdayakan pejabat daerah.
Wilayah fokus perjuangan kaukus sendiri melebihi dari separuh provinsi di Indonesia, yakni terdiri atas 22 provinsi. Sebarannya; enam provinsi di wilayah Papua, dua provinsi di Maluku, tiga provinsi di Bali Nusa Tenggara dan enam provinsi di Sulawesi serta dan lima provinsi lainnya di Kalimantan.

Pada bagian lain, akademisi Unhas yang turut menginisiasi Kaukus Timur Indonesia, Dr Hasrullah menegaskan, detak dan tensi pergerakan kaukus harus lebih ditingkatkan lagi. Dalam pemantauannya, sikap dan kebijakan para elite politik nasional sejauh ini masih relatif mengabaikan kawasan timur.

“Dalam penentuan capres misalnya, itu kelihatan sekali tokoh dan figur dari timur Indonesia belum dihitung. Semua masih berputar di situ-situ saja. Karena itu, gerakan kaukus ini harus dinaikkan tensinya,” tegas Hasrullah. (*/rls)
  • Bagikan