Akhirnya, Rektor ITK Prof Budi Santosa Segera Dinonaktifkan, Usai Tulis Rasis

  • Bagikan

Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Budi Santosa Purwakartiko. --dok--

PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, JAKARTA-- Buntut tulisannya yang dinilai rasis dan xenophobic, Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Budi Santosa Purwakartiko akan dinonaktifkan.

Pernyataan itu disampaikan oleh Komite Reviewer LPDP, Prof. Azyumardi Azra dalam perbincangannya dengan Konsultan media dan politik, Hersubeno Arief.

"Budi Santosa akan segera dinonaktifkan," katanya, Minggu, 1 Mei 2022.

"Itu ujar Prof. Azyumardi Azra," tutur Hersubeno Arief menambahkan.

Dia kemudian menjelaskan siapa sosok Azyumardi Azra yang memberikan informasi tersebut kepadanya.

"Azyumardi Azra adalah salah satu anggota komite reviewer LPDP yang memutuskan menerima atau menolak calon penerima LPDP dan juga para reviewer-nya," ujar Hersubeno Arief.

"Bahasa enaknya kita sebut para pewawancara seperti profesi yang diemban oleh Budi Santosa," ucapnya menambahkan, seperti dikutip wartawan, Rabu, 4 Mei 2022.

Hersubeno Arief mengungkapkan bahwa Azyumardi Azra telah berkomunikasi dengan Dirjen Dikti Ristek, Prof. Nizam, dan Direktur Utama LPDP, Andin Hadiyanto.

"Keduanya mengaku menyesalkan peristiwa tersebut, Budi Santosa dinilai melakukan pelanggaran pakta integritas yang dia tandatangani ketika terpilih menjadi pewawancara," katanya.

Hersubeno Arief juga menuturkan apa saja pakta integritas yang dilanggar oleh Budi Santosa Purwakartiko.

"Pertama, di situ tidak mengungkapkan atau merahasiakan apa proses wawancara calon dan penilaian terhadap calon," tuturnya.

"Kedua, tidak mempersepsikan calon atas dasar gender, etnis, agama, suku, dan kecenderungan politik," ucap Hersubeno Arief menambahkan, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari kanal Youtube Hersubeno Point.

Sebelumnya, Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Budi Santosa Purwokartiko menjadi sorotan karena status yang ditulisnya di media sosial.

Pasalnya, dalam unggahan pada Rabu, 27 April 2022 itu, apa yang dituliskannya tersebut dinilai rasis.

Meski unggahan tersebut sudah dihapus, tetapi tangkapan layar tulisan Budi Santosa Purwokartiko itu beredar luas.

Dalam unggahannya, dia membicarakan terkait pengalamannya mewawancarai beberapa mahasiswa yang mengikuti program ke luar negeri.

Budi Santosa Purwokartiko menyebut program Dikti yang dibiayai LPDP ini banyak mendapat perhatian dari para mahasiswa yanang pintar dan memiliki kemampuan luar biasa.

"Jika diplot dalam distribusi normal, mereka mungkin termasuk 2,5 persen sisi kanan populasi mahasiswa. Tidak satu pun saya mendapatkan mereka ini hobi demo. Yang ada adalah mahasiswa dengan IP yang luar biasa tinggi di atas 3.5 bahkan beberapa 3.8 dan 3.9," tuturnya.

"Bahasa Inggris mereka cas cis cus dengan nilai IELTS 8, 8.5 bahkan 9. Duolingo bisa mencapai 140, 145 bahkan ada yang 150 (padahal syarat minimum 100). Luar biasa. Mereka juga aktif di organisasi kemahasiswaan (profesional), sosial kemasyarakatan dan asisten lab atau asisten dosen," ujar Budi Santosa Purwokartiko menambahkan.

Dia juga mengungkapkan bagaimana para mahasiswa tersebut berbicara terkait hal-hal yang membumi, seperti cita-cita, minat, usaha, kontribusi untuk bangsa, hingga nasionalisme.

"Tidak bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati. Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: insaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dsb," ucap Budi Santosa Purwokartiko.

"Generasi ini merupakan bonus demografi yang akan mengisi posisi2 di BUMN, lembaga pemerintah, dunia pendidikan, sektor swasta beberapa tahun mendatang," ujarnya menambahkan.

Akan tetapi, tulisan Budi Santosa Purwokartiko ini dianggap rasis, begitu dia menyebut hijab atau kerudung sebagai 'penutup kepala ala manusia gurun'.

"Dan kebetulan dari 16 yang saya harus wawancara, hanya ada 2 cowok dan sisanya cewek. Dari 14, ada 2 tidak hadir. Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun," katanya.

"Otaknya benar-benar openmind. Mereka mencari Tuhan ke negara-negara maju seperti Korea, Eropa barat dan US, bukan ke negara yang orang2nya pandai bercerita tanpa karya teknologi. Saya hanya berharap mereka nanti tidak masuk dalam lingkungan yang membuat hal vana mudah jadi sulit," tutur Budi Santosa Purwokartiko menambahkan. (pr/pp)

  • Bagikan