Utang Luar Negeri Makin Selangit, Tak Bahaya Ta ?

  • Bagikan

* Oleh: Rahmawati SPd

Fantastis, utang Indonesia di tahun 2023 mencapai angka Rp8.041 triliun. Herannya, angka tersebut masih dinilai aman. Sebagaimana dikutip dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bahwa utang pemerintah yang telah mencapai Rp8.041 triliun atau dengan rasio terhadap PDB sebesar 38,11 persen pada November 2023 masih terkendali.

“Tentu kita lihat (rasio) utang kita tetap di bawah 40 persen, terendah dibandingkan negara maju yang bahkan di atas 100 persen juga negara berkembang yang lain. Jadi relatif ini masih hati-hati,” kata Menko Airlangga di sela acara Seminar Nasional Perekonomian Outlook Indonesia di Jakarta, Jumat. (www.antaranews.com)

Sejalan dengan itu, Ekonom Universitas Brawijaya Malang, Hendi Subandi, mengatakan bahwa rasio utang luar negeri Indonesia masih tergolong aman. Ia pun memasukkan kategori utang Indonesia sebagai utang produktif, karena digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang memberikan dampak positif jangka panjang. (www.viva.co.id)

Pernyataan-pernyataan ini, tentu menimbulkan pertanyaan besar. Benarkah jumlah sebesar itu masih terkendali dan berdampak positif ?

Bahaya Utang Luar Negeri

Secara umum, bahaya akan ULN cukup jelas jika disebut istilah “debt trap” (DT) atau jebakan utang. Secara konsep normatif, ini merupakan istilah yang menggambarkan suatu kondisi anggaran saat upaya untuk memperoleh pinjaman atau utang digunakan justru untuk menutup pembayaran utang.
Dalam kajian ekonomi politik, DT merupakan manifestasi neoliberalisme yang berkembang sejak Mazhab Cambridge (Cambridge School of Economics) yang dipelopori Alferd Marshall pada tahun 1890. Mazhab ekonomi ini mengembangkan teori penjajahan baru dengan alat uang.

Dengan desain seperti itu tentu posisi ULN bukan sekadar urusan pinjam-meminjam biasa antar negara. Abdurrahman al-Maliki menyebut ULN adalah cara paling berbahaya untuk merusak eksistensi suatu negara. Terdapat bahaya jangka pendek dan bahaya jangka panjang yang bisa menyengsarakan. Bahaya jangka pendek adalah dapat menghancurkan mata uang negara debitur dengan membuat kekacauan moneter, karena saat jatuh tempo, ULN ini tidak bisa dibayar dengan mata uang debitur, tetapi misalkan harus menggunakan US Dollar atau hard money lainnya. Hard money, dalam kondisi tertentu, bisa sulit untuk didapatkan.

Akibatnya, negara terpaksa harus membeli mata uang ini dengan harga sangat mahal. Akibat berikutnya, mata uang negara debitur akan babak belur dan nilainya turun drastis. Konsekuensi buruk jangka pendek lainnya,ketika kondisi penurunan terus terjadi, Negara debitur harus mendatangi International Monetary Fund (IMF). Mata uangnya jadi di bawah kendali IMF yang akan memaksa negara yang terjerumus untuk menjual komoditi berharganya (seperti barang tambang) di luar negeri dengan harga murah.

Dalam jangka panjang, bahaya yang mengintai adalah memunculkan kekacauan APBN hingga merusak kedaulatan. Komoditi- komoditi berharga yang sudah tidak cukup untuk membayar ULN akan menyeret aset- aset strategis negara sebagai alat pelunasan. Kemudian hampir semua kebijakan publik dapat diintervensi negara-negara kreditur seperti kasus yang begitu terang-terangan yang dilakukan Cina.
Bahaya ini menyasar politik negara, yaitu terkait kedaulatan, atau dalam theory of sovereignty, Jean Bodin menganggap Negara tidak dianggap berdaulat jika kedaulatan berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi.

Dalam sudut pandang Islam, syarat negara itu disebut sebagai negara berdaulat adalah ketika kedaulatan negara ada pada hukum-hukum syariah. Karena itu haram kedaulatan Negara disandarkan pada negara-negara kafir melalui ULN dan debt trap mereka.

Dari sini jelaslah bahwa statamen yang menyatakan bahwa utang luar negeri saat ini masih aman dan terkendali adalah pernyataan yang sangat berbahaya. Karena makin membuat kita terlena dalam buaian serigala berbulu domba. Sejatinya utang kepada negara lain menciptakan ketergantungan pada negara asing dan membahayakan kedaulatan negara.

*Mengurai Utang, Mewujudkan Ekonomi Islam*

Suatu negara tentu berpeluang untuk mengalami masalah ekonomi. Di sinilah mekanisme pemulihan secara sistemis hadir untuk menyelesaikannya. Dalam Islam, hukum utang boleh-boleh saja. Akan tetapi, dalam hubungan kenegaraan, pemerintahan Islam menghindari berbagai bentuk skema utang yang ribawi yang telah jelas keharamannya.

Terlebih saat ini utang telah menjelma menjadi senjata politik. Negara kreditor tidak segan mendikte kebijakan negara-negara debitor. Negara jelas tidak boleh tunduk pada skema utang seperti ini.

Andai negara sedang mengalami krisis, dalam hal ini kas baitulmal mengalami kekosongan, negara akan memobilisasi pengumpulan dana dari kalangan orang kaya (aghniyah). Jika kondisi ini belum mampu memenuhi kebutuhan rakyat, baru negara boleh berutang dengan syarat sesuai syariat.

Meski demikian, sistem ekonomi Islam sejatinya merupakan sistem ekonomi mandiri. Semaksimal mungkin, negara membangun kemandirian ekonomi. Negara akan memaksimalkan pemasukan dari pos-pos pendapatan negara berupa pemasukan tetap, yakni fai, ganimah, anfal, kharaj, dan jizyah. Juga pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, dan milik negara, (usyur, khumus, rikaz, dan tambang).

Indonesia yang kaya akan SDA sesungguhnya berpotensi untuk terbebas dari jerat utang. Indonesia memiliki 2,8 triliun meter kubik cadangan gas alam yang belum dieksplorasi, juga potensi logam mulia, potensi minyak bumi dan potensi kelautan? Ini adalah akibat sistem kapitalisme yang diterapkan negara tidak mengatur kepemilikan dengan benar. Potensi-potensi alam yang sejatinya adalah milik umum menurut sistem ekonomi Islam, justru dikuasai individu/korporasi dan membiarkan masyarakat ikut menderita dalam tumpukan ULN.

Karenanya kita butuh para pemimpin yang amanah dan ikhlas dalam megelola negeri. Bukan mereka yang doyan teriak cinta negeri, padahal pada saat yang sama sibuk menggadaikan negeri kepada asing dan aseng.

Selain itu, paradigma ekonomi kapitalisme tidak akan bisa bersanding dengan ekonomi Islam. Keduanya lahir dari paradigma yang berbeda. Jika hari ini spirit ekonomi Islam yang hadir pada beberapa transaksi ekonomi sudah mampu mengakselerasi perekonomian rakyat, apatah lagi jika terwujud dalam sebuah sistem kenegaraan. Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A’raf: 96). _Wallaahualam_ (*)

  • Bagikan