Pornografi Ancam Generasi, Mampukah Negara Mengatasi?

  • Bagikan

* Oleh: Sitti Hidayah, S.T


Pornografi menjadi masalah krusial yang harus segera dituntaskan. Pasalnya, menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Hadi Tjahjanto, rata-rata usia anak-anak yang menjadi korban aksi pornografi secara online itu mulai dari 12-14 tahun. Bahkan, ada anak-anak yang masih duduk di jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) dan kelompok disabilitas yang juga menjadi korban tindakan asusila tersebut (Republika.co.id 19-4-2024).

Selama empat tahun sebanyak 5.566.015 kasus konten pornografi anak. Indonesia masuk peringkat keempat secara internasional dan peringkat kedua dalam regional ASEAN,” ujar Hadi dalam konferensi pers di Kemenko Polhukam, Kamis (18-4-2024).

Fakta ini menunjukkan masalah sosial di negeri ini begitu kompleks. Berbagai upaya penyelesaian telah dan akan dilakukan. Hadi Tjahjanto menyatakan, pihaknya bakal membentuk satuan tugas (Satgas) untuk menangani permasalahan pornografi secara online yang membuat anak-anak di bawah umur menjadi korban (Republika.co.id 19-4-2024)

Mengapa Kasus Membludak?

Pornografi meski diketahui oleh banyak pihak berdampak buruk, namun pornografi merupakan bisnis yang menjanjikan dan menggiurkan. Anak kerap menjadi objek visualisasi, dan menjadi korban pemerkosaan, pelecehan seks karena usia mereka yang cendrung mudah dieksploitasi dengan janji manis pelaku atau takut ancaman para pelaku.

Mirisnya, pelaku merupakan orang terdekat korban. Ayah kandung, kakek, paman, kakak atau teman dekat korban. Seharusnya mereka menjadi pelindung malah menjadikan anak sasaran kebejatan mereka.

Di samping konten pornografi yang diakses, pemicu tindakan asusila bisa karena pengaruh pergaulan bebas, pengaruh minuman keras, maupun karena faktor ekonomi. Betapa menyedihkan.

Diperparah penyalahgunaan kemajuan teknologi dan media digital yang makin menyuburkan bisnis pornografi. Nampak dari makin banyaknya aplikasi yang menyuguhkan aplikasi berkonotasi seksual. Tak ayal, anak-anak sangat mudah menjadi korban.

Dampak psikis dan psikologis korban seperti trauma, putus asa dan luka sudah tentu dialami korban. Dampak lainnya, adalah ketidakjelasan nasab. Sayangnya acapkali hukum tak berpihak kepada korban, banyak yang pasrah, bahkan tidak melapor, ada pula yang kasusnya mandeg. Sungguh miris.

Meski beragam upaya telah dilakukan pemerintah untuk mencegah prilaku asusila. Seperti: memberikan edukasi seks, membentuk lembaga perlindungan hukum, komisi perlindungan anak, memperketat aturan penyiaran media, dan lain-lain. Sayangnya, tak mampu untuk menuntaskan masalah pornografi anak. Bahkan, berada di peringkat empat dunia dalam kasus ini.

Walhasil, perlu upaya serius, tulus, strategis dan komprehensif untuk meyelesaikan masalah ini. Tak cukup dengan ragam upaya edukasi sementara bertebaran stimulus seksual di mana-mana. Tak cukup aturan penyiaran di tengah pandangan pornografi sebagai lahan meraup cuan. Lalu, bagaimana dengan hukum yang masih tebang pilih, acap kali tajam ke atas tumpul ke bawah, bahkan bisa dibeli.

Tentu tak mampu, di tengah aturan moral yang terus diperdebatkan, berbenturan dengan paham kebebasan yang dianut masyarakat, seperti tidak jelasnya batasan porno seperti apa? karena tidak adanya standar yang jelas dan baku.. Sementara kasus terus bertambah. Sampai kapan?

Sistem Sosial Mumpuni

Karut-marut masalah ini tak luput dari pandangan masyarakat terkait interaksi sosial masyarakat yang salah. Konsep kebebasan tanpa peran agama telah menyuburkan pornografi. Dalam masyarakat sekuler, pornografi dikembangkan menjadi industri, abai dampak buruk industri tersebut, demi meraup cuan. Tak heran, pornografi sangat mudah diakses.

Oleh karena itu, pandangan ini harus diluruskan. Masyarakat sadar untuk menjadikan agama, aturan Sang Khaliq sebagai pengatur, pengendali, standar prilaku masyarakat termasuk dalam mengatur interaksi sosial. Sehingga bisnis yang diminati dan berkembang pun adalah bisnis sehat, yang dibolehkan dan tidak merusak moral masyarakat.

Negara sebagai penguasa dan pengurus rakyat harus berperan, tak hanya mencukupi kebutuhan tumbuh-kembang anak, tapi memberikan perlindungan hakiki kepada anak. Negara harus menciptakan suasana lingkungan sehat dan bersih dari pornografi.

Konsep khas Islam dalam hal ini, yaitu: Pertama, negara memberlakukan seperangkat aturan sosial di tengah masyarakat, yaitu: memerintahkan laki-laki dan perempuan menjaga aurat, melarang laki-laki dan perempuan berdua-duaan kecuali disertai mahram, tidak bercampur-baur laki-laki dan perempuan kecuali dalam pendidikan, kesehatan, memerintahkan laki-laki dan perempuan menjaga kehormatan (iffah) dan kemuliaan. Semuanya demi terwujudnya lingkungan sosial yang baik dan sehat.

Kedua, negara menerapkan politik media yang mencerdaskan ummat dan bebas dari konten pornografi. Negara menjadi pelindung pertama dalam hal ini. Negara tidak kompromi terhadap siapapun yang melanggar, dengan alasan bisnis ataupun karena kebebasan.

Ketiga, negara memberikan sanksi tegas kepada siapapun yang melanggar dengan penerapan sanksi yang tegas, adil, berdasarkan syariat, yaitu berupa ta'zir, seperti pemenjaraan hingga hukuman mati sesuai ijtihad khalifah. Sanksi tersebut memberi efek jera, agar kasus tidak berulang dan meluas.

Keempat, negara mengedukasi masyarakat terkait aturan sosial Islam melalui sistem pendidikan Islam sejak dini, menjaga individu rakyatnya senantiasa berada dalam suasana taqwa kepada Allah Swt dan terhindar dari melakukan kemaksiatan.

Demikianlah Islam menyelesaikan masalah pornografi, jauh dari perdebatan seperti hari ini. Menjaga kehormatan dan kemuliaan masyarakat dan menuntaskan masalah pornografi. Wallaahua'lam. (*)

  • Bagikan