Jangan Salahkan Setan

  • Bagikan

Oleh: Nurdin (Dosen IAIN Palopo)

Dengan datangnya bulan suci Ramadan 1445 H, tentu bagi umat muslim di dunia sangat bahagia dan bergembira menyambutnya. Sebab, salah satu janji Allah Swt di dalamnya buat mereka yang bersungguh-sungguh dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya akan mendapatkan ganjaran pahala yang luar biasa.

Selain itu, salah satu hal yang patut disyukuri sebab Tuhan masih memberikan nikmat yang tak terhingga bisa kembali dipertemukan dengan bulan suci ini, mungkin ada sanak saudara atau kawan yang dulu bersama kita menunaikan ibadah dalam bulan Ramadan sekarang sudah tidak lagi ada sebab telah menghadap sang pencipta.

Bahwa ganjaran pahala yang di maksud adalah kembalinya seorang muslim pada fitrah atau suci seperti bayi yang baru lahir tanpa dosa usai menjalankan ibadah puasa. Hal itu disebabkan karena di sepanjang bulan Ramadan setan-setan dibelenggu, pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup. Begitu kata ulama.

Hal itu merujuk pada salah satu hadis sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah r.a. bahwa "Apabila tiba bulan Ramadan, maka dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu neraka dan setan-setan dibelenggu"

Dengan tidak bermaksud meragukan ucapan nabi tersebut, namun saya (boleh jadi bukan hanya saya) yang awam dalam bidang ilmu agama akan menimbulkan banyak pertanyaan, di antaranya "Apakah secara fisik, benar-benar pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup dan setan dibelenggu ? Apakah surga dan neraka sudah ada saat ini ? dan seterusnya.

Setelah mengutak-atik kembali buku yang ada dan membacanya, saya menemukan salah buku yang ditulis oleh Prof Ahmad Zahro, guru besar hukum Islam dengan udul "Fiqh kontemporer" (2017: 60-63) di situ dijelaskan, bahwa rupanya para ulama terbagi dalam dua kelompok besar memaknai atau memahami hadis itu

Sebagian ulama memahami dan memaknai hadis tersebut dengan menggunakan pendekatan tekstual dan sebagian ulama memaknai dan memahami hadis itu dengan menggunakan pendekatan kontekstual. Demikian kata Prof Ahmad Zahro.

Ulama tekstualis memaknai ungkapan Nabi Saw. secara harfiah (leterlijk). Di mana dalam bulan Ramadan memang benar-benar pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup dan setan dibelenggu. Pemaknaan semacam ini lebih aman dari kemungkinan disalahkan karena bunyi hadisnya demikian.

Di sisi lain, ulama kontekstualis memahami makna hadis Nabi Saw. tersebut sebagai ungkapan metaforis (kiasan, majazi, tidak sesungguhnya). Pintu surga dibuka, menggambarkan betapa mudahnya orang berbuat baik dalam bulan Ramadan dan betapa besar pahala kebaikan di bulan Ramadan, sehingga seakan-akan pintu surga terbuka untuk mereka.

Kemudian pintu neraka menggambarkan betapa tingginya sensitivitas terhadap dosa di bulan Ramadan. Betapa tingginya kesadaran mereka untuk menjauhi segala larangannya. Sehingga seakan-akan pintu neraka tertutup untuk mereka.

Baik surga maupun neraka yang ditampakkan saat Nabi Saw. mikraj hanyalah penggambaran atau ilustrasi saja. Surga dan neraka baru ada penghuninya ketika semua manusia sudah mati dan dunia sudah kiamat serta penghitungan (hisab) dan penimbangan (mizan) amal sudah dilakukan.

Demikian halnya dengan setan yang dibelenggu. Setan adalah semua yang jahat dan selalu ingkar kepada Allah (al-Isra': 27) baik dari jenis manusia maupun dari jenis jin. Nah, setan yang dari golongan manusia tidak ada yang dibelenggu pada bulan Ramadan. Sehingga jika terjadi tindak kejahatan pada bulan Ramadan, kita tidak bisa menyalahkan atau mengkambinghitamkan setan dari golongan jin sebagai penyebabnya.

Sebab dalam konteks kehidupan sosial, kebiasaan sebagian dari kita senang menyalahkan orang atau pihak lain ketika sesuatu terjadi dan menimpa dirinya padahal sejatinya seorang bijak, pada saat terjadi sesuatu terhadapnya ia akan selalu introspeksi diri tidak lantas menyalahkan pihak yang berada di luar dirinya.

Demikian ungkapan dari Imam Al-Ghazali, bahwa "Kita adalah makhluk yang suka menyalahkan yang ada di luar tidak menyadari bahwa masalah biasanya dari dalam". Wallahu a'lam.
(*)

  • Bagikan