Budayawan Tana Luwu Andi Anthon Pangerang Tutup Usia

  • Bagikan

PALOPO — Tokoh budaya Tana Luwu, Andi Anthon Pangerang dikabarkan meninggal dunia, Selasa dini hari 8 Februari 2022.

Almarhum meninggal di Belopa.

Kabar tersebut berseliweran di banyak grup. Di antaranya Grup KKTL. Yang mengabarkan berita duka ini. Dan dibalas dengan ucapan Innaalillahi wainnaailaihi roojiuun.

Almarhum dikenal memiliki banyak hasil karya tulis. Salah satunya buku setebal 104 halaman, di dalamnya ada makalah ditulis oleh Andi Anthon Pangerang berjudul “Sekilas Tentang Latar Belakang Sejarah dan Budaya Luwu”.

pada makalah itu, dalam naskah La Galigo diterangkan bahwa pada masa paling awal, Baginda Patotoe (Yang Maha Pencipta) sebagai raja dari segala Dewa yang ada di alam raya, bersemayam di Botting Langi atau puncak langit ke tujuh bersama permaisurinya. Atas saran dari segala menteri-menterinya, diputuskan menurunkan salah seorang Putra Patotoe yang bernama Batara Guru Latoge Langi Sangkuru Wira untuk menjadi raja dari segala raja di muka bumi ini.

Baginda Batara Guru mula-mula diturunkan di suatu tempat yang bernama Ussu (Kec. Malili, Lutim) yang kemudian menjadi pusat Kerajaan Luwu yang pertama. Dalam perjalanannya, beberapa atribut yang dibawa dari Botting Langi jatuh ke bumi dan menjelma menjadi pepohonan dan tumbuh-tumbuhan serta burung-burung dan segala macam marga satwa hutan, sungai, dan lautan. Baginda Batara Guru mula-mula tiba di muka bumi di sebuah bukit kecil bernama Pensemeuni di tepi Sungai Cerekang.

Setelah melewati masa ujian selama 40 hari 40 malam yang penuh penderitaan menahan lapar dan dahaga, dingin dan panas, maka turunlah istana yang disebut Langkana Lakko Manurungge lengkap dengan petugas-petugas dan perlengkapannya. Kemudian dinaikkan dari Toddang Toja (dasar samudera yang ke tujuh) permaisuri yang bernama Wenyili Timo.

Baginda Batara Guru digantikan oleh putranya bernama Batara Lattu sebagai Pajung/Raja Luwu. Batara Lattu bersama permaisurinya Datu Senggeng melahirkan seorang putera yang termasyhur dengan nama Sawergading yang beberapa kali melakukan pelayaran dan berbagai peperangan penaklukan, perkawinan, diplomasi, dan lain-lain di perbagai negeri di Nusantara.

Bersama permaisurinya yang bernama We Cudai, seorang putri raja dari Kerajaan Cina. Baginda Sawerigading mempunyai seorang Putra Kerajaan yang bernama La Galigo yang dianggap menulis naskah klasik buku La Galigo.

Pada bagian akhir naskah La Galigo disebutkan bahwa pada waktu tatanan alam raya dibalikkan, maka Sawerigading dan permaisurinya We Cudai bersama seluruh anggota Kerajaan Luwu diperintahkan oleh Patotoe untuk turun ke dasar samudera yang ketujuh.

Dengan demikian, maka berakhirlah periode La Galigo dalam sejarah Luwu. Dalam naskah La Galigo disebutkan bahwa Pajung Luwu sebagai raja dari kerajaan yang paling berpengaruh memiliki hubungan kekerabatan dengan berbagai Raja di Nusantara. Antara lain, La Tenri Tatta di Bima (Nusa Tenggara), La Tenri Pappang di Wedang (Gorontalo), Topangkelareng di Ternate (Maluku), Laurumpessi di Tompotikka (Luwuk Banggai), Latemmadatu di Buton (Sulawesi Tenggara).

Sawerigading disebutkan memiliki 40 sepupu satu kali yang menjadi penguasa di beberapa daerah, antara lain; Lamattulia di daerah Matano), Latemmacelling di Baebunta, Lamarancina di Rongkong, Guttu Patalo di Bua, Lapawiseang di Ponrang, Lasaddakati di Larompong, Larumpalangi di Mengkoka, Labanawa di Duri, Guttu Pareppa di Toraja, Ellummangngenre di Tondon, Lapawawoi di Balanipa (Mandar), Sanggaji Banna di Wotu, dll.

Menurut lontara, sesudah berakhirnya periode La Galigo, terjadi kekosongan di Kerajaan Luwu yang mempengaruhi perkembangan di Sulawesi Selatan secara luas. Masa ini disebut sebagai masa sianrebale (kacau balau) tanpa ketertiban hukum.

Masa ini berlangsung pitu pariana (tujuh generasi). Yang kemudian berakhir dengan munculnya tokoh-tokoh To Manurung di pelbagai daerah di Sulsel. Antara lain, Manurungnge Ri Temmalatea di Kerajaan Gowa, Manurungnge Ri Matajang di Kerajaan Bone, Manurung Ri Sekkanyili di Kerajaan Soppeng, dan lain-lain.

Juga di Kerajaan Luwu muncul To Manurung yang kedua digelar Simpurusiang yang menjadi Pajung Luwu pertama pada periode Lontara.

”Inilah yang menjadi dasar penghitungan tahun jadi Luwu. Setelah dihitung mundur dari tahun masuknya Islam di Luwu pada tahun 1593, sampai 13 raja yang pernah berkuasa di Luwu. Setiap raja memiliki masa 25 tahun, sehingga ditemukan angka tahun 1268,” kata Badaruddin yang dihubungi Palopo Pos, Selasa, 20 Januari 2020.

Pemilihan tulisan Anthon A Pangerang, juga atas saran Badaruddin selaku editor buku “Tudang Ade Menelusuri Hari Jadi Luwu”. Ada dua tulisan yang direkomendasikan yakni tulisan Prof Mattulada atau Andi Anton Pangerang. Alasannya, kedua tulisan tersebut bagus dan cepat dicerna. Oleh penulis, karena pertimbangan keterbatasan space halaman, memilih tulisan Anthon A Pangerang lantaran kapasitasnya sebagai pakar sejarah dan budayawan Luwu.

Dikutip dari ensiklopedia bebas wikipedia, sejarah Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda bermula. Sebelumnya Luwu telah menjadi sebuah kerajaan yang mewilayahi Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Poso (Sulawesi Tengah). Hal sejarah Luwu ini dikenal pula dengan nama Tanah Luwu yang dihubungkan dengan nama La Galigo dan Sawerigading.

Setelah Belanda menundukkan Luwu, mematahkan perlawanan Luwu pada pendaratan tentara Belanda yang ditantang oleh hulubalang Kerajaan Luwu Andi Tadda bersama dengan laskarnya di Ponjalae pantai Palopo pada tahun 1905.

Belanda selanjutnya membangun sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan pemerintah penjajah di seluruh wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke utara Poso, dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) ke Barat Tana Toraja. Pada Pemerintahan Hindia Belanda, sistem pemerintahan di Luwu dibagi atas dua tingkatan pemerintahan, yaitu: pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh Pihak Belanda. Dan pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh pihak Swapraja.

Dengan terjadinya sistem pemerintahan dualisme dalam tata pemerintahan di Luwu pada masa itu, pemerintahan tingkat tinggi dipegang oleh Hindia Belanda, dan yang tingkat rendah dipegang oleh Swapraja tetapi tetap masih diatur oleh Belanda, namun secara de jure Pemerintahan Swapraja tetap ada.

Menyusul setelah Belanda berkuasa penuh di Luwu, maka wilayah Kerajaan Luwu mulai diperkecil, dan dipecah sesuai dengan kehendak dan kepentingan Belanda, yaitu Poso (yang masuk Sulawesi Tengah sekarang) yang semula termasuk daerah Kerajaan Luwu dipisahkan, dan dibentuk satu Afdeling.

Lalu Distrik Pitumpanua (sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Wajo. Kemudian dibentuk satu afdeling di Luwu yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palopo.

Selanjutnya Afdeling Luwu dibagi menjadi lima Onder Afdeling, yaitu Onder Afdeling Palopo dengan ibu kotanya Palopo, Onder Afdeling Makale dengan ibu kotanya Makale, Onder Afdeling Masamba dengan ibu kotanya Masamba, Onder Afdeling Malili dengan ibu kotanya Malili, Onder Afdeling Mekongga dengan ibu kotanya Kolaka.

Selanjutnya pada masa pendudukan tentara Dai Nippon, Pemerintah Jepang tidak mengubah sistem pemerintahan, yang diterapkan tentara Dai Noppon pada masa berkuasa di Luwu (Tahun 1942), pada prinsipnya hanya meneruskan sistem pemerintahan yang telah diterapkan oleh Belanda, hanya digantikan oleh pembesar-pembesar Jepang.

Kedudukan Datu Luwu dalam sistem pemerintahan sipil, sedangkan pemerintahan militer dipegang oleh pihak Jepang. Dalam menjalankan pemerintahan sipil, Datu Luwu diberi kebebasan, namun tetap diawasi secara ketat oleh pemerintahan militer Jepang yang sewaktu-waktu siap menghukum pejabat sipil yang tidak menjalankan kehendak Jepang, dan yang menjadi pemerintahan sipil atau Datu Luwu pada masa itu ialah ” Andi Kambo Opu Tenrisompa” kemudian diganti oleh putranya “Andi Patiware” yang kemudian bergelar “Andi Jemma”.

Pada bulan April 1950 Andi Jemma dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu/Pajung Luwu dengan wilayah seperti sediakala. Afdeling Luwu meliputi lima onder Afdeling Palopo, Masamba, Malili, Tana Toraja atau Makale, Rantepao dan Kolaka. Tahun 1953 Andi Jemma Datu Luwu diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi, waktu itu Sudiro. Ketika Luwu dijadikan Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu, pada tahun 1957 hingga 1960.

Selanjutnya pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, secara otomatis Kerajaan Luwu berintegrasi masuk kedalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya pernyataan Raja Luwu pada masa itu Andi Jemma yang antara lain menyatakan “Kerajaan Luwu adalah bagian dari Wilayah Kesatuan Republik Indonesia”.

Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.34/1952 tentang Pembubaran Daerah Sulawesi Selatan bentukan Belanda/Jepang termasuk Daerah yang berstatus Kerajaan. Peraturan Pemerintah No.56/1951 tentang Pembentukan Gabungan Sulawesi Selatan. Dengan demikian daerah gabungan tersebut dibubarkan dan wilayahnya dibagi menjadi 7 tujuh daerah swatantra. Satu di antaranya adalah daerah Swatantra Luwu yang mewilayahi seluruh daerah Luwu dan Tana Toraja dengan pusat Pemerintahan berada di Kota Palopo.

Berselang beberapa tahun kemudian, Pemerintah Pusat menetapkan beberapa Undang-Undang Darurat, antara lain: Undang-Undang Darurat No.2/1957 tentang Pembubaran Daerah Makassar, Jeneponto dan Takalar. Undang-Undang Darurat No. 3/1957 tentang Pembubaran Daerah Luwu dan Pembentukan Bone, Wajo dan Soppeng. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 4/1957, maka Daerah Luwu menjadi daerah Swatantra dan terpisah dengan Tana Toraja.

Daerah Swatantra Luwu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat No.3/1957 adalah meliputi Kewedanaan Palopo, Kewedanaan Masamba, dan Kewedanaan Malili.

Kemudian pada tanggal 1 Maret 1960 ditetapkan PP Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pembentukan Provinsi Administratif Sulawesi Selatan mempunyai 23 Daerah Tingkat II, salah satu diantaranya adalah Daerah Tingkat II Luwu.

Pada tahun 1999, saat awal bergulirnya Reformasi di seluruh wilayah Republik Indonesia, dimana telah dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan di Daerah, dan mengubah mekanisme pemerintahan yang mengarah pada Otonomi Daerah.

Tepatnya pada tanggal 10 Februari 1999, oleh DPRD Kabupaten Luwu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 03/Kpts/DPRD/II/1999, tentang Usul dan Persetujuan Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu yang dibagi menjadi dua Wilayah Kabupaten dan selanjutnya Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel menindaklanjuti dengan Surat Keputusan No.136/776/OTODA tanggal 12 Februari 1999. Akhirnya pada tanggal 20 April 1999, terbentuklah Kabupaten Luwu Utara ditetapkan dengan UU Republik Indonesia No.13 Tahun 1999.

Kota Palopo adalah salah saatu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota Palopo sebelumnya berstatus kota administratif yang berlaku sejak 1986 berubah menjadi kota otonom sesuai dengan UU Nomor 11 tahun 2002 tanggal 10 April 2002.

Kabupaten Luwu Timur adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten ini berasal dari pemekaran Kabupaten Luwu Utara yang disahkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003.(idr)

  • Bagikan