Mario Dandy Dituntut 12 Tahun Penjara, Denda Rp120 Miliar, Ini Alasan Jaksa

  • Bagikan

Terdakwa Mario Dandy dituntut 12 tahun penjara di PN Jaksel. Mario dan Shane serta Agnes juga wajib bayar restitusi Rp 120 miliar. (jpc)

PALOPOPOS.FAJAR.CO.ID, JAKARTA-- Akhirnya, Mario Dandy Satriyo (20) dituntut pidana 12 tahun penjara dalam kasus penganiayaan David Ozora di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, 15 Agustus 2023.

Tapi, tak hanya itu. Mario Dandy juga diperberat dengan dituntut membayar restitusi atau ganti rugi terhadap David sebesar Rp 120 miliar. Apesnya, jika tidak mampu membayar, maka diganti pidana penjara 7 tahun.

Kejagung menjelaskan alasan penuntutan itu disertakan dengan restitusi untuk korban.

Menurut Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana, restitusi merupakan hak konstitusional anak korban tindak pidana yang harus dipenuhi oleh pelaku tindak pidana sebagai bentuk tanggung jawab atas perbuatannya.

Dalam kasus ini, jaksa penuntut umum menuntut Mario Dandy membayar restitusi Rp 120 miliar atau diganti pidana tambahan penjara 7 tahun. Restitusi dinilai dapat memberikan keadilan bagi korban David Ozora yang kini menderita dan keadaannya tak bisa kembali seperti sedia kali.

Menurut jaksa, korban bisa mendapatkan ketidakadilan ganda jika terdakwa tidak mampu membayar ganti rugi terhadap korban. Sebab, saat ini belum ada aturan khusus yang mengatur penggantian pembayaran restitusi dengan pidana penjara sehingga jaksa membuat terobosan hukum baru.

Atas dasar itu, Ketut menilai hal ini adalah upaya penuntutan yang akan berbuah keadilan bagi korban.

"Oleh karena itu, ketika Terdakwa Mario Dandy Satriyo alias Dandy Dkk tidak mampu atau tidak mau membayar restitusi kepada anak korban Crystalino David Ozora alias Wareng, maka hak anak korban Crystalino David Ozora alias Wareng untuk mendapatkan restitusi tidak dapat dipenuhi dan anak korban Crystalino David Ozora alias Wareng mendapatkan ketidakadilan ganda dari tindak pidana yang telah menimpanya," kata Ketut Dalam keterangannya Rabu (16/8/2023).

Ketut menjelaskan bahwa tuntutan tersebut untuk memberikan perlindungan hukum bagi korban sekaligus memberikan manfaat hukum atas kerugian fisik maupun mental. Ditambah tuntutan restitusi itu bertujuan untuk dapat memberikan efek jera bagi pelaku.

"Di era sekarang, kepentingan korban dan melibatkan korban dalam proses penegakan hukum itu hal utama. Apalagi dalam kasus MD (Mario Dandy), korban tidak saja mengalami kerugian materiil, tapi juga phisikis dan akan dialami seumur hidupnya terutama yang terkait dengan traumatic dan sulit mengembalikan seperti keadaan semula," ujar Ketut saat dihubungi terpisah.

Efek jera akan berkeadilan buat korban

Lebih lanjut Ketut mengutarakan, bahwa tuntutan jaksa penuntut umum kepada Mario Dandy akan berkeadilan untuk korban. Sebab, tuntutan itu akan menimbulkan efek jera sekaligus peringatan keras bagi warga negara agar tak melakukan tindak pidana penganiayaan.

"Efek jera harus diberikan bukan untuk sekedar pembalasan tapi lebih pada perlindungan atas hak korban, sehingga ke depan masyarakat akan berpikir untuk melakukan perbuatan yang sama yang sangat keji serta berdampak sosial yang luar biasa," sambungnya.

Adapun pertimbangan jaksa memberikan tuntutan biaya restitusi terhadap Terdakwa Mario Dandy dengan sejumlah pertimbangan. Salah satu pertimbangannya yaitu, Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pasal tersebut berbunyi:

Baca Juga: Refleksi Jelang HUT RI ke-78, Ganjar Ajak Kades Jaga Persatuan Lewat Pelayanan Merata dan Tidak Membedakan

"Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dan hati nurani dengan mengindahkan norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya," demikian bunyi pasal tersebut.

Ketut mengatakan pasal tersebut merupakan manifestasi dari visi Jaksa Agung ST Burhanuddin yang menghendaki penegakan hukum dijalankan oleh seorang Jaksa yang tidak hanya harus 'berhati bersih', tetapi juga harus 'menghidupkan hatinya' dalam menginterpretasikan hukum.

"Itulah hakikat sejati dari kredo fenomenal Jaksa Agung yang selalu mengatakan "Penegakan Hukum Berbingkai Hati Nurani". Pasal ini juga menonjolkan peran Jaksa yang bertindak berdasarkan hati nurani dan wajib menggali nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat," tutup Ketut. (*/ps/pp)

  • Bagikan